Tubuh para jendral kutembak sebelum kudorong ke dalam lubang sumur. Aku tidak tahu apakah mereka masih bernyawa atau sudah mati saat itu. Aku hanyut dalam histeria kemenangan seorang prajurit muda gagah berani. Masih kuingat hari-hari menjelang malam itu terasa sangat mencekam. Dingin udara malam Jakarta terasa menusuk tulang. Aku dituntut lebih sigap dan cekatan. Trampil menggunakan bedil, meloncat pagar, mendobrak pintu. Tangkap dan hancurkan! Begitu perintah yang kudapat. Perintah tak pernah datang dua kali, kecuali kepalaku dihajar popor senapan atau besi batangan oleh komandan.
Tapi aku terlalu mabuk malam itu. Mabuk kemenangan dan sedikit alkohol. Aku ikut menari-nari di antara pohon karet dan jati bersama puluhan perempuan pelantun genjer-genjer hingga perlahan-lahan berahiku merangkak. Mungkin mataku merah dan gerakanku kacau. Ugh! Perang, darah dan berahi terasa kontras. Hanya prajurit bodoh yang tak terangsang melihat payudara ranum mencuat dari balik kutang hitam dan jembut menyusup selangkangan. “Ayo, ayo, tambah lagi minumannya! Kita merayakan kemenangan. Ini pesta besar! Hei, jangan kau remas pantat perempuan itu, dia milikku!” Seseorang berteriak sambil berputar-putar membagi minuman. Matanya merah menyala. Wajahnya keras. Tapi kurasa aku lebih tertarik dengan perempuan. Minuman hanya membuat ngantuk dan tidur ngorok seperti kerbau. Tapi perempuan membuat terus melek tak bisa tidur. Dan, perempuan itu? Siapa namanya? Ia terus menatapku dan sesekali aku menatapnya. Aku merasakan getar yang aneh. Apakah ia mengenalku sebelum ini?
Perempuan itu menghampiriku lalu kami bersijingkat pergi. Meninggalkan kemeriahan pesta. Perempuan itu menggandeng tanganku. Aku berpikir ia perempuan nakal yang ingin mengajak bersenang-senang. Mungkin ia tahu seorang prajurit butuh banyak kesenangan sehabis bertempur. Atau dia sendiri yang merasa lelah dan perlu hiburan? Malam itu memang melelahkan atau mulai membosankan. Perempuan itu terus menggandeng tanganku, lebih erat. Mungkin ia sudah tak tahan lagi. Mungkin kami akan melakukannya cepat-cepat di pinggir jalan atau di losmen murahan. Tapi perempuan itu terus membawaku melewati jalan setapak semak-semak dan gang sempit berkelok-kelok.
Tembok rumah itu kusam. Kami masuk ke dalam. Aku seperti berada di dunia yang asing. Lengang dan sunyi. Kemeriahan pesta di kebun karet segera kulupakan. Aku masuk ke sebuah kamar. Cahaya lampu temaram berwarna kemerahan. Warna yang membuat wajah perempuan itu terlihat menggairahkan. Kukira ia sudah tak sabar memulai. Lalu kami melakukannya di atas ranjang reot yang selalu berderit-derit jika pantat perempuan itu bergoyang sedikit lebih kencang. Bantal dan guling berhamburan. Ini pertama kali aku melakukannya. Tapi mungkin perempuan itu sudah berkali-kali. Ia cekatan membuat tubuhku berkali-kali seperti melayang. Oh… dalam satu malam aku mendapat dua pengalaman baru. Membunuh orang dan bersetubuh dengan perempuan. Kukira aku menyukai keduanya. Perempuan itu mengenalkan namanya: Lasmi. Lalu kami tidur. Kami sama-sama lelah.
Aku tak tahu berapa lama aku tidur. Tak ada jam di kamar itu. Saat bangun, Lasmi, perempuan itu sudah pergi. Aku bangkit membuka jendela dan ternyata hari sudah gelap. Kulihat lampu-lampu menyala muram seperti kesedihan yang tertahan. Sejenak aku tersenyum ingat kejadian semalam. Aku memanggil Lasmi tapi tak ada jawaban. Aku semakin yakin Lasmi meninggalkanku. Aku kemudian melangkah ke kamar mandi. Aku pun juga harus pergi. Gebyuran-gebyuran air dingin membuat tubuhku kembali segar. Saat keluar dari kamar mandi, ternyata Lasmi berdiri menungguku di dapur. Pakaiannya rapi tapi wajahnya terlihat tegang. Aku kembali ingat kejadian semalam. Wajah perempuan itu merah menyala napasnya berlesatan seperti peluru. “Pangkostrad berkhianat. Ia berbalik menggempur teman-temannya sendiri. Sebaiknya dalam beberapa hari ini kamu jangan pergi kecuali kamu mau ditembak mati!” kata Lasmi dengan suara serak.
