Oleh: TEGUH WINARSHO AS *
Dua hari kemudian Kyai Barnawi seperti mendapat jawaban. Wajahnya cerah, bercahaya. “Dengarkan baik-baik, pesantren ini harus lebih megah dari padepokan Sadikin agar orang-orang Panjen tahu Islam itu kaya!” Begitu ucapan awal Kyai Barnawi selepas shalat Isya’. Di hadapannya, duduk di atas tikar lusuh, sembilan anak muda dengan wajah takzim menyimak baik-baik setiap kata yang keluar dari mulut Kyai Barnawi. Sembari menghitung butir tasbih, Kyai Barnawi menatap satu per satu anak muda di depannya dengan pandangan nanar. “Mulai malam ini kalian kuizinkan mencuri! Bangunlah pesantren ini lebih megah dari padepokan Sadikin!” Dalam senyap suara Kyai Barnawi bergetar. Matanya mengerjat hangat.
“Tapi bukankah mencuri berdosa, Kyai?” Salah seorang santri bertanya ragu. Buru-buru menunduk tak ingin bertentang pandang dengan Kyai. Kyai Barnawi beralih menatap santri itu, tertawa pelan. “Gusti Allah Maha Kaya dan Pemurah,” jawab Kyai Barnawi penuh kepastian. Memutar-mutar butir tasbih, hatinya terus berdzikir: subhanallah, subhanallah, subhanallah…. Dingin malam menerobos jendela. Disusul gerimis, tiris. Namun, sembilan santri tetap tidak berpaling dari hadapan Kyai Barnawi. Mencium telapak tangan Kyai akan membuat seumur hidupmu dilimpahi keberkahan. Apalagi mendengar wejangannya yang bersumber dari kesucian hati seorang wali. “Ketahuilah, semua yang ada di muka bumi dan langit ini milik Gusti Allah. Di situ melimpah rizki Gusti Allah.” Suara Kyai Barnawi menjadi lirih, tertelan gerimis.
“Maksud Kyai?”
Kyai Barnawi lagi-lagi tersenyum. Matanya menyorot teduh dan lembut. Melilitkan surban di lehernya lebih erat, batuk-batuk kecil tertahan. “Dengarkan cerita ini baik-baik…” Kyai Barnawi berhenti sebentar menghirup napas dalam-dalam. Kembali menatap satu per satu santrinya. “Pada suatu hari para sahabat datang ke rumah Khalifah Umar mengadukan seorang pencuri yang ketahuan mengambil harta milik orang kaya. Para sahabat menginginkan agar Khalifah Umar sendiri yang memotong tangan pencuri itu. Akan tetapi Khalifah Umar tidak tega melakukan, lantaran pencuri itu hidupnya sangat miskin. Beberapa hari kemudian para sahabat datang lagi ke rumah Khalifah Umar membawa pencuri yang sama. Kembali Khalifah Umar tidak tega memotong tangan pencuri itu. Khalifah Umar justru berkata, jika dia sampai mencuri untuk yang ketiga kalinya, maka yang harus dipotong bukan tangannya, melainkan tangan si orang kaya. Jadi… kukira kalian semua mengerti maksudku!”
Blzaarr! Terdengar guntur menyambar di langit kelam diikuti hujan deras. Angin meliuk menghajar pepohonan. Kilat berlesatan serupa lidah naga. Panjen tidur lelap setelah tiga hari tiga malam suntuk mabuk disuguhi goyangan pantat para penari Langgeturuk memamerkan betis putih dan paha mulus. Hanya orang-orang yang masih ingat Gusti Allah justru mempertebal iman di situasi seperti ini. Hujan itu berkah. Bacalah Al-qur’an sekeras mungkin agar pintu rizki terbuka lebar bersama hujan yang turun. Kyai Barnawi pun khusuk berdoa di pojok surau sementara sembilan santrinya meloncat keluar menerjang hujan, mengendap-endap menghampiri rumah penduduk sambil membesarkan asma Allah dalam hati. Tidak ketinggalan gudang beras padepokan Sadikin turut dijarah. Tak ada ketakutan sebab Gusti Allah selalu menyertai langkah para hambanya yang saleh.
Apalagi Kyai Barnawi terus berdoa hingga bercucuran air mata. “Duh, Gusti Allah, berikan keselamatan pada santri-santriku yang malam ini menjarah harta penduduk untuk menegakkan agamamu di dusun Panjen yang laknat ini. Setiap hari penduduk terus menumpuk harta dengan cara menyekutukan-Mu. Menyembah batu, kepala kambing, kerbau dan babi. Kini atas izin-Mu aku ingin mengembalikan harta mereka di jalan-Mu. Mensucikan tanah Panjen sebelum adzab-Mu yang lebih besar datang menimpa kami. Duh, Gusti Allah, ampuni hambamu jika yang kulakukan ini keliru. Kelak potonglah kedua tanganku. Tapi aku juga minta keadilan-Mu untuk memotong tangan Khalifah Umar sebab aku mengikuti ajarannya. Duh, Gusti Allah, segala kebaikan hanya datang dari-Mu, sedang segala kebatilan itu semata karena kekerdilanku. Hanya kepada-Mu aku memohon dan hanya kepada-Mu pula aku berserah. Amien.” Kyai Barnawi menutup doanya sebelum bergegas hendak mengumandangkan adzan subuh. Wajahnya basah air mata.
