Oleh: TEGUH WINARSHO AS *
Beberapa santri celingak-celinguk tidak paham. “Bagaimana caranya, Kyai?” tanya mereka.“Maaf, ajaran yang diberikan Kyai belum sampai pada rajam…”. “Kubur tubuh Mondir hingga yang terlihat hanya kepalanya! Kalian, lima belas atau dua puluh orang ambil batu yang besar-besar lalu lemparkan ke kepala Mondir sampai malaikat maut datang mencabut nyawanya!”<span class "fullpost">
Tubuh Mondir tiba-tiba menggigil bergetar hebat. “Tapi Kyai, aku hanya menjalankan perintahmu. Aku hanya…” Mondir tak meneruskan kalimatnya. Ia kehilangan kata-kata.
Kyai Barnawi batuk-batuk. Dadanya masih sesak. Berkali-kali melap keringat di wajahnya. “Atau kamu akan menerima adzab yang lebih pedih di neraka?” tanya Kyai Barnawi berusaha lunak. Menatap Mondir seperti anaknya sendiri. “Hanya hukum Gusti Allah yang akan menyelamatkanmu. Membawa kemaslahatan dunia akhirat. Hukum manusia tak pernah bisa adil karena dibuat oleh tangan-tangan kotor yang korup dan lalim. Jalankan hukuman Gusti Allah ini dengan ikhlas, insya allah justru surga ganjaranmu. Apakah kamu tak ingin mendapatkan surga, Mondir? Di sana kamu bisa mendapat puluhan bahkan ratusan bidadari cantik…”
Mondir terdiam. Tapi sejurus kemudian ia membuka mulutnya. “Benarkah jika sudah mendapat hukuman di dunia kelak tidak lagi mendapat hukuman di akhirat, Kyai?” Mondir berusaha tegar.
“Begitulah yang diajarkan agama kita, Mondir.”
Sesaat Mondir menghirup napas kuat-kuat. Menatap Kyai Barnawi dalam-dalam. Teringat dalam benaknya waktu pertama kali datang ke pesantren Kyai Barnawi. Ia berasal dari dusun Granti di pesisir selatan. Dusun kecil yang terbelah sungai dan persawahan, penduduknya mengaku diberi kecerdasan akal tapi saling menghujat dan menjatuhkan serta diam-diam marak menjalankan aksi malima. Ia ingin selamat dari kutuk dusun Granti dan karenanya datang seorang diri menemui Kyai Barnawi. Kini ia baru sadar bahwa puncak dari apa yang ia cari selama ini tak lain adalah keselamatan hakiki yaitu mendapatkan surga abadi. Sekali lagi Mondir menatap Kyai Barnawi dalam-dalam. Mungkin itu adalah tatapan perpisahan, lalu berkata. “Baik, Kyai. Semua perkataan Kyai kuanggap fatwa kebenaran. Rajamlah tubuhku jika itu perintah agama!”
Di bawah terik matahari yang memanggang di depan surau pesantren yang terlihat hanya butir kepala Mondir. Lima belas santri berbaris menggenggam batu seperti hendak melempar jumrah. Lima belas santri yang pernah mengarak Mondir keliling pesantren dengan kemarahan dan kebencian. Tapi ketegaran Mondir di detik-detik terakhir menjelang ajalnya justru membuat lima belas santri itu gentar berurai air mata. Mereka seperti kehilangan gairah dan tenaga. Kyai Barnawi yang mengintip dari dalam surau tak urung menangis sesengukan. Lima belas santri masih belum berani memulai. Suasana mencekam. Hingga Kyai Barnawi keluar dari surau setelah sebelumnya mengelap wajahnya dengan surban. Berusaha tabah dan tegar Kyai Barnawi berkata, tapi sambil menunduk: “Lakukanlah!”
Lima belas santri saling berpandangan belum bergerak. Justru air mata mereka semakin banyak bercucuran. Kyai Barnawi mengulang ucapannya sambil menahan air matanya sendiri agar tidak tumpah. “Lakukanlah!”
Tapi tubuh lima belas santri hanya bergetar gemetar belum berani memulai.
Kyai Barnawi mengangkat wajahnya menatap lima belas santri dan kembali mengulang ucapannya lebih keras. “Lakukanlah! Ini perintah!” Sambil berkata begitu Kyai Barnawi meraih batu dan dengan gerak tangan gemetar melemparkannya ke kepala Mondir.
Kyai Barnawi mengangkat wajahnya menatap lima belas santri dan kembali mengulang ucapannya lebih keras. “Lakukanlah! Ini perintah!” Sambil berkata begitu Kyai Barnawi meraih batu dan dengan gerak tangan gemetar melemparkannya ke kepala Mondir.
