Sabtu, 29 Januari 2011 0 komentar By: sanggar bunga padi

Sendratari Jiwa Lara

Terhidang secangkir kopi menu senja hari basahkan dahaga, menghapus peluh keringat, menurunkan ritme nafas menghantar pada kembara angan.....

Terhadang sepenggal kisah dramaturgi teruarai mengalir merdeka tanpa sutradara ,
berkonspirasi dengan intonasi, emosi, ekspresi, semua bertekuk sujut sembah,
tak ayal inspirasikupun tanpa daya diperkosa lengah terengah..ah..

terkadang, berdendang tembang sumbang yang lama hilang
melantun santun menurun menuntun bermohon ampun...
berlenggok menari diatas bara api, gemulai berselendang baja besi tempa....
selaksa rasa menggoda merenda jaring-jaring lengking fatamorgana

wahai Sang Siang yang kerontang jangan coba lantang menantang ..
aku ini bintang jalang, malamku adalah siang, siangku adalah perang..
tak kan lekang digelantang, tak kan regang dipanggang....

diujung daun itu bergelayut embun....beningnya menyejukkan hening...
sebulir padi terjatuh di ujung telapak kaki, mata kaki menelanjangi tanpa berkedip meneliti...
berharap segera ada terang diufuk dini hari...atau bulir padiku akan terinjak dalam selesak jejak berpijak...???

mendung menggelantung mengeliat menggulung relung-relung embun.
berganti hujan, tersedu....mengharu biru pelangi warna warni lamunan
setangkai mawar merahku masih terbalut dingin, terbelah
suntuknya pecah menengadah, senyumnya kini merekah....

Namun senyum itu... bukan untukku...
aku menunggu tangismu....
sebelum setangkup pintu menutup kalbuku
beri aku sedikit waktu utk menata hati, merangkai untaian kosa kata hingga saatnya tiba tidak lagi ada yang didera luka, oleh tajamnya asa-ku..

Girmulyo, Minggu II Januari 2011
Istono
Selengkapnya...

Kamis, 27 Januari 2011 0 komentar By: sanggar bunga padi

Basuki Resobowo: Bercermin Di Muka Kaca -- Seniman, Seni, dan Masyarakat (Bagian Terakhir)

Seniman, Seni, dan Masyarakat

Pada tahun 1947 pernah terbit sebuah buku tipis, berformat A-4 berkulit hijau dengan judul mirip: Seni, Seniman dan Masyarakat. Semacam bunga-rampai esai dari beberapa seniman dari berbagai bidang seni dan kebudayaan, tapi yang paling penting adalah karangan SS yang berjudul sama seperti judul buku bunga-rampai ini.

Dalam esainya ini SS ingin menegaskan tentang hubungan dan peranan timbal-balik antara seni, seniman dan masyarakat, yang dalam hubungan ini ia –- antara lain -- mengemukakan dalil-dalilnya, bahwa "seni ialah jiwa yang kétok"; "yang benar selalu indah", dan sebaliknya "yang indah tidak selalu benar".

BR dengan "Seniman, Seni, dan Masyarakat" [1994], yang ditulisnya hampir setengah abad sesudah esai SS [1947], mengajukan pendiriannya dengan lebih tegas. Yaitu bahwa "seni" dan "politik" tidak bisa saling dipisahkan, dan bahwa seni harus dijiwai "Marxisme" jika hendak mengabdi kepada rakyat --walaupun ia tidak cukup jelas memberikan uraian tentang “Marxisme” yang harus diabdinya itu.

Ditilik dari sudut tema, esai panjang BR ini bukan lagi perihal baru. Prapanca menulis “Negarakertāgama” sengaja untuk persembahan bagi penguasa politik yang diabdinya, yaitu raja Hayam Wuruk. Sedah dan Panuluh menyadur beberapa parwa Bharatayuddha, untuk mengagungkan junjungan mereka, Jayabhaya, raja Kediri. Ranggawarsita dipecat dari kedudukannya sebagai pujangga penutup kraton Surakarta, dan pulang kembali ke kediamannya di kampung Kedunglumbu, Surakarta, karena dua kitab karangannya "Sabdatama" dan "Sabdajati" yang tidak menjadi perkenan raja.

Pendek kata sudah sejak "jaman klasik" sastra dan politik sudah sama-sama hidup dalam satu tarikan napas yang sama. Seakan-akan tanpa soal. Seolah-olah memang begitulah semestinya. Pujangga Empu Sedah dihukum kisas, Juru Sungging Prabangkara dibuang dari telatah kerajaan, Pujangga Ranggawarsita dipecat dari jabatan.

Semua itu peristiwa politik. Tidak pernah "dibikin rame". Politik dalam kaitan seni "menjadi perkara" dan "dibikin rame" sejatinya baru sejak "kemarin sore", yaitu sejak tanggal 17 Agustus tahun 1950 ketika Lekra [Lembaga Kebudayaan Rakyat] lahir dan bergerak, menguliti musang berbulu domba "Sticusa" [Stichting voor Culturele Samenwerking], yang tidak lain berarti "menggempur" sisi kulturil dari butir-butir isi Perjanjian KMB.

Lekra lalu dituding sebagai bencana pembawa hantu-politik di dalam seni, pertama-tama dan terutama oleh jubir Sticusa yang bernama Wiratmo Sukito.

Lekra memang bukan sekedar organisasi kebudayaan. Tapi pertama-tama dan terutama ia adalah gerakan politik kebudayaan [Lihat Catatan 4] atau gerakan kebudayaan yang berpolitik. Justru karena itulah rezim militer Orde Baru tidak mau berlambat-lambat bertindak. Segera sesudah Lekra dilarang, pimpinan dan anggotanya dibunuhi, diburu dan dipenjarakan, "Uril" [Urusan Moril] segera dibentuk di kesatuan-kesatuan militer/AD, termasuk di Kostrad dan Kodam-Kodam. Para seniman ternama, dan juga dalang kondang, segera dihimpun -- baik di pusat maupun di daerah-daerah -- termasuk Sampan Hismanto, F.X. Sutopo [pencipta lagu seriosa "Lebur"], Ki Nartosabdo dan banyak tokoh seniman lainnya. Mereka itu masing-masing lalu diberi pangkat tituler Letnan I.