Tapi tiba-tiba seorang santri tergopoh-gopoh datang memikul beras sekarung dan dua sak semen. “Kyai, semua kamar sudah penuh terisi beras, gandum, ubi, jagung, singkong, pisang, sepeda, pakaian, emas-emasan dan radio. Apakah beras dan semen ini boleh saya letakkan di surau?” Terengah-engah napas santri menahan beban berat di punggungnya. Kyai Barnawi tersenyum lembut menyeka bekas air mata di wajahnya. “Semulia-mulia tempat di dunia ini hanya masjid atau surau. Bawalah beras dan semen itu masuk ke dalam. Semoga berkah Gusti Allah justru semakin berlimpah di tempat ini. Oya, di mana teman-temanmu yang lain?” Kyai Barnawi mengeluarkan tasbih dari kantong bajunya.
“Masih menjarah, Kyai. Insya Allah kita bisa segera mulai membangun pesantren.” Santri itu tersenyum bangga. Giginya yang lumayan tonggos selalu terbuka. Tapi ia tidak pernah merasa minder sebab tahu Gusti Allah tidak pernah membedakan seseorang dari penampilan fisik kecuali tebal tipis iman seseorang.
“Gusti Allah menguji penduduk Panjen dengan kehilangkan harta benda semata-mata agar mereka selalu ingat Gusti Allah. Kelak jika pesantren ini selesai dibangun mudah-mudahan mereka sadar, kembali ke jalan Gusti Allah.” Suara Kyai Barnawi terdengar merdu di subuh hening sambil mengelus-elus jenggotnya yang kian panjang.
Empat jam kemudian saat matahari rekah dari balik bukit Cuwuk, dusun Panjen geger sebab semua penduduk kemalingan. Sadikin dan Ki Sangir blingsatan berkali-kali menelan ludah. Sesekali keduanya bertentang pandang dalam kerisauan yang menekan. Jelas sekali kesaktian Ki Sangir sedang mendapat cobaan maha besar. Bagaimana mungkin semua penduduk Panjen bisa kemalingan sementara ia tidur ngorok mendekap tubuh langsat istri Paijan? Di mana letak kesaktiannya? Di mana kekuatan ilmu ngenditsukma miliknya yang kabarnya mampu membentengi penduduk Panjen dari semua tindak culika? Sungguh memalukan! Ratusan makhluk gaib bisa ia usir dan tangkal, tapi gerombolan maling nista yang mengobrak-abrik Panjen luput dari pengamatannya. Ki Sangir cemas cantrik-cantriknya menghujat dan melecehkan kesaktiannya. Diam-diam Ki Sangir tahu Kyai Barnawi yang melakukan semua itu. Hanya Kyai Barnawi yang berani melakukan. Semua penduduk Panjen tak ada yang berani mengusiknya. Tapi ia tak punya cukup bukti. Ia lelap tidur seperti tersirap. Akhirnya kecurigaan itu ia pendam seorang diri sambil berpikir bagaimana menyingkirkan Kyai Barnawi sebelum penduduk Panjen berpaling dari ajaran-ajarannya.
Pada saat yang sama Kyai Barnawi merapatkan barisan santrinya yang tinggal sembilan gelintir. Selain disuruh memberi ceramah ke dusun-dusun, mengetuk pintu rumah janda-janda miskin dan para jompo, mereka juga mulai membangun pesantren yang pasti roboh seandainya tiupan angin bergerak sedikit lebih cepat dari biasanya. Juga mendirikan surau baru yang lebih besar dan kokoh dari batu bata, semen dan besi-besi yang dicuri dari rumah Ki Sangir. Tapi Ki Sangir kembali tak mau tinggal diam. Ia mengumpulkan semua cantrik di pendopo padepokan, kembali mempertegas ajarannya: Sadat, salat, puwasa, jakat, pitrah lan apa bae laku syariat iku wujudhe namung lahir. Sejatining sedaya amalan iku lumantar ingsun, Pangeran sira. Salat dikir, jengkang-jengking wonten masjid lan langgar ting krembyah ora ana ganjarane sanadyan batuk sira wus nganti ngapal ireng kaya watu lumuten. (bersambung)
*) TEGUH WINARSHO AS, lahir di Kulonprogo, Yogyakarta, 27 Desember. Buku-bukunya yang sudah terbit, kumpulan cerpen Bidadari Bersayap Belati (Gamamedia, 2002), Perempuan Semua Orang (Arrus, 2004), Kabar dari Langit (Assyamil, 2004), Tato Naga (Grasindo, 2005), dan novel: Tunggu Aku di Ulegle, roman dan tragedi di bumi serambi mekah (Bening Publishing, 2005), Jadikan Aku Pacar Gelapmu (Arrus, 2006). Novelnya: Di Bawah Hujan dimuat bersambung di harian sore Suara Pembaruan (2000), Orang-Orang Bertopeng dimuat di Sinar Harapan (2002), Purnama di Atas Jakarta dimuat Republika (2005). Kini mengibarkan bendera dengan nama penerbitan Lafal Indonesia.
0 komentar:
Posting Komentar