Lemparan Kyai Barnawi diikuti lima belas santrinya. Dalam sekejap puluhan batu melayang di udara menghajar kepala Mondir diikuti pekikkan Allahu akbar yang terus menggema saling bersahutan hingga kepala Mondir rekah menghembuskan napas terakhir. Mondir mati. Bibirnya mengurai senyum. Kyai Barnawi cepat-cepat menghampiri Mondir. “Innalillahi wa innailaihi raji’un…” ucap Kyai Barnawi seraya mengusap wajah Mondir yang merah darah dan menciumnya. Kyai Barnawi kembali menangis. “Semua berasal dari Gusti Allah dan akan berpulang pada-Nya. Kita baru saja menyaksikan salah seorang hamba Allah yang mati sahid….”
Seminggu berlalu. Kematian Mondir segera dilupakan para santri. Aktifitas pesantren berjalan seperti biasanya. Sampai di suatu malam Kyai Barnawi mendatangi Jaenab, perempuan cantik yang pernah diperkosa Mondir. Jaenab terlihat murung dan sedih. Wajahnya tampak cekung. “Jaenab…” ucap Kyai Barnawi pelan. “Aku lihat beberapa hari terakhir ini kamu tidak mengikuti pengajian. Aku bisa mengerti dan memahami kesedihanmu, tapi mestinya kamu jangan terus menerus larut dalam kesedihan. Seburuk-buruk muslim adalah dia yang gampang putus asa oleh keadaan, sebab itu adalah perdaya iblis dan setan. Kamu harus bangkit Jaenab. Ingatlah bahwa Gusti Allah tidak pernah memberi cobaan umatnya di luar batas kemampuan umat itu sendiri. Seandainya Gusti Allah memberi cobaan padamu, itu artinya Dia justru perhatian dan sayang sama kamu. Artinya pula kamu sesungguhnya kuat menerima cobaan itu. Jadikan pengalaman masa lalu sebagai pelajaran dan hikmah. Kamu masih muda, Jaenab. Harapan dan cita-citamu masih terbentang lebar di depan…”
“Tapi Kyai….” Jaenab tak sanggup meneruskan kalimatnya. Menangis terisak-isak.
“Kenapa kamu menangis, Jaenab?” tanya Kyai Barnawi.
Sambil menangis Jaenab menggeleng lalu menunduk.
“Kenapa kamu menangis, Jaenab?” tanya Kyai Barnawi.
Sambil menangis Jaenab menggeleng lalu menunduk.
Kyai Barnawi tersenyum lembut. Harum minyak kasturi di surbannya mengembang. “Sekali lagi Jaenab, setiap cobaan selalu ada hikmanya, ingatlah itu! Hanya Rasulullah yang beristri sembilan sebab beliau adalah manusia pilihan. Beliau adalah seutama manusia yang pernah ada di muka bumi ini. Umatnya hanya dibolehkan beristri empat. Itu pun hanya untuk mereka yang bisa berlaku adil pada istri-istrinya seperti… diriku. Dan…Jaenab, seandainya kamu tidak keberatan aku ingin menjadikanmu istri yang ke empat. Siapa tahu ini memang hikmah dari cobaan yang menimpamu.”
Jaenab menatap Kyai Barnawi lekat-lekat. Kesedihan berangsur lenyap dari wajahnya. Matanya perlahan-lahan menyala. “Aku bersedia, Kyai. Tapi katakan padaku, panjenengan tidak akan menambah istri lagi.”
Kyai Barnawi tertawa pelan mengelus-elus jenggotnya. “Bagaimana mungkin aku akan menodai keyakinanku sendiri, Jaenab? Hal itu tidak mungkin aku lakukan. Kapan aku bisa menemui orang tuamu?”
“Kapan saja Kyai mau…”
“Baiklah. Besok pagi aku akan ke sana.” (bersambung)
“Kapan saja Kyai mau…”
“Baiklah. Besok pagi aku akan ke sana.” (bersambung)
2 komentar:
salaam sob..
maaf baru bisa berkunjung coz baru bisa BW lagi.. kemaren2 aktif di dunia nyata.. hehe
oke sob, ijin nyimak2 dulu, semoga bisa berlanjut silaturahim kita.. aamiin.
salaam
siap, bos...
kemarin link-nya aku delete bukan karena link kami belum dipasang...tapi keliru pemuatannya...dah tak coba berkali2 gak bisa juga....
tlng dikasih tau tuk nge-link-nya pake apa, ya..
biar tak pasang link-nya
btw...admin blog ini juga punya nama sama dg anda, lho
agung mabruri...hehehehehe
Posting Komentar