Kamis, 05 Mei 2011 By: sanggar bunga padi

Kantring Genjer-Genjer [dari kitab kuning sampai komunis] bagian 3


Oleh: TEGUH WINARSHO AS * 

Meski tidak cukup puas dengan jawaban Ki Sangir, tapi Sadikin mengangguk-angguk. Mungkin bapak dan anak memang tidak harus mati dalam waktu hampir bersamaan sehingga tidak menimbulkan kecurigaan. Begitu batin Sadikin menenangkan diri. Kini prioritasnya justru menyingkirkan Ki Sangir terlebih dulu sebelum para cantrik bersimpati terlalu jauh. Atau…tiba-tiba Sadikin teringat Suni, istri muda Ki Sangir. Perempuan itu tentu akan dicampakkan setelah Ki Sangir melakukan ritual sirnahangenti. Itu artinya ia bisa menjarah tubuh molek Suni sebelum membunuh Ki Sangir. Ya, ya, ia akan mendapatkan janda Suni sekaligus membunuh Ki Sangir. Ia akan merasakan tubuh Suni. Ia belum pernah bersetubuh dengan perempuan kecuali ketika masih muda sebelum pincang dengan seekor angsa yang langsung ia gorok lehernya.

DUA 

O…Maaf. Maaf, Ibu. Bukan itu yang sebenarnya ingin kuceritakan padamu. Sebab mungkin kamu sudah tahu. Tapi iblis cantik itu. Iblis yang pada suatu malam memperkosaku. Kukira ia mengendap-endap lewat kebun belakang, bersijingkat menyibak rumput ilalang menghampiriku. Aku setengah tertidur kala itu, sebab malam dingin bertabur gerimis. Aku hanya pakai sarung tanpa celana — kebiasaan kanak-kanak ketika sering tidur di surau selepas mengaji bersama teman-teman. Iblis cantik itu datang menemuiku, Ibu. Meniup jendela kamar hingga kedua daunnya terbuka lebar dan angin berembus keras serupa kemunculan hantu. Aku menggosok-gosok mata. Letih dan jengah. Kutemukan iblis cantik itu telah duduk di sampingku. Tersenyum menatapku. Sepasang matanya binar-binar menyala. “Kenapa kamu tidur di kamar Ayahmu, anak muda? Hmm… kamu tampan sekali. Tubuhmu kekar. Dadamu penuh bulu. Apakah kamu juga cukup sakti?”

Ibu, aku tergagap melihat iblis cantik itu. Tapi aku bukan Jaka Tarub yang mudah berahi melihat pantat montok dan payudara sebesar semangka merah. Aku justru takut. Bulu kudukku meremang berdiri. Senyum perempuan itu semakin lebar melihat ketakutanku. Ia sibak rambutnya yang hitam, panjang dan wangi. Saat itu aku baru sadar ia telanjang. Tak ada sehelai pakaian melekat di tubuhnya yang menguar cahaya kristal. 

“Aku tahu kamu belum pernah bercinta dengan perempuan secantik diriku. Jangan takut-takut. Mendekatlah padaku. Aku bisa membuat dirimu menjadi apa saja jika mau bercinta denganku…” Tapi tubuhku menggigil gemetar, Ibu. Belum pernah kulihat perempuan secantik itu kecuali dari cerita-cerita para kuli pengangkut batu.

Dan inilah kelanjutan cerita yang dituturkan seorang laki-laki tua pengangkut batu di hari ke empat sebelum napasnya menguap:

Dusun Panjen semakin kisruh. Setiap orang bisa dengan mudah meradang oleh persoalan sepele. Bertentang pandang di jalan, mengutuk dan memaki lalu berkelahi. Penduduk terbagi dalam dua kelompok. Kelompok Kyai Barnawi dan Ki Sangir. Penduduk menyakini dua orang itu memiliki kesaktian sendiri-sendiri. Tapi suatu hari Kyai Barnawi benar-benar tak bisa menahan murka melihat Sadikin dan Ki Sangir mulai terang-terangan menyuruh para cantrik mengirim sesaji berupa potongan kepala kambing betina bunting untuk perempuan iblis penunggu kali. “Agar Nyi Ratu Krasak mau berdamai dengan kalian! Ingatlah bahwa Nyi Ratu Krasak akan melindungi kalian dari setiap bencana dan musim paceklik lewat perantara Pangeran Sejati!” Begitu ucap Ki Sangir berulang-ulang. Memang benar sejak itu tak ada lagi pengangkut batu yang mati menggelinding dari ketinggian. Tak ada godaan dari perempuan iblis laknat dengan panggilan suaranya yang merdu atau lambaian tangan.

Tapi Kyai Barnawi berani bersumpah atas nama Gusti Allah bahwa semua itu hanya tipu muslihat Ki Sangir untuk menjerumuskan penduduk dalam lembah kemusyrikan. Menyekutukan Gusti Allah dengan benda-benda dan makhluk ciptaan-Nya. Kyai Barnawi semakin gencar memberi ceramah agama, tapi Ki Sangir juga tak mau kalah. Ki Sangir seperti tertantang dan dengan kalap justru menyatakan dirinya sebagai Pangeran Sejati. Kepada para cantriknya Ki Sangir mengajarkan: Ya ingsun iki Gusti Allah, dzat ingkang agung, ingkang suci, jejuluk Ki Sangir Hamintani, nyata Ingsun utusan kang sejati saking bangsa langit, tan ana liyan jatine ingkang aran bangsa Allah utawi aran sanes kejaba ingsun tiambak, awit ingsun iku wujudhing Pangeran sejati, senadyan sira kabeh ngaturana ing Pangeran kang sejati, namun ingsun ngendika ora, mangsa kalakon yekti. [ya saya inilah Gusti Allah, sifat yang maha besar, yang maha suci, yang bernama Ki Sangir Hamintani, sayalah yang benar-benar sejati utusan dari kerajaan langit, tidak ada yang lain dengan nama Ketuhanan atau nama yang lain kecuali hanya diri saya sendiri, karena sayalah wajah wujudnya Tuhan sejati, maka meskipun kamu menghadap pada Tuhan yang sejati, tapi jika aku berkata tidak, maka hal itu mustahil terjadi].

Sementara ajaran Kyai Barnawi: [Sira kabeh pada mlebuo ana sajrone Islam kanthi sempurna. Lan sira kabeh aja padha manut tingkah lakune syetan. Awit satemene syetan iku mungsuh kang nyata tumrape sira. Mula sing sapa wonge ngarep-arep ketemu karo Pangerane, wong mau supaya nindakake amal shaleh lan ora nyekutokake sajrone ngibadah marang Pangerane karo apa sapa bae. Gusti Allah iku papan gumantunge kabeh para makhluk. Ora ana sapa lan apa bae sing madhani Panjenengane!]

Beberapa hari kemudian para cantrik padepokan Sadikin bahu membahu membangun padepokan lebih megah sebagai tanda syukur atas nikmat dan karunia keselamatan para pengangkut batu kali dari gangguan Nyi Ratu Krasak lewat perantara Ki Sangir. Tiga kepala kerbau dan sembilan babi hutan ditanam untuk tumbal keselamatan padepokan. Malam harinya tarian Langgeturuk digelar tiga malam berturut-turut di atas panggung besar di halaman padepokan menghadirkan duapuluh gadis perawan yang hanya mengenakan kutang dan celana dalam. Tengah malam saat hujan turun deras satu per satu para penari diseret ke belakang panggung, ditelanjangi lalu diperkosa bergiliran sebelum dicekoki tuak dan jamur masrum. Tak ada yang merasa sedih sebab para cantrik sakti mandraguna sekaligus memiliki banyak uang.

Di antara suara mabuk meracau para cantrik mengolok-olok Kyai Barnawi sebab pesantrennya hampir ambruk sementara sebagian besar santrinya kabur menjadi pemabuk dan pezina ulung. Memang perih hidup dalam belenggu kemiskinan. Ujian terberat yang bisa membuatmu tergelincir dalam kufur — begitu tertulis dalam sebuah kitab. Menahan sahwat lebih mudah dari pada menahan haus dan lapar. Kyai Barnawi pun menyerah, angkat tangan silau melihat padepokan Sadikin berdiri megah serupa kerajaan Sulaiman. Duh, Gusti, apakah salah jika aku menandingi padepokan Sadikin meski harus menyuruh para santriku mencuri? Jerit Kyai Barnawi berkali-kali selepas shalat malam sembari tengadah menghadap langit. (bersambung)

*) TEGUH WINARSHO AS, lahir di Kulonprogo, Yogyakarta, 27 Desember. Buku-bukunya yang sudah terbit, kumpulan cerpen Bidadari Bersayap Belati (Gamamedia, 2002), Perempuan Semua Orang (Arrus, 2004), Kabar dari Langit (Assyamil, 2004), Tato Naga (Grasindo, 2005), dan novel: Tunggu Aku di Ulegle, roman dan tragedi di bumi serambi mekah (Bening Publishing, 2005), Jadikan Aku Pacar Gelapmu (Arrus, 2006). Novelnya: Di Bawah Hujan dimuat bersambung di harian sore Suara Pembaruan (2000), Orang-Orang Bertopeng dimuat di Sinar Harapan (2002), Purnama di Atas Jakarta dimuat Republika (2005). Kini mengibarkan bendera dengan nama penerbitan Lafal Indonesia.

0 komentar:

Posting Komentar

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...