Jumat, 17 Juni 2011 0 komentar By: sanggar bunga padi

Begitu Mudah Mengingkari Janji?

Belakangan ini masyarakat Indonesia sedang disibukkan dengan penantian pemenuhan janji-janji para pimpinan negara yang telah menyatakan akan memberantas korupsi sampai ke akar-akarnya. Partai besar pemenang pemilu dan pilpres dahulu menjanjikan untuk benar-benar konsekuen memerangi korupsi itu, tapi belakangan ia diterpa masalah dari dalam dirinya sendiri. Kadernya diduga melakukan tindakan tercela berkenaan soal fulus (uang) dan “kabur” ke negeri jiran dan belum ingin pulang. Kawan sejawatnya yang semula diisukan sebagai tim penjemput berubah menjadi tim penengok. Bertemu orangnya tapi tidak kuasa mengajaknya pulang ke kampung sendiri. Lalu bermacam alasanpun diluncurkan untuk mengatasi “hutang janji” yang pernah dikeluarkan.

Dalam bahasa Arab, janji disebut al-‘ahd. Menurut syariat Islam, janji merupakan akad (ikatan) yang wajib dipenuhi dan ditepati sesuai dengan kesepakatan kedua pihak yang mengadakan akad perjanjian, baik mengenai waktu maupun batang yang dijanjikan.

Dalam Al Qur’an, di samping terdapat ayat-ayat yang memerintahkan agar memenuhi janji, juga terdapat ayat-ayat yang memberikan sanksi terhadap orang-orang yang mengingkari janji, antara lain. “Sesungguhnya orang-orang yang menukar janjinya (dengan) Allah Swt dan sumpah-sumpah mereka dengan harga yang sedikit, mereka itu tidak mendapat bagian pahala di akhirat, dan Allah tidak akan berkata-kata dengan mereka dan tidak akan melihat mereka pada Hari Kiamat dan tidak pula akan mensucikan mereka. Bagi mereka azab yang pedih.” (Qs. Ali Imran ayat 77)

Dalam hadis ditegaskan, “Dari Abdullah ibn ‘Umar, dari Nabi Saw beliau bersabda, “Barangsiapa yang pada dirinya terdapat empat perangai, maka dia adalah munafik ... sehingga dia meninggalkannya, yaitu (1) apabila berbicara ia berdusta, (2) apabila menjanjikan (sesuatu) ia tidak menepatinya, dan (3) apabila mengadakan perjanjian, ia mengingkarinya, dan (4) apabila bertikai ia berlebih-lebihan.” (HR Al-Bukhariy).

Ada sebuah ungkapan yang menyatakan bahwa janji adalah hutang (al wa’du dainun). Hutang tidak selalu berarti uang atau barang. Realitanya memang hampir selalu demikian. Orang yang berjanji berarti orang itu sedang berhutang sampai janjinya dipenuhi. Makin banyak orang membuat janji, makin banyak pula hutang yang harus dilunasinya. Orang yang banyak janji biasanya tidak terlalu tenang menjalani hidup. Apalagi jika janjinya adalah sesuatu hal yang besar atau berat. Dalam Islam ada sebuah janji yang wajib dipenuhi, yaitu nadzar, sepanjang bukan untuk berbuat maksiat. Nadzar wajib dipenuhi karena ia adalah janji kepada Allah Swt secara suka rela. Karenanya sebaiknya seseorang tidak terlalu mudah membuat nadzar, kecuali untuk meneguhkan niat bagi suatu hal yang besar yang mendatangkan manfaat bagi dirinya atau bagi orang lain.

Pada musim kampanye Pemilukada hampir tak bisa dihindari para kandidat akan membuat janji-janji, baik dinyatakan secara terus terang atau yang berpura-pura menggunakan istilah lain. Semakin banyak janji yang diutarakan berarti makin banyak hutang yang kelak harus dipenuhinya. Konstituen (pendukung) dan audiens umumnya akan mencatat janji apa saja yang dilontarkan dan kelak mereka akan menagih realisasinya.

Nah pengalaman yang terjadi, realisasi tidak sebanyak janji-janji. Akhirnya ada kecenderungan untuk mengelak dari tuntutan (sebagiannya) dengan dusta dan yang jelas ia telah berbuat ingkar. Orang demikian secara tidak sadar menjurus menjadi munafik yang diantara tanda-tandanya adalah bila berkata berdusta dan bila berjanji mengingkari. Karena dalam kampanye janji nyaris tidak bisa dihindari tentu harus dipilih janji yang paling mungkin untuk ditepati. Tidak boleh orang berjanji sekaligus berniat untuk mengingkari. Ia berjanji sekadar untuk gengsi.