Berkhianat? Aku tergelak mendengar lelucon Lasmi. Kukira ia ingin menakut-nakutiku. Tapi aku prajurit tangguh tak mungkin gentar oleh gertak sambal. Kulihat wajah Lasmi berubah merah mendengar suara tawaku pecah. Mungkin ia marah sebab sekilas menatapku tajam. “Makanlah!” katanya kemudian sambil mengangsurkan nasi bungkus. Aku menerimanya dan mulai makan. Sesaat suasana hening. Kulihat wajah Lasmi tetap tegang, berjalan gelisah mondar-mandir. “Isu kudeta Dewan Jendral hanya omong kosong!” Tiba-tiba Lasmi bersuara. “Pangkostrad telah memelintir isu keberadaan Dewan Jendral. Kita semua ditipu. Pada gilirannya kamu akan diburu dan didor!” Lasmi menunjuk jidatku dengan telunjuknya. Kukira ia memang sedang tidak main-main. Aku segera menyelesaikan makanku.
“Aku tak paham maksudmu. Yang kutahu para jendral tidak setuju Presiden membentuk Angkatan Kelima. Mereka kemudian berencana menggulingkan Presiden,” kataku melempar bungkus nasi ke tempat sampah.
Dengan isyarat mata Lasmi mengajakku ke kamar. Ketegangan di wajahnya bercampur dengan ketakutan. Sisa keringat sedikit melunturkan bedak di wajahnya. Lasmi terlihat beda dengan yang semalam. Mungkin karena semalam aku mabuk meski hanya sedikit menenggak alkohol. “Presiden membentuk Angkatan Kelima untuk menampung sumbangan senjata dari RRT dan Rusia…” kata Lasmi sesampai di kamar duduk di atas ranjang reot yang masih berantakan. “Menpangad Letjen Ahmad Yani dan para Perwira ABRI lain memang tidak setuju dengan ide itu. Tapi dari situ tiba-tiba isu berkembang mengenai adanya sekelompok perwira AD yang tidak puas dengan Presiden membentuk kelompok Dewan Jenderal dan akan melakukan kudeta. Karena kenyataannya baik dari kubu Yani maupun Nasution tak ada yang ingin melakukan kudeta!” (bersambung)
*) TEGUH WINARSHO AS, lahir di Kulonprogo, Yogyakarta, 27 Desember. Buku-bukunya yang sudah terbit, kumpulan cerpen Bidadari Bersayap Belati (Gamamedia, 2002), Perempuan Semua Orang (Arrus, 2004), Kabar dari Langit (Assyamil, 2004), Tato Naga (Grasindo, 2005), dan novel: Tunggu Aku di Ulegle, roman dan tragedi di bumi serambi mekah (Bening Publishing, 2005), Jadikan Aku Pacar Gelapmu (Arrus, 2006). Novelnya: Di Bawah Hujan dimuat bersambung di harian sore Suara Pembaruan (2000), Orang-Orang Bertopeng dimuat di Sinar Harapan (2002), Purnama di Atas Jakarta dimuat Republika (2005). Kini mengibarkan bendera dengan nama penerbitan Lafal Indonesia.
Perempuan itu menghampiriku lalu kami bersijingkat pergi. Meninggalkan kemeriahan pesta. Perempuan itu menggandeng tanganku. Aku berpikir ia perempuan nakal yang ingin mengajak bersenang-senang. Mungkin ia tahu seorang prajurit butuh banyak kesenangan sehabis bertempur. Atau dia sendiri yang merasa lelah dan perlu hiburan? Malam itu memang melelahkan atau mulai membosankan. Perempuan itu terus menggandeng tanganku, lebih erat. Mungkin ia sudah tak tahan lagi. Mungkin kami akan melakukannya cepat-cepat di pinggir jalan atau di losmen murahan. Tapi perempuan itu terus membawaku melewati jalan setapak semak-semak dan gang sempit berkelok-kelok.
Tembok rumah itu kusam. Kami masuk ke dalam. Aku seperti berada di dunia yang asing. Lengang dan sunyi. Kemeriahan pesta di kebun karet segera kulupakan. Aku masuk ke sebuah kamar. Cahaya lampu temaram berwarna kemerahan. Warna yang membuat wajah perempuan itu terlihat menggairahkan. Kukira ia sudah tak sabar memulai. Lalu kami melakukannya di atas ranjang reot yang selalu berderit-derit jika pantat perempuan itu bergoyang sedikit lebih kencang. Bantal dan guling berhamburan. Ini pertama kali aku melakukannya. Tapi mungkin perempuan itu sudah berkali-kali. Ia cekatan membuat tubuhku berkali-kali seperti melayang. Oh… dalam satu malam aku mendapat dua pengalaman baru. Membunuh orang dan bersetubuh dengan perempuan. Kukira aku menyukai keduanya. Perempuan itu mengenalkan namanya: Lasmi. Lalu kami tidur. Kami sama-sama lelah.
Aku tak tahu berapa lama aku tidur. Tak ada jam di kamar itu. Saat bangun, Lasmi, perempuan itu sudah pergi. Aku bangkit membuka jendela dan ternyata hari sudah gelap. Kulihat lampu-lampu menyala muram seperti kesedihan yang tertahan. Sejenak aku tersenyum ingat kejadian semalam. Aku memanggil Lasmi tapi tak ada jawaban. Aku semakin yakin Lasmi meninggalkanku. Aku kemudian melangkah ke kamar mandi. Aku pun juga harus pergi. Gebyuran-gebyuran air dingin membuat tubuhku kembali segar. Saat keluar dari kamar mandi, ternyata Lasmi berdiri menungguku di dapur. Pakaiannya rapi tapi wajahnya terlihat tegang. Aku kembali ingat kejadian semalam. Wajah perempuan itu merah menyala napasnya berlesatan seperti peluru. “Pangkostrad berkhianat. Ia berbalik menggempur teman-temannya sendiri. Sebaiknya dalam beberapa hari ini kamu jangan pergi kecuali kamu mau ditembak mati!” kata Lasmi dengan suara serak.
Berkhianat? Aku tergelak mendengar lelucon Lasmi. Kukira ia ingin menakut-nakutiku. Tapi aku prajurit tangguh tak mungkin gentar oleh gertak sambal. Kulihat wajah Lasmi berubah merah mendengar suara tawaku pecah. Mungkin ia marah sebab sekilas menatapku tajam. “Makanlah!” katanya kemudian sambil mengangsurkan nasi bungkus. Aku menerimanya dan mulai makan. Sesaat suasana hening. Kulihat wajah Lasmi tetap tegang, berjalan gelisah mondar-mandir. “Isu kudeta Dewan Jendral hanya omong kosong!” Tiba-tiba Lasmi bersuara. “Pangkostrad telah memelintir isu keberadaan Dewan Jendral. Kita semua ditipu. Pada gilirannya kamu akan diburu dan didor!” Lasmi menunjuk jidatku dengan telunjuknya. Kukira ia memang sedang tidak main-main. Aku segera menyelesaikan makanku.
“Aku tak paham maksudmu. Yang kutahu para jendral tidak setuju Presiden membentuk Angkatan Kelima. Mereka kemudian berencana menggulingkan Presiden,” kataku melempar bungkus nasi ke tempat sampah.
Dengan isyarat mata Lasmi mengajakku ke kamar. Ketegangan di wajahnya bercampur dengan ketakutan. Sisa keringat sedikit melunturkan bedak di wajahnya. Lasmi terlihat beda dengan yang semalam. Mungkin karena semalam aku mabuk meski hanya sedikit menenggak alkohol. “Presiden membentuk Angkatan Kelima untuk menampung sumbangan senjata dari RRT dan Rusia…” kata Lasmi sesampai di kamar duduk di atas ranjang reot yang masih berantakan. “Menpangad Letjen Ahmad Yani dan para Perwira ABRI lain memang tidak setuju dengan ide itu. Tapi dari situ tiba-tiba isu berkembang mengenai adanya sekelompok perwira AD yang tidak puas dengan Presiden membentuk kelompok Dewan Jenderal dan akan melakukan kudeta. Karena kenyataannya baik dari kubu Yani maupun Nasution tak ada yang ingin melakukan kudeta!” (bersambung)
*) TEGUH WINARSHO AS, lahir di Kulonprogo, Yogyakarta, 27 Desember. Buku-bukunya yang sudah terbit, kumpulan cerpen Bidadari Bersayap Belati (Gamamedia, 2002), Perempuan Semua Orang (Arrus, 2004), Kabar dari Langit (Assyamil, 2004), Tato Naga (Grasindo, 2005), dan novel: Tunggu Aku di Ulegle, roman dan tragedi di bumi serambi mekah (Bening Publishing, 2005), Jadikan Aku Pacar Gelapmu (Arrus, 2006). Novelnya: Di Bawah Hujan dimuat bersambung di harian sore Suara Pembaruan (2000), Orang-Orang Bertopeng dimuat di Sinar Harapan (2002), Purnama di Atas Jakarta dimuat Republika (2005). Kini mengibarkan bendera dengan nama penerbitan Lafal Indonesia.
0 komentar:
Posting Komentar