Memang benar bahwa rezim Orde Baru telah membersihkan politik "kiri" dari dunia seni. Tapi bukannya "seni non-politik", seperti dalih politik kaum Manikebu, yang hendak dibangun oleh rezim Orde Baru ini. Melainkan justru seni yang sarat dengan politik - tentu saja politik Orba bin Golkar bin Militer (AD)! Sedemikian rupa sehingga tapol dalang (alm.) Tristuti Rachmadi Suryosaputro BA pun, harus ikut berkampanye pemilu di Desa Savanajaya Unit IV Pulau Buru – yang notabene unit tapol! -- dengan mempergelarkan lakon "Wahyu Waringin Kencana". Perhatikan nama lakon lakon-pesanan ini: “Waringin”, tentu saja lambang Golkar, dan “kencana” ialah mas – artinya pohon beringin yang satu ini bukan beringin sembarang beringin!

Di atas latar belakang dunia seni di tanahair yang demikian itu, maka esai panjang BR sejatinya membawa pesan yang [maaf!] sudah usang. Malahan sudah sekian tahun berlalu Ariel Heriyanto, melalui "sastra kontekstual", berusaha mendudukkan kembali komitmen sosial sastra dan seni, Mas Oyik [Satyagraha Hoerip alm.] sudah sekian lama dituduh sebagai membangun "Neo Lekra", dan "sastra perlawanan" Widji Thukul telah marak berkibar-kibar.

Pada tahun 1994, ketika BR di Belanda menulis esainya, para seniman dan sastrawan "a-politik" di tanahair sudah kehilangan dalih untuk menolak politik dalam seni. Melawan tidak mampu, menerima tidak mau. Apakah karena itu, maka sebagian mereka lalu mencari trobosan masuk pasaran seni dan sastra dengan mengeksplorasi seks, sekaligus untuk mempedaya [kalau malah bukan mentorpedir secara halus] wacana gender dan feminisme yang sedang marak.

Mengapa BR menulis tema tua "seni, seniman dan masyarakat"? Pertama, sebagai bagian dari serangkaian panjang tulisan-tulisannya tentang seni dan kebudayaan. Kedua, terdorong oleh dua alasan. Alasan pertama, ia naik-pitam terhadap mentornya, SS, yang ditudingnya telah "memisahkan seni dari politik".

Mengamati selisih pendapat dua seniman kiri [marxis] ini saya menjadi bingung. Sementara SS berkata "melukis di mana pun bisa", BR berkata "tanpa lahan tanahair pelukis akan kekeringan". Siapa di antara mereka yang benar-benar seniman marxis. SS tidak salah, jika kita berpegang pada dalil, bahwa "menjadi marxis berarti sekaligus menjadi internasionalis". Itu berarti, bahwa "cinta tanahair" sesungguhnya bukan berarti "cinta tanah" dan "cinta air" di mana seseorang tinggal, melainkan harus berarti "cinta rakyat" di mana seseorang tinggal. BR tentu tidak bisa menyalahkan dalil ini. Tapi, sampai di sini, barangkali BR merasa dihadapkan pada dua masalah besar yang sulit dia jawab. Pertama, rakyat Belanda [atau Eropa Barat] itu yang mana; dan, kedua, seandainya pun pertanyaan ini sudah terjawab, bagaimana untuk bisa "meeleven" dan "beleven" bersama rakyat setempat dengan kemampuan berbahasa yang "pas-pasan".

Kenyataannya BR memang lalu lebih banyak menulis ketimbang melukis, lebih banyak melukis karikatur "masyarakat sendiri" [masyarakat emigran/eksil Indonesia] ketimbang melukis sketsa. Seperti halnya Agam Wispi lebih banyak membikin sajak-sajak eksperimen dalam bentuk satu-dua baris ‘sasafas’ [akronim ciptaannya untuk ‘sajak satu nafas’], atau sajak-sajak kaleidoskopik "amstel-amsteledam-amsterdam" (lihat tulisan saya ‘Sastra Eksil Indonesia’).

Alasan kedua, kekesalan BR pada sesama kawan "emigran politik" [Seni, Seniman dan Masyarakat, hal. 66-85), yang terbukti lebih panjang dari bab-bab terpenting buku ini, yaitu "Seni dan Politik" (hal.10-19), dan "Marxisme dalam Seni" (hal. 19-24]. Perbedaan pandangan dan sikap BR dengan sesama eksil atau emigran setanah-air ditegaskannya melalui kalimatnya yang menyatakan: "menjadi emigran politik bukan suatu korban atau nasib risiko perjuangan, tapi justru menjadi tanggungjawab daripadanya" (hal. 67). Sementara itu kawan-kawannya sesama emigran di mana-mana dengan suara tinggi selalu mengaku diri dan menyatakan sebagai "korban orde baru".

Catatan:
[4] Sebagai ilustrasi saya ingin bercerita sedikit tentang Suyud, pencipta lagu dan tari Jawa, antara lain, "Blanja Wurung". Begitu juga tentang lagu "Ayo Maju", ciptaan Djoni Trisno [anggota sanggar "Pelukis Rakyat"].

Melalui karyanya “Blanja Wurung” (Urung berbelanja) Suyud bukan hanya ‘memotret’ situasi masyarakatnya pada saat itu, tapi juga untuk menggugah masyarakat (rakyat miskin) agar ‘bersuara’. Ini kentara melalui dua kata di dalam lirik lagunya yang beberapa kali diulang-ulang: ‘rega mudhun, rega mudhun …’ (harga turun, harga turun …!).

Sedangkan ‘Ayo Maju’ Djoni Trisno ‘diilhami’ oleh teriakan bersahut-sahutan para pedagang tape singkong, yang berlomba-lomba dengan sepeda turun dari Gunungkidul masuk kota Yogya. Tapi didahului oleh lirik pembuka lagu ‘fajar di timur merah terang’ nuansa sosial politik lagu ini menjadi kentara, dan lebih ‘kental’ ketika lagu ini dipakai dalam kampanye pemilu PKI tahun 1955 di Yogya, ‘yo ayo maju’ lalu diganti ,menjadi ‘yo ayo nyoblos, ayo nyoblos palu-arit …’


Sumber: Hersri Setiawan dalam Catatan Sekolah mBrosot Selengkapnya...