Padahal ayat dan hadis yang disebutkan di atas dengan tegas memberikan sanksi kepada orang-orang yang mengingkari janji, baik janji kepada Allah maupun janji kepada sesama manusia, sanksi azab di akhirat maupun sanksi di dunia.

Maka sungguh aneh jika para politisi, para pemimpin negara ini, yang mengaku taat beragama tetapi begitu mudah mengingkari janji. Allahu a’lam. (Zainul Arifin/Pontianak)
Selengkapnya...

Senin, 13 Juni 2011 0 komentar By: sanggar bunga padi

Koalisi

Syahdan ketika Nabi Musa as diperintah oleh Allah Swt untuk mulai berdakwah di kalangan Bani Israil dan pergi ke Mesir menghadapi Fir’aun yang melampaui batas, Nabi Musa as meminta dua hal : pertama, agar dilapangkan dadanya, dimudahkan urusannya, dilepaskan kekakuan lidahnya agar mereka (Bani Israel) mengerti perkataannya. Kedua, agar dijadikan untuknya seorang pembantu dari keluarganya yakni Harun. Karena Harun lebih fasih dalam berbahasa.

Berhadapan dengan Fir’aun dan anak buahnya dan harus berdakwah kepada Bani Israil yang tertindas di bumi Mesir, Musa merasa perlu berkoalisi dengan Harun. Koalisi dengan Harun lebih untuk tujuan berdakwah kepada Bani Israil karena Harun lebih fasih berbahasa Ibrani. Sedang Musa yang di masa kecil hidup di lingkungan istana Fir’aun lebih dominan memahami bahasa Mesir Kuno. (M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Mishbah, Vol 8).

Dengan mukjizat yang dimilikinya, Musa menghadapi Fir’aun dengan gagah berani. Kaum Bani Israil yang tertindas di bawah cengkeraman Fir’aun tidak berani berbuat apapun. Mereka hanya menunggu siapa yang bakal menang dalam perseteruan tingkat tinggi itu. Tingkat tinggi karena menyangkut persoalan ketuhanan, antara tuhan Musa dan Fir’aun yang mengaku sebagi tuhan bagi rakyatnya. Dalam keadaan tertekan, kaum Bani Israil tidak banyak bicara.

Tatkala pertarungan antara kebenaran dan kejahatan dimenangkan oleh kebenaran setelah Nabi Musa as dan Bani Israil selamat melalui mukjizat terbelahnya Laut Merah, ada persoalan baru yang muncul. Yakni kaum Bani Israil mulai bertingkah lagi. Susah diberi pengarahan, bahkan malah mencari-cari tuhan baru lagi. Untuk mengantisipasi keadaan demikianlah, Musa bermohon kepada Allah agar dibantu oleh Harun. Jadilah dua kekuatan ini berkoalisi. Musa berkata, ”Dan jadikanlah untukku seorang pembantu dari keluargaku, (yaitu) Harun, saudaraku, dan jadikankanlah dia sekutu dalam urusanku, teguhkanlah dengan dia kekuatanku.” (Qs. Thaha : 29-31).

Dari sejarah ini kita mengetahui bahwa sebuah koalisi untuk meraih sesuatu keuntungan yang besar sudah sejak dahulu kala adanya. Keuntungan itu secara umum bisa berupa apa saja, kebaikan (ini yang kita harapkan) dan kejahatan (ini yang sangat tidak kita inginkan). Koalisi diperlukan tatkala seseorang atau suatu kelompok merasa tidak mampu mengandalkan kekuatan sendiri untuk meraih tujuannya. Karenanya koalisi bisa bersifat sementara, bisa juga bersifat permanen.

Menurut Wikipedia Bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas di jagad internet, kita dapati penjelasan bahwa ”koalisi adalah persekutuan, gabungan atau aliansi beberapa unsur, di mana dalam kerjasamanya, masing-masing memiliki kepentingan sendiri-sendiri. Aliansi seperti ini mungkin bersifat sementara atau berasas manfaat. Dalam pemerintahan dengan sistem parlementer, sebuah pemerintahan koalisi adalah sebuah pemerintahan yang tersusun dari koalisi beberapa partai. Dalam hubungan internasional, sebuah koalisi bisa berarti sebuah gabungan beberapa negara yang dibentuk untuk tujuan tertentu. Koalisi bisa juga merujuk pada sekelompok orang/warganegara yang bergabung karena tujuan yang serupa. Koalisi dalam ekonomi merujuk pada sebuah gabungan dari perusahaan satu dengan lainnya yang menciptakan hubungan saling menguntungkan.”

Nabi Musa dan Harun berkoalisi untuk memperlancar dakwah Islam dan memperbaiki kehidupan kaum Bani Israil. Nabi Musa dikenal sebagai pribadi yang kuat dan tegas, ia adalah mujahid agung, sedang Nabi Harun diperkenalkan oleh Musa sebagai seseorang yang mempunyai daya komunikasi yang baik. Ia lebih fasih berbahasa sehingga akan membantu mempermudah menjelaskan risalah Musa dan adu argumen dengan kaum Bani Israil.

Agaknya dalam membangun negara, koalisi partai dan koalisi pemimpin tertinggi diperlukan dalam kombinasi yang kurang lebih seperti Musa dan Harun. Sehingga dapat menghadapi tantangan yang berat dengan kuat dan tegas dan dapat menjelaskan berbagai program kepada rakyat dengan bahasa yang fasih, yang dapat dimengerti maksudnya. Koalisi yang demikian dimaksudkan sebagai koalisi kebenaran. Bekerja sama dalam membangun kebaikan dan kemaslahatan merupakan salah satu esensi Islam. Koalisi kebaikan, kebenaran, perlu dibangun demi terwujudnya kesejahteraan, keamanan, dan kesentosaan, juga untuk meredam gejolak kejahatan serta maraknya perbuatan dosa dan maksiat.

Koalisi yang baik adalah koalisi permanen untuk menghadirkan kesejahteraan yang lebih hakiki di masyarakat. Tidak sekadar untuk popularitas dan kekuasaan sesaat. Untuk ini diperlukan kemauan politik (political will) yang sungguh-sungguh baik berlandaskan hati nurani dengan tujuan utama memajukan kehidupan bangsa. Satu bagian yang berkoalisi dengan bagian lainnya harus saling menguatkan. Dalam hadis Rasulullah bersabda, ”Sungguh mukminin yang satu dengan mukminin yang lain itu laksana bangunan yang satu bagian dengan bagian lainnya saling menguatkan.” (HR Al-Bukhari). Inilah gambaran koalisi permanen di lingkungan kaum mukmin. Dimana untuk menegakkan suatu kebaikan harus ada kerjasama yang saling menguatkan.

Koalisi politik semacam ini adalah hal yang sangat lumrah. Tujuan setiap partai politik adalah meraih kekuasaan. Tatkala kekuatan yang dimiliki tidak mencukupi (sesuai aturan perundangan yang ada) untuk mengajukan figur pimpinan, maka koalisi adalah keniscayaan. Walau tujuan partai politik adalah meraih kekuasaan, kita berharap sangat bahwa kekuasaan dimaksud adalah kekuasaan yang benar-benar mengarah kepada kebaikan. Bukan kekuasaan untuk meraih keuntungan sesaat, keuntungan kelompok, keuntungan pribadi-pribadi.

Koalisi yang akan terbentuk adalah koalisi permanen dalam kebenaran dan kebaikan. Yang satu bagian dengan bagian lainnya saling menguatkan, bukan saling menjatuhkan. ''Dan tolong-menolonglah kamu dalam kebajikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran.'' (Qs. Al-Maidah : 2). Allahu a’lam.(Zainul Arifin/Pontianak)
Selengkapnya...

Jumat, 10 Juni 2011 1 komentar By: sanggar bunga padi

3 Macam Persoalan

Salah seorang ustadz di madrasah, sewaktu mengajarkan tafsir surah Al Fatihah mempunyai pertanyaan penting yang hingga saat ini masing mengiang di telinga saya. Saat menjelaskan makna ayat keenam, “Ihdinashshirathal mustaqiem”, “Ya Allah, tunjukilah kami jalan yang lurus” ia bertanya, “Betulkah kita benar-benar siap untuk ditunjukkan jalan yang lurus?”

Pertanyaan ustadz itu menjadi penting karena jika kita benar-benar mendalami makna ayat tersebut yang setiap hari kita baca dalam shalat wajib lima waktu, maka konsekuensinya memang sungguh berat. Meski do’a itu benar-benar akan menyelamatkan kita. Masalahnya, seringkali sesