Beberapa hari lalu seorang kawan yang terpilih sebagai pimpinan sebuah institusi pendidikan bercerita bahwa ternyata makin pintar seseorang sekarang ini bukannya makin tawadhu’ tapi malah makin susah diatur. Dia bilang, “Susah-susah disekolahkan dengan beasiswa, pulang bukannya makin baik.” Dia ceritakan hal itu karena tatkala pemilihan pimpinan struktural terjadi gejolak yang membuatnya pusing lantaran ada yang begitu ngotot ingin menjadi salah satu pimpinan.
Lalu dia mengingatkan kembali akan cerita Ali bin Abi Thalib, saat beliau menjadi khalifah. Seperti kita ketahui dari tarikh Islam, waktu Ali menjadi khalifah terjadi konflik yang cukup rumit sebagai warisan dari konflik masa khalifah Utsman bin Affan. Lalu seseorang datang kepada Ali dan bertanya, “Wahai Ali, Anda adalah seorang yang pandai. Anda adalah babul ilmi (gerbang ilmu) --- sedang Nabiyullah Muhammad adalah bahrul ilmi (lautan ilmu). Tapi kenapa di zaman Anda pemerintahan tidak stabil? Berbeda dengan zaman Khalifah Abu Bakar?”
Kalau diterjemahkan secara bebas, jawaban Ali, “Dahulu zaman khalifah Abu Bakar, rakyatnya seperti aku. Sedang pada zamanku ini, rakyatnya seperti engkau.”
Maksud Ali adalah, meski Abu Bakar tidaklah sepintar Ali, tapi rakyat yang dipimpinnya seperti Ali dalam hal keimanan dan akhlaq. Mereka orang-orang shaleh yang tidak cerewet, baik yang pintar maupun yang awam. Sedang sesuai perkembangan zaman dan diwarnai konflik politik yang tidak kondusif, rakyat pada zaman khalifah Ali bin Abi Thalib adalah seperti orang yang bertanya tadi. Merasa pintar, banyak bertanya dan susah diatur. Ali berkata begitu karena dia mengenal siapa yang bertanya tadi.
Apa yang dikatakan Ali bin Abi Thalib di atas rasa-rasanya sedang menggejala di negeri kita juga. Tentu kita juga tidak bisa menyalahkan rakyat yang kini sering bikin ribut dan rusuh, mungkin ada kepemimpinan yang tidak efektif juga. Meski begitu, jika kita telah menyepakati mekanisme pemilihan langsung dan telah terpilih pimpinan yang memperoleh suara terbanyak, seharusnya kita berbesar hati untuk tunduk sepanjang perintahnya tidak menuju kepada kemaksiatan.
Kepemimpinan yang efektif dan rakyat yang makin terpelajar tentu sangat kita idam-idamkan. Begitu pula dalam skala kecil misalnya yang terjadi dalam suatu kompleks institusi pendidikan. Jabatan fungsional sebagai pendidik, pengajar sejujurnya lebih mulia daripada jabatan struktural sebagai kepala atau ketua unit kerja di dalamnya. Dalam lingkungan pendidikan, jika sang pendidik melihat anak didiknya makin maju dan pandai melebihi dirinya, ia akan merasa bahagia. Berarti tugas dan fungsinya berhasil.
Herannya sekarang ini para pendidik yang mulia itupun banyak yang rebutan jabatan struktural, seolah tanpa jabatan itu ia kurang berharga, kurang dihormati, kurang banyak gajinya.. Lantas ada yang kemudian menempuh jenjang pendidikan lanjutan dengan motivasi tersembunyi akan “merebut” jabatan struktural yang ia incar. Padahal kepemimpinan, leadership itu tidak melulu gelar, kepintaran, tapi juga seni dan komunikasi yang baik. Apalagi jika masyarakat atau “bawahan” yang dihadapi juga cukup terdidik dan mudah terprovokasi untuk melakukan penolakan atas apa-apa yang menurut anggapan mereka tidak cocok.