Selasa, 25 Januari 2011 0 komentar By: sanggar bunga padi

Basuki Resobowo: Bercermin Di Muka Kaca -- Seniman, Seni, dan Masyarakat (Bagian 1)

Basuki Resobowo, selanjutnya BR, sebagai sepatah nama seorang seniman, saya kenal sejak tahun 1946, ketika kota Yogyakarta menjadi ibukota RI, yang juga dikenal dalam julukannya "Ibukota Revolusi". Ketika itu sanggar "Pelukis Rakyat" belum berdiri, yang ada baru satu sanggar dan satu organisasi pelukis, yi. sanggar SIM dan organisasi pelukis "PTPI" [Pusat Tenaga Pelukis Indonesia].

Jika "SIM" sebagai bagian dari "Biro Perjuangan" [tepatnya BP Daerah XXV yang wilayahnya meliputi Yogyakarta dan daerah "Dulang Mas" [Kedu-Magelang-Banyumas], kelak menjadi "TNI Masyarakat Daerah XXV"], maka "PTPI” sebagai bagian dari Kementerian Penerangan RI.

Wajah masyarakat Ibukota Revolusi ketika itu, tidak menyimpang dari namanya, adalah wajah dari hasrat yang satu, yaitu hasrat untuk merebut dan membela kemerdekaan. Sehingga bentuk pernyataannya pun satu, yaitu pernyataan semangat perjuangan. Di setiap bidang kosong di gerbong gerbong dan tembok bangunan, misalnya, penuh dengan tulisan semboyan dan lukisan-lukisan perjuangan. Misalnya, sisi dalam tembok timur dan selatan kraton Yogyakarta, berubah menjadi kanvas Lukisan Revolusi, atau "Revolusi dalam Lukisan", sepanjang dan setinggi tembok itu, yaitu panjang 2 km dan tinggi 4 m. Di bawah setiap bagian lukisan yang berangkai-rangkai itu bertanda atau "PTPI" atau "SIM", dan diikuti dengan nama si pelukis yang mengerjakannya, di antaranya Abdulsalam dan BR.

Di samping mempunyai SIM, Bagian Propaganda Biro Perjuangan Daerah XXV juga mempunyai "Petera" [Penghibur Tentara dan Rakyat], yang pada setiap Sabtu petang/malam memberi hiburan/tontonan berupa lagu kroncong dan hiburan, sebagai pendahuluan dan selingan untuk acara pokok yaitu pementasan cerita sandiwara.

Pertunjukan itu benar-benar untuk tentara dan rakyat, yang duduk membaur bersama-sama tanpa pandang pangkat dan kedudukan, siapa datang awal dia punya hak untuk mencari tempat yang dikehendakinya. Pertunjukan berlangsung di "Balai Prajurit" di Jalan Ngabean [sekarang Jalan KHA Dahlan], dan selalu diawali dengan "Lagu Petera" sebagai pembuka acara [lihat Catatan 1].

Lagu dan lakon sandiwara yang dihidangkan tentu saja selalu dalam semangat perjuangan untuk merebut dan membela kemerdekaan [misal: lagu Kr. "Sri Dewi Kemerdekaan", lagu sindiran terhadap para avonturir "Sepanjang Malioboro Raya" [lihat Catatan 2], lakon "Pertempuran Surabaya", "Norma Rantai Mas" dll]. Di trotoar depan gedung ini, setiap hari Jumat sudah dipasang "poster kepang" yang mencantumkan nama para aktor dan aktris yang akan tampil pada pementasan petang hari berikut. (Aktor dan aktris panggung Petera terkemuka ketika itu ialah Sasmito dan Rukinah, kedua-duanya kelak tokoh-tokoh ketoprak ‘Kridha Mardi’ Yogyakarta). Nama BR kembali kujumpai -- tentu saja bersama nama sutradara / penulis lakon yang produktif saat itu: Dahlan Lanisi. Lakon-lakon karangan Dahlan Lanisi kemudian juga terbit dalam bentuk buku-buku kecil oleh penerbit Tjenderawasih, Yogyarakarta.

BR kemudian saya kenal melalui sketsa-sketsanya di majalah BMKN (Badan Musyawarah Kebudajaan Nasional) "Indonesia", melalui omslag "Habis Gelap Terbitlah Terang" [Armijn Pane] dan "Atheis" [Achdiat Kartamihardja]. Itu saya temukan di sepanjang tahun-tahun sampai 1956, sebelum saya giat dalam Lekra. Sosok BR baru saya kenal langsung, ketika saya sudah memimpin Lekra Jawa Tengah. Kenal langsung, tapi dalam kedudukan dia sebagai "orang pusat" dan saya "orang daerah". Pengenalan saya hanya kadangkala jika saya sedang "ke pusat", dan dalam kedudukan hubungan ibarat antara "pamen" dan "pati", perwira menengah dan perwira tinggi!

Ternyata BR seorang yang lugu, apa adanya, kalau bicara suaranya lirih bernada halus [cenderung "klemak-klemèk", kata orang Jawa, sifat yang justru dibencinya!], tapi sorot matanya tajam menyinarkan wataknya yang keras. Jika ia marah, sinar matanya mendadak menyala-nyala, suaranya tetap lirih tapi nadanya menjadi tinggi dan kasar. Endapan khazanah hidup keseharian yang tertimbun dari kampung Tangkiwood (perkampungan aktor dan aktris panggung dan film tempo doeloe di bilangan Sawah Besar Jakarta) dan Pasar Senen yang ia susuri dan sisiri siang-malam, seketika membeludak dan mengalir seperti magma panas menyala. Ini pernah saya dengar – antara lain -- di Cidurian 19, ketika ia memaki-maki Joebaar Ajoeb [padahal yang dimaki tidak ada di hadapannya]; dan ketika ia mengejek Agam Wispi yang kencing (BR ‘memvonisnya’ sebagai ‘terkencing-kencing’) di belakang bis, ketika masyarakat Indonesia di Belanda sedang berunjuk-rasa di depan KBRI di Den Haag.

Wataknya yang lugu, apa adanya, lalu menggejala dalam perangai yang keras-kepala dan tindak-tanduk yang naïf - untuk tidak mengatakan "ngawur". Misalnya ketika ia, pertama, di Amsterdam merekrut anggota baru PKI dari kalangan orang muda Indonesia dan Belanda [!], dengan mengambil sumpah mereka di ruang keldernya pada tahun-tahun awal 1980; kedua, ketika di setiap kesempatan unjuk-rasa, di mana saja ia selalu berkalung karton lebar bertuliskan "P.K.I" (salah satu fotonya menjadi koleksi Komite Indonesia – sekarang disimpan di IISG/IISH [Lembaga Internasional untuk Sejarah Sosial?]); dan ketiga, ketika ia mendirikan "PKI Cabang Amsterdam" (sic!), beberapa hari sesudah berita eksekusi Ruslan Wijayasastra mencapai Belanda.