Beberapa kali kalau kita lihat di televisi dalam tayangan talkshow, dialog atau debat, ada beberapa orang yang senang sekali menunjukkan dirinya sebagai sarjana, doktor, profesor yang sudah berpengalaman sekian puluh tahun sehingga ucapan atau pendapatnya seolah paling shahih. Dalam ungkapan demikian, ia lantas meremehkan lawan bicaranya dan secara apriori menolak apapun yang dikemukakan lawannya dan secara apriori pula membenarkan pendapatnya sendiri. Akhirnya dialog menjadi sangat tidak bermutu karena bukan lagi substansi yang muncul, tapi hanya pameran moralitas yang tidak bermutu. Dan ternyata itu berimbas ke bawah, ke masyarakat yang juga menjadi sangat susah untuk saling bertenggang rasa. Maunya paling benar, kalau tidak, ya adu fisik saja.
Padahal jika kita kembali ke masa yang telah lewat, kita melihat dan membaca riwayat orang-orang pandai yang sangat santun. Orang-orang berpendidikan tinggi yang tidak congkak dan pongah. Sampai-sampai ada peribahasa kita yang mengatakan, “seperti padi, makin berisi makin menunduk”. Tapi sepertinya yang terjadi sekarang ini peribahasa yang lain, ”tua-tua keladi, makin tua makin menjadi”. Artinya, makin pintar, makin banyak pengalaman, makin tambah umur malah kelakuannya jadi makin buruk.
Sekadar mencoba mengingatkan, saya kutipkan hadis Nabi berikut, ”Janganlah kalian menuntut ilmu untuk membanggakannya terhadap para ulama dan untuk diperdebatkan di kalangan orang-orang bodoh dan buruk perangainya. Jangan pula menuntut ilmu untuk penampilan dalam majelis (pertemuan atau rapat) dan untuk menarik perhatian orang-orang kepadamu. Barangsiapa seperti itu maka baginya neraka ... neraka.” (HR. Tirmidzi dan Ibnu Majah menurut penilaian Al Albany : shahih)
Apa yang ingin dicapai dari peringatan hadis di atas adalah bahwa tuntutlah ilmu untuk meningkatkan martabat dan integritas pribadi kita. Terlepas dari ambisi-ambisi kemegahan duniawi, kepongahan di atas pandangan orang-orang awam atau sekadar untuk menarik perhatian orang. Jika ilmu kita sesuai dengan integritas kita atau sebaliknya, maka masalah penerimaan orang dan penghargaan orang atas pribadi kita akan datang dengan sendirinya. Tidak usah diburu-buru, tidak usah dengan menghinakan orang lain, apalagi jika mereka adalah kolega kita.
Susah memang jika padi yang berisi tidak menunduk lagi. Sebagaimana yang dialami oleh khalifah Ali atau kawan saya di awal tulisan ini tadi. Allahu a’lam. (Zainul Arifin)
Lalu dia mengingatkan kembali akan cerita Ali bin Abi Thalib, saat beliau menjadi khalifah. Seperti kita ketahui dari tarikh Islam, waktu Ali menjadi khalifah terjadi konflik yang cukup rumit sebagai warisan dari konflik masa khalifah Utsman bin Affan. Lalu seseorang datang kepada Ali dan bertanya, “Wahai Ali, Anda adalah seorang yang pandai. Anda adalah babul ilmi (gerbang ilmu) --- sedang Nabiyullah Muhammad adalah bahrul ilmi (lautan ilmu). Tapi kenapa di zaman Anda pemerintahan tidak stabil? Berbeda dengan zaman Khalifah Abu Bakar?”
Kalau diterjemahkan secara bebas, jawaban Ali, “Dahulu zaman khalifah Abu Bakar, rakyatnya seperti aku. Sedang pada zamanku ini, rakyatnya seperti engkau.”
Maksud Ali adalah, meski Abu Bakar tidaklah sepintar Ali, tapi rakyat yang dipimpinnya seperti Ali dalam hal keimanan dan akhlaq. Mereka orang-orang shaleh yang tidak cerewet, baik yang pintar maupun yang awam. Sedang sesuai perkembangan zaman dan diwarnai konflik politik yang tidak kondusif, rakyat pada zaman khalifah Ali bin Abi Thalib adalah seperti orang yang bertanya tadi. Merasa pintar, banyak bertanya dan susah diatur. Ali berkata begitu karena dia mengenal siapa yang bertanya tadi.
Apa yang dikatakan Ali bin Abi Thalib di atas rasa-rasanya sedang menggejala di negeri kita juga. Tentu kita juga tidak bisa menyalahkan rakyat yang kini sering bikin ribut dan rusuh, mungkin ada kepemimpinan yang tidak efektif juga. Meski begitu, jika kita telah menyepakati mekanisme pemilihan langsung dan telah terpilih pimpinan yang memperoleh suara terbanyak, seharusnya kita berbesar hati untuk tunduk sepanjang perintahnya tidak menuju kepada kemaksiatan.
Kepemimpinan yang efektif dan rakyat yang makin terpelajar tentu sangat kita idam-idamkan. Begitu pula dalam skala kecil misalnya yang terjadi dalam suatu kompleks institusi pendidikan. Jabatan fungsional sebagai pendidik, pengajar sejujurnya lebih mulia daripada jabatan struktural sebagai kepala atau ketua unit kerja di dalamnya. Dalam lingkungan pendidikan, jika sang pendidik melihat anak didiknya makin maju dan pandai melebihi dirinya, ia akan merasa bahagia. Berarti tugas dan fungsinya berhasil.
Herannya sekarang ini para pendidik yang mulia itupun banyak yang rebutan jabatan struktural, seolah tanpa jabatan itu ia kurang berharga, kurang dihormati, kurang banyak gajinya.. Lantas ada yang kemudian menempuh jenjang pendidikan lanjutan dengan motivasi tersembunyi akan “merebut” jabatan struktural yang ia incar. Padahal kepemimpinan, leadership itu tidak melulu gelar, kepintaran, tapi juga seni dan komunikasi yang baik. Apalagi jika masyarakat atau “bawahan” yang dihadapi juga cukup terdidik dan mudah terprovokasi untuk melakukan penolakan atas apa-apa yang menurut anggapan mereka tidak cocok.
Beberapa kali kalau kita lihat di televisi dalam tayangan talkshow, dialog atau debat, ada beberapa orang yang senang sekali menunjukkan dirinya sebagai sarjana, doktor, profesor yang sudah berpengalaman sekian puluh tahun sehingga ucapan atau pendapatnya seolah paling shahih. Dalam ungkapan demikian, ia lantas meremehkan lawan bicaranya dan secara apriori menolak apapun yang dikemukakan lawannya dan secara apriori pula membenarkan pendapatnya sendiri. Akhirnya dialog menjadi sangat tidak bermutu karena bukan lagi substansi yang muncul, tapi hanya pameran moralitas yang tidak bermutu. Dan ternyata itu berimbas ke bawah, ke masyarakat yang juga menjadi sangat susah untuk saling bertenggang rasa. Maunya paling benar, kalau tidak, ya adu fisik saja.
Padahal jika kita kembali ke masa yang telah lewat, kita melihat dan membaca riwayat orang-orang pandai yang sangat santun. Orang-orang berpendidikan tinggi yang tidak congkak dan pongah. Sampai-sampai ada peribahasa kita yang mengatakan, “seperti padi, makin berisi makin menunduk”. Tapi sepertinya yang terjadi sekarang ini peribahasa yang lain, ”tua-tua keladi, makin tua makin menjadi”. Artinya, makin pintar, makin banyak pengalaman, makin tambah umur malah kelakuannya jadi makin buruk.
Sekadar mencoba mengingatkan, saya kutipkan hadis Nabi berikut, ”Janganlah kalian menuntut ilmu untuk membanggakannya terhadap para ulama dan untuk diperdebatkan di kalangan orang-orang bodoh dan buruk perangainya. Jangan pula menuntut ilmu untuk penampilan dalam majelis (pertemuan atau rapat) dan untuk menarik perhatian orang-orang kepadamu. Barangsiapa seperti itu maka baginya neraka ... neraka.” (HR. Tirmidzi dan Ibnu Majah menurut penilaian Al Albany : shahih)
Apa yang ingin dicapai dari peringatan hadis di atas adalah bahwa tuntutlah ilmu untuk meningkatkan martabat dan integritas pribadi kita. Terlepas dari ambisi-ambisi kemegahan duniawi, kepongahan di atas pandangan orang-orang awam atau sekadar untuk menarik perhatian orang. Jika ilmu kita sesuai dengan integritas kita atau sebaliknya, maka masalah penerimaan orang dan penghargaan orang atas pribadi kita akan datang dengan sendirinya. Tidak usah diburu-buru, tidak usah dengan menghinakan orang lain, apalagi jika mereka adalah kolega kita.
Susah memang jika padi yang berisi tidak menunduk lagi. Sebagaimana yang dialami oleh khalifah Ali atau kawan saya di awal tulisan ini tadi. Allahu a’lam. (Zainul Arifin)
0 komentar:
Posting Komentar