Namun, betapapun, semuanya itu menunjukkan tentang semangat dia yang tak pernah pudar, dan sikap serta komitmen dia pada ideologi dan perjuangan yang pantang surut.

Seniman Basuki Resobowo

Di mata kritikus sastra HB Jassin, BR adalah seorang pelukis ekspresionis, seperti juga kawannya satu angkatan: Affandi. Jassin justru tidak menyebut nama S.Sudjojono, selanjutnya SS, tokoh yang di sana-sini dalam buku BR "Seniman, Seni, dan Masyarakat", dijunjungnya sebagai seniman ekspresionis modern Indonesia paling matang dan utuh, dan justru itu SS diakuinya pula sebagai tokoh pelopor senirupa Indonesia modern. Tapi BR sendiri menolak disebut seniman ekspresionis. Katanya: "Aku tidak percaya 'isme' lain-lain, selain 'liberalisme pembebasan secara Barat'. Artinya aku hanya ingin betul-betul bersandar pada refleksi seni, yaitu harus langsung bisa menangkap hakikat obyek" [Seniman, Seni dan Masyarakat, hlm 100]. Kata-kata BR itu tidak berbeda dari pendapat Van Gogh yang mengatakan: [menjadi tugas seniman untuk melukiskan] "perasaan-perasaan manusiawi yang mendasar -- sukacita, dukacita, amarah dan rasatakut".

Kita tahu Van Gogh adalah datuk seniman ekspresionis yang paling wibawa di sepanjang sejarah dunia senirupa. Sejarah perjalanan ekspresionisme modern dalam senirupa, yang mencuat pada awal abad ke-20 itu, dapat dilacak kembali pada perkembangan senirupa di Eropa Barat [khususnya Perancis] dari akhir abad ke-19, tegasnya pada tahun 1880, yaitu pada tiga tokoh seniman terkemuka: Gauguin, Toulouse-Lautrec, dan Van Gogh [Lihat Catatan 3]. Tampil sebagai reaksi terhadap impresionisme, ekspresionisme sengaja lebih mengutamakan pengungkapan emosi atau perasaan secara intens, sehingga demi tujuan emosional dunia wujud alam nyata sengaja didistorsi dan didesak oleh bahasa simbol-simbol.

Sekitar medio tahun 1950-an, ketika saya mulai bergaul dengan para pelukis dari sanggar "Pelukis Rakyat" di Sentulreja dan sanggar "SIM" di "Pekapalan", di sudut timurlaut Alun-Alun Lor Yogya, saya mendengar dan merasakan betapa kawan-kawan pelukis – ‘anak-anak’ Hendra Gunawan dan SS itu – sangat mengagumi Gauguin dan terutama Van Gogh, dan berusaha memahami serta mempelajari karya-karya mereka. Terasa sekali betapa dalam pengaruh Van Gogh pada mereka. Dengan tidak mengurangi hormat saya pada Affandi, tapi lukisan "Matahari" Affandi yang unik itu sangat mengingatkan saya pada lukisan-lukisan "Bunga Matahari” Van Gogh. Lukisan "Sampan-sampan di Saint Marie-de la Mer" mengingatkan saya pada lukisan bertema sama dari Batara Lubis dan Juski Hakim -- tentu saja di atas latar yang berbeda, yaitu entah di Tambak Lorok Semarang atau di Batang Pekalongan.

Apalagi antara BR dan Van Gogh! Kedua mereka sama-sama suka melukis pemandangan dengan lembar-lembar awan menggelantung, kering kosong pada BR, dan gelap muram pada Van Gogh. Juga mereka sama-sama suka melukis manusia, entah dalam kelompok atau dalam sosok seorang diri, yang -- karena jeritan ekspresionisme mereka – selalu memberitakan kisah dramatik dari kerasnya kehidupan. Lihatlah, misalnya, "Aardappeleters" dan "Boerin bij het vuur zittend" pada Van Gogh, dan "Tanjidor" dan "Tukang Becak" pada BR.

Sebagai seniman "liar", sebelum giat di dalam Lekra, BR tidak bisa dipisahkan dari Chairil Anwar. Mereka pelukis dan sastrawan yang lahir dari satu jaman yang sama: Jaman Jepang. Keduanya mempunyai gaya pernyataan seni yang sama: ekspresionisme; keduanya mempunyai gaya pembawaan hidup yang sama, "gaya bohemian" yang bertitik rendez-vous yang sama: Pasar Senen. Chairil bergelandangan di tengah "akar rumput" sebagai kredo kesenimanannya untuk bisa berkata: "isi gelas sepenuhnya, lantas kosongkan". BR berbuat yang sama sebagai jalan untuk [mengikuti peristilahan dia sendiri] "meeleven" [ikut mengalami] dan "beleven" [ikut merasai] kehidupan "akar rumput", sebagai kredo dari pengakuannya sebagai seniman "kiri" malah lebih dari itu: seniman "marxis".

Dengan menggelandangkan diri di tengah akar rumput itu ia ingin, dalam kata-kata Van Gogh, menangkap "perasaan- perasaan manusiawi yang paling dasar".

Dari pengalamannya menghadapi kerasnya kehidupan di tengah kelompok seniman bohemian usai masa perang kemerdekaan sampai lahirnya Lekra, ditambah dengan pengalaman kerasnya perbenturan dengan sesama emigran ketika di RRT dan belakangan di Eropa Barat, khususnya di Belanda, BR memperoleh satu ungkapan penyimpul: "la vie est la misère" – hidup ialah derita.

Chairil tidak mau peduli dengan semuanya itu. Karena baginya "aku"-nyalah di atas segala-galanya. Dan "aku" Chairil itu adalah "aku" yang "binatang jalang", lebih dari itu bahkan “binatang jalang” yang "dari kumpulannya terbuang".

Adapun Van Gogh, yang kehidupan pribadinya terus-menerus dilanda frustrasi dan kepedihan, serta hidup di tengah arus puting-beliung pergantian abad yang dahsyat, barangkali bisa menangkap pesan kehidupan yang sama seperti BR. Tapi, berbeda dari BR, Van Gogh tidak bisa mengendalikan, apalagi mengatasi "la misère" kehidupan itu. Van Gogh mengakhiri hidupnya dengan menembak diri sendiri.

Adapun BR terus meneruskan langkahnya, meskipun dengan tertatih-tatih dan merasa diri sebagai "single fighter". Dan dengan congkaknya ia memandang SS dan Affandi dengan kecut, karena dalam anggapannya mereka ini telah hanyut dalam arus selera burjuasi.

Catatan:
[1]Lirik lagu ‘Petera’:

Petera, Petera / kini kami telah siap sedia / menghidangkan
hiburan / kepada tentara dan rakyat / Hiburan Petera / yang sederhana ini / mudah-mudahan semuanya / dapatlah berarti //

[2] Lirik lagu ‘Sepanjang Malioboro Raja’, lihat kata pengantar saya untuk novel Anita Kastubi, Ripta: Perjuangan Tentara Pecundang; Galang Press 2003.

[3] Sebagai ilustrasi, bandingkan dengan dunia seni sastra, yaitu bangkitnya "Angkatan '80" [De Tachtigers] di Belanda yang menjadi acuan setengah-hati atau secara oportunistik St Takdir Alisjahbana/Pujangga Baru. Angkatan '80 adalah tonggak kemenangan kaum burjuasi Eropa Barat, sesudah jatuh-bangun sejak Revolusi Perancis [1789], melalui Revolusi Juli 1830 dan revolusi Februari 1848, yang di Indonesia datang membawa "UU Agraria" (Agrarische Wet) 1870, dan politik penjajahan model baru yang berselubung "politik etis".

Takdir dkk hanya terpesona pada "Belanda yang maju", tapi tidak mampu atau

sengaja tidak mau menangkap semangat pembebasan burjuasi yang telah
menyulut api perang kemerdekaan nasional di Belgia, di negara-negara Afrika Utara. Lukisan "Hutan Terbakar" dan "Perkelahian Mati-Matian" Radèn Saleh, menurut interpretasi S.S, diilhami oleh semangat perang kemerdekaan di Afrika Utara itu, semangat pembebasan burjuasi Eropa Barat akhir abad ke-19.(Bersambung ke Bagian 2)


Sumber: Hersri Setiawan dalam Catatan Sekolah mBrosot Selengkapnya...

Senin, 24 Januari 2011 0 komentar By: sanggar bunga padi

Memahami Fenomena Sleep Paralysis

Kamu membuka mata. Baru saja kamu tidur selama beberapa jam. Kamu bisa merasakan pikiranmu melayang-layang antara sadar dan tidak. Sambil berusaha mengumpulkan kesadaranmu, kamu mencoba untuk bangun. Tetapi, ada sesuatu yang tidak beres. Tubuhmu tidak bisa bergerak, nafasmu sesak, seakan-akan ada makhluk tidak terlihat yang menginjak dadamu. Kamu membuka mulutmu dan hendak berteriak, tidak ada suara yang keluar. Seseorang sedang mencekik leherku, pikirmu. Ada sesuatu yang tidak beres.


Ya, kalian mengerti maksud saya. Kita semua pernah mengalaminya. Sebagian menyebut fenomena ini dengan sebutan tindih hantu atau irep-irep. Entah apa kata resmi bahasa Indonesianya. Dulu, saya sempat mengira kalau kata fenomena ini disebut Lucid Dream. Namun, ternyata saya salah. Fenomena ini sebenarnya bernama Sleep Paralysis (Lumpuh Tidur) atau The Old Hag Syndrome.

Mereka yang mengalami fenomena ini kadang merasa ketakutan karena mengira sedang diserang oleh setan. Tidak bisa disalahkan. Zaman dulu, ada kepercayaan kalau fenomena ini diakibatkan oleh "Old Hag" atau "Penyihir" yang sedang menduduki dada korban. Dari situlah ia mendapatkan nama The Old Hag Syndrome.


Ketika ilmu pengetahuan mulai berkembang, nama The Old Hag Syndrome mulai ditinggalkan. Para peneliti lebih suka menyebutnya Sleep Paralysis (SP).

Lalu, pertanyaannya adalah: Apa yang menyebabkannya?

Menurut survey Gallup tahun 1992, hampir semua orang dewasa mengalami Sleep Paralysis, paling tidak dua tahun sekali. Jadi fenomena ini bukan sesuatu yang asing bagi manusia. Usaha untuk menelitinya telah berlangsung sejak tahun 1950an, namun baru benar-benar bisa dipahami ketika para peneliti mulai mengerti hubungan antara kondisi REM (Rapid Eye movement) dengan mimpi.

Ketika kita tidur, kita akan memasuki beberapa tahapan tertentu. Memang ada banyak, namun kita hanya akan melihat dua tahapan besarnya, yaitu Non REM dan REM.

Ketika kita tidur, 80 menit pertama, kita memasuki kondisi Non Rem, lalu diikuti 10 menit REM. Siklus 90 menit ini berulang sekitar 3 sampai 6 kali semalam. Selama Non REM, tubuh kita menghasilkan beberapa gerakan minor dan mata kita bergerak-gerak kecil.

Ketika kita masuk ke kondisi REM, detak jantung bertambah cepat, hembusan nafas menjadi cepat dan pendek dan mata kita bergerak dengan cepat (Rapid eye movement - REM). Dalam kondisi inilah mimpi kita tercipta dengan jelas dan kita bisa melihat objek-objek di dalam mimpi.

Dr.Max Hirshkowitz, direktur Sleep Disorders Center di Veterans Administration Medical Center di Houston mengatakan kalau Sleep Paralysis muncul ketika otak kita mengalami kondisi transisi antara tidur mimpi yang dalam (REM dreaming Sleep) dan kondisi sadar.

Selama REM dreaming sleep, otak kita mematikan fungsi gerak sebagian besar otot tubuh sehingga kita tidak bisa bergerak. Dengan kata lain, kita lumpuh sementara. Fenomena ini disebut REM Atonia.

"Kadang, otak kita tidak mengakhiri mimpi atau lumpuh kita dengan sempurna ketika terbangun. Ini bisa menjelaskan mengapa tubuh kita menjadi kaku."

Menurut hasil penelitiannya, Dr.Hirshkowitz menyimpulkan kalau efek ini hanya berlangsung selama beberapa detik hingga paling lama satu menit. Namun, bagi korban, sepertinya pengalaman ini berlangsung sangat lama.

Lalu, bagaimana dengan perasaan adanya makhluk gaib yang muncul di kamar kita?

Florence Cardinal, seorang peneliti lain mengatakan kalau halusinasi biasanya memang menyertai Sleep Paralysis. Kadang ada perasaan kalau ada orang lain di dalam ruangan atau bahkan kita bisa merasakan adanya makhluk yang sedang melayang di atas kita.

Lalu, kita bisa merasakan adanya tekanan di dada seperti sedang diinjak atau diduduki. Malah, ada beberapa korban yang melaporkan mendengar suara langkah kaki, pintu terbuka dan suara-suara aneh. Ini cukup menakutkan, tapi normal. Bahkan banyak peneliti yang percaya kalau fenomena "penculikan oleh alien" atau "diserang roh jahat" kebanyakan hanyalah halusinasi yang terkait dengan Sleep Paralysis.

Lalu, dalam kondisi apakah Sleep Paralysis biasa muncul?

Beberapa penelitian menunjukkan adanya kondisi tertentu dimana kemungkinan mengalami Sleep Paralysis akan menjadi lebih tinggi bagi seseorang. Mereka yang mengalaminya, biasanya adalah ketika yang bersangkutan tidur telentang.

Lalu, fenomena ini lebih sering terjadi pada mereka yang mengalami kelelahan yang berlebihan atau mereka yang jadwal tidur normalnya terganggu.

Dan luar biasanya, mereka yang biasa minum obat penenang akan menjadi lebih sering mengalaminya (Ironis bukan?).

Bagaimana kita menghindari Sleep Paralysis?

Ini ada beberapa tips yang dihasilkan dari penelitian klinis, yaitu:

1. Tidurlah yang cukup dan teratur
2. Kurangi Stress
3. Berolahragalah secara teratur

Dengan kata lain, gaya hidup sehat!

Tapi yang terpenting dari semuanya adalah, Jika kalian terlanjur mengalami ini, tidak perlu takut, karena fenomena ini hanya berlangsung sesaat dan akan segera berlalu.


(sumber: http://xfile-enigma.blogspot.com) Selengkapnya...

Kamis, 20 Januari 2011 0 komentar By: sanggar bunga padi

Memahami Fenomena Kepribadian Ganda

Mungkin tidak ada orang yang benar-benar bisa memahami masalah kepribadian ganda. Sebelum abad ke-20, gejala psikologi ini selalu dikaitkan dengan kerasukan setan. Namun, para psikolog abad ke-20 yang menolak kaitan itu menyebut fenomena ini dengan sebutan Multiple Personality Disorder (MPD). Berikutnya, ketika nama itu dirasa tidak lagi sesuai, gejala ini diberi nama baru, Dissociative Identity Disorder (DID.


DID atau kepribadian ganda dapat didefinisikan sebagai kelainan mental dimana seseorang yang mengidapnya akan menunjukkan adanya dua atau lebih kepribadian (alter) yang masing-masing memiliki nama dan karakter yang berbeda.

Mereka yang memiliki kelainan ini sebenarnya hanya memiliki satu kepribadian, namun si penderita akan merasa kalau ia memiliki banyak identitas yang memiliki cara berpikir, temperamen, tata bahasa, ingatan dan interaksi terhadap lingkungan yang berbeda-beda.

Walaupun penyebabnya tidak bisa dipastikan, namun rata-rata para psikolog sepakat kalau penyebab kelainan ini pada umumnya adalah karena trauma masa kecil.

Untuk memahami bagaimana banyak identitas bisa terbentuk di dalam diri seseorang, maka terlebih dahulu kita harus memahami arti dari Dissociative (disosiasi).

Disosiasi
Pernahkah kalian mendapatkan pengalaman seperti ini: Ketika sedang bertanya mengenai sesuatu hal kepada sahabat kalian, kalian malah mendapatkan jawaban yang tidak berhubungan sama sekali.

Jika pernah, maka saya yakin, ketika mendapatkan jawaban itu, kalian akan berkata "Nggak nyambung!".

Disosiasi secara sederhana dapat diartikan sebagai terputusnya hubungan antara pikiran, perasaan, tindakan dan rasa seseorang dengan kesadaran atau situasi yang sedang berlangsung.

Dalam kasus DID, juga terjadi disosiasi, namun jauh lebih rumit dibanding sekedar "nggak nyambung".

Proses terbentuknya kepribadian ganda
Ketika kita dewasa, kita memiliki karakter dan kepribadian yang cukup kuat dalam menghadapi masalah-masalah kehidupan. Namun, pada anak yang masih berusia di bawah tujuh tahun, kekuatan itu belum muncul sehingga mereka akan mencari cara lain untuk bertahan terhadap sebuah pengalaman traumatis, yaitu dengan Disosiasi.

Dengan menggunakan cara ini, seorang anak dapat membuat pikiran sadarnya terlepas dari pengalaman mengerikan yang menimpanya.

Menurut Colin Ross yang menulis buku The Osiris Complex (1995), proses disosiasi pada anak yang mengarah kepada kelainan DID terdiri dari dua proses psikologis. Kita akan mengambil contoh pelecehan seksual yang dialami oleh seorang anak perempuan.

Proses Pertama: anak perempuan yang berulang-ulang mengalami penganiayaan seksual akan berusaha menyangkal pengalaman ini di dalam pikirannya supaya bisa terbebas dari rasa sakit yang luar biasa. Ia bisa mengalami "out of body experience" yang membuat ia "terlepas" dari tubuhnya dan dari pengalaman traumatis yang sedang berlangsung. Ia mungkin bisa merasakan rohnya melayang hingga ke langit-langit dan membayangkan dirinya sedang melihat kepada anak perempuan lain yang sedang mengalami pelecehan seksual. Dengan kata lain, identitas baru yang berbeda telah muncul.

Proses Kedua, sebuah penghalang memori kemudian dibangun antara anak perempuan itu dengan identitas baru yang telah diciptakan.

Sekarang, sebuah kesadaran baru telah terbentuk. Pelecehan seksual tersebut tidak pernah terjadi padanya dan ia tidak bisa mengingat apapun mengenainya.

Apabila pelecehan seksual terus berlanjut, maka proses ini akan terus berulang sehingga ia akan kembali menciptakan banyak identitas baru untuk mengatasinya. Ketika kebiasaan disosiasi ini telah mendarah daging, sang anak juga akan menciptakan identitas baru untuk hal-hal yang tidak berhubungan dengan pengalaman traumatis seperti pergi ke sekolah atau bermain bersama teman.

Salah satu kasus kepribadian ganda yang ternama, yaitu Sybil, disebut memiliki 16 identitas yang berbeda.

Menurut psikolog, jumlah identitas berbeda ini bisa lebih banyak pada beberapa kasus, bahkan hingga mencapai 100. Masing-masing identitas itu memiliki nama, umur, jenis kelamin, ras, gaya, cara berbicara dan karakter yang berbeda.

Setiap karakter ini bisa mengambil alih pikiran sang penderita hanya dalam tempo beberapa detik. Proses pengambilalihan ini disebut switching dan biasanya dipicu oleh kondisi stres.

Ciri-ciri pengidap kepribadian ganda
Ketika membaca paragraf-paragraf di atas, mungkin kalian segera teringat dengan salah seorang teman sekolah kalian yang suka mengubah-ubah penampilannya. Bagi kalian, sepertinya ia memiliki identitas yang berbeda.

Atau mungkin kalian teringat dengan salah seorang teman kalian yang biasa tersenyum, namun secara tiba-tiba bisa dikuasai oleh emosi. Ketika amarahnya meledak, kalian bisa melihat wajahnya tiba-tiba berubah menjadi seperti "serigala". Bagi kalian, sepertinya identitas baru yang penuh amarah telah menguasainya.

Apakah mereka pengidap DID?

Bagaimana cara kita mengetahuinya?

Jawabannya adalah pada identitas yang menyertai perubahan penampilan atau emosi tersebut.

Misalkan teman kalian yang suka mengubah penampilan atau sering mengalami perubahan emosi tersebut bernama Edward. Jika ia mengubah penampilan atau mengalami perubahan emosi dan masih menganggap dirinya sebagai Edward, maka ia bukan penderita DID.


Untuk mengerti lebih dalam bagaimana cara membedakannya, lihat empat ciri di bawah ini. Jika di dalam diri seseorang terdapat empat ciri ini, maka bisa dipastikan kalau ia mengidap DID atau kepribadian ganda.

Ciri-ciri tersebut adalah:

1. Harus ada dua atau lebih identitas atau kesadaran yang berbeda di dalam diri orang tersebut.
2. Kepribadian-kepribadian ini secara berulang mengambil alih perilaku orang tersebut (Switching).
3. Ada ketidakmampuan untuk mengingat informasi penting yang berkenaan dengan dirinya yang terlalu luar biasa untuk dianggap hanya sebagai lupa biasa.
4. Gangguan-gangguan yang terjadi ini tidak terjadi karena efek psikologis dari substansi seperti alkohol atau obat-obatan atau karena kondisi medis seperti demam.

Dari empat poin ini, poin nomor 3 memegang peranan sangat penting.

98 persen mereka yang mengidap DID mengalami amnesia ketika sebuah identitas muncul (switching). Ketika kepribadian utama berhasil mengambil alih kembali, ia tidak bisa mengingat apa yang telah terjadi ketika identitas sebelumnya berkuasa.

Walaupun sebagian besar psikolog telah mengakui adanya kelainan kepribadian ganda ini, namun sebagian lainnya menolak mengakui keberadaannya.

Mereka mengajukan argumennya berdasarkan pada kasus Sybill yang ternama.

Kasus Sybil Isabel Dorsett
Salah satu kasus paling terkenal dalam hal kepribadian ganda adalah kasus yang dialami oleh Shirley Ardell Mason. Untuk menyembunyikan identitasnya, Cornelia Wilbur, sang psikolog yang menanganinya dan menulis buku mengenainya, menggunakan nama samaran Sybil Isabel Dorsett untuk menyebut Shirley.

Dalam sesi terapi yang dilakukan oleh Cornelia, terungkap kalau Sybil memiliki 16 kepribadian yang berbeda, diantaranya adalah Clara, Helen, Marcia, Vanessa, Ruthi, Mike (Pria), Sid (Pria) dan lain-lain. Menurut Cornelia, 16 identitas yang muncul pada diri Sybil berasal dari trauma masa kecil akibat sering mengalami penyiksaan oleh ibunya.

Kisah Sybil menjadi terkenal karena pada masa itu kelainan ini masih belum dipahami sepenuhnya. Bukunya menjadi best seller pada tahun 1973 dan sebuah film dibuat mengenainya.

Namun, pada tahun-tahun berikutnya, keabsahan kelainan yang dialami Sybil mulai dipertanyakan oleh para psikolog.

Menurut Dr.Herbert Spiegel yang juga menangani Sybil, 16 identitas yang berbeda tersebut sebenarnya muncul karena teknik hipnotis yang digunakan oleh Cornelia untuk mengobatinya. Bukan hanya itu, Cornelia bahkan menggunakan Sodium Pentothal (serum kejujuran) dalam terapinya.

Dr.Spiegel percaya kalau 16 identitas tersebut diciptakan oleh Cornelia dengan menggunakan hipnotis. Ini sangat mungkin terjadi karena Sybil ternyata seorang yang sangat sugestif dan gampang dipengaruhi. Apalagi ditambah dengan obat-obatan yang jelas dapat membawa pengaruh kepada syarafnya.

Kasus ini mirip dengan penciptaan false memory dalam pengalaman alien abduction yang pernah saya posting sebelumnya.

Pendapat Dr.Spiegel dikonfrimasi oleh beberapa psikolog dan peneliti lainnya.

Peter Swales, seorang penulis yang pertama kali berhasil mengetahui kalau Sybil adalah Shirley juga setuju dengan pendapat ini. Dari hasil penyelidikan intensif yang dilakukannya, ia percaya kalau penyiksaan yang dipercaya dialami oleh Sybil sesungguhnya tidak pernah terjadi. Kemungkinan, semua ingatan mengenai penyiksaan itu (yang muncul karena sesi hipnotis) sebenarnya hanyalah ingatan yang ditanamkan oleh sang terapis, Cornelia Wilbur.

Jadi, bagi sebagian psikolog, DID tidak lain hanyalah sebuah false memory yang tercipta akibat pengaruh terapi hipnotis yang dilakukan oleh seorang psikolog. Tidak ada bukti kalau pengalaman traumatis bisa menciptakan banyak identitas baru di dalam diri seseorang.

Menurut Dr.Philip M Coons:

"Hubungan antara penyiksaan atau trauma masa kecil dengan Multiple Personality Disorder sesungguhnya tidak pernah dipercaya sebelum kasus Sybil"

Pengetahuan mengenai kepribadian ganda banyak disusun berdasarkan kasus Sybil. Jika kasus itu ternyata hanya sebuah false memory, maka runtuhlah seluruh teori dissosiasi dalam hubungannya dengan kelainan kepribadian ganda. Ini juga berarti kalau kelainan kepribadian ganda sesungguhnya tidak pernah ada.

Perdebatan ini masih terus berlanjut hingga saat ini dan saya percaya kedua pihak memiliki alsan yang sama kuat. Jika memang DID benar-benar ada dan hanya merupakan gejala psikologi biasa, mengapa masih ada hal-hal yang masih belum bisa dijelaskan oleh para psikolog?

Misteri Dalam DID
Misalnya, ketika sebuah identitas muncul, perubahan biologis juga muncul di dalam tubuh sang pengidap. Kecepatan detak jantungnya bisa berubah, demikian juga suhu tubuhnya, tekanan darah dan bahkan kemampuan melihat.

Lalu, identitas yang berbeda bisa memiliki reaksi yang berbeda terhadap pengobatan. Kadang, pengidap yang sehat bisa memiliki identitas yang alergi. Ketika identitas itu menguasainya, ia benar-benar akan menjadi alergi terhadap substansi tertentu.

Lalu, misteri lainnya adalah yang menyangkut kasus Billy Milligan yang dianggap sebagai kasus DID yang paling menarik. Kisah hidupnya pernah dituangkan ke dalam sebuah buku berjudul "24 wajah Billy".

Billy adalah seorang mahasiswa yang dihukum karena memperkosa beberapa wanita. Dalam sesi pemeriksaan kejiwaan, ditemukan 24 identitas berbeda dalam dirinya.

Identitas yang mengaku bertanggung jawab atas tindakan pemerkosaan itu adalah seorang wanita. Identitas lain bernama Arthur yang merupakan orang Inggris dan memiliki pengetahuan luas.

Dalam interogasi, Arthur ternyata bisa mengungkapkan keahliannya dalam hal medis, padahal Billy tidak pernah mempelajari soal-soal medis. Menariknya, Arthur ternyata lancar berbahasa Arab. Bahasa ini juga tidak pernah dipelajari oleh Billy. Identitas lain bernama Ragen bisa berbicara dalam bahasa Serbia Kroasia. Billy juga tidak pernah mempelajari bahasa ini.

Bagaimana Billy bisa berbicara dalam semua bahasa itu jika ia tidak pernah mempelajarinya?

Misteri ini belum terpecahkan hingga hari ini.

Kecuali tentu saja kalau kita menganggap Billy hanya mengalami kasus kerasukan setan dan tidak menderita DID.


(http://xfile-enigma.blogspot.com) Selengkapnya...

Jumat, 07 Januari 2011 1 komentar By: sanggar bunga padi

Mulailah Tersenyum

Ingatkah anda senyuman misterius Monalisa dalam lukisan Leonardo Da Vinci? Konon disebabkan misteriusnya senyuman itu, sehingga sampai saat ini masih banyak orang yang penasaran akan arti dan makna senyuman Monalisa tersebut. Benarkah demikian? Entahlah.

Senyuman merupakan salah satu bahasa tubuh yang pemaknaannya bisa berbeda antara satu orang dengan yang lainnya. Tidak jarang sepotong senyuman menjadi penyebab kesalahpahaman. Contoh sederhana, dikeramaian ada seseorang yang tersenyum kepada anda, apa yang anda tangkap dari senyuman itu? Apakah dia sekedar bersikap ramah, atau orang itu menggoda anda, atau dia melihat sesuatu yang aneh dalam penampilan anda? Tentu anda akan menebak-nebak untuk memaknai senyuman itu atau bahkan kemudian mengacuhkannya.

Secara umum, seulas senyum yang menghiasi wajah kita biasanya menandakan kegembiraan. Seseorang yang suasana hatinya dipenuhi dengan kegembiraan maka ia akan mudah tersenyum. Sebaliknya, jika suasana hatinya penuh dengan kegelisahan dan kesedihan, kita akan jarang melihat ia tersenyum, dan seandainya pun kita melihatnya tersenyum barangkali itu senyum yang dipaksakan.

Berbeda dengan senyuman yang tulus, senyuman yang dipaksakan ini biasanya hanya sekedar untuk menunjukkan basa basi dan (terpaksa) sopan santun serta untuk memberikan kesan baik/sopan pada orang lain. “Pasar” senyuman terpaksa ini akan sering kita lihat setiap menjelang even pemilihan umum. Para politisi banyak mengumbar senyum (terpaksa?) dihadapan konstituennya agar dilihat sebagai calon yang ramah, sopan, suka senyum dan sebagainya agar dapat memenangkan pemilihan tersebut.

Senyuman yang demikian tidak memancarkan cahaya dari wajah orang yang tersenyum. Senyuman itu kering sebab tidak dari hati. Senyuman itu tidak menenteramkan hati yang menerima senyuman sebab tidak tulus. Senyuman itu tidak memberikan dampak positif psikologis bagi penerima senyuman. Secara ragawi, anda dapat mengenali senyuman terpaksa ini. Si pemberi senyum biasanya hanya menggunakan otot-otot sekitar bibir belaka, tanpa melibatkan seluruh wajah, apalagi hatinya.

Sedangkan, senyuman yang tulus akan melibatkan seluruh urat syaraf tubuh. Seseorang yang memeberikan senyuman tulus akan terlihat wajahnya yang memancarkan cahaya. Penerima senyuman itu akan merasa tenteram, bahkan mungkin melayang ke langit. Orang yang sedang sakit pun akan merasakan senyuman tulus sebagai obat yang mujarab bagi sakitnya. Senyuman yang tulus akan mampu merubah peradaban dunia menjadi lebih ramah, humanis dan berperadaban.

Mulailah setiap saat anda melemparkan sepotong senyum yang tulus kepada orang lain. Rasakan manfaatnya bagi diri anda sendiri. Lihatlah dampaknya bagi orang lain. “Senyum adalah ibadah,” kata Nabi Muhammad SAW.
Selengkapnya...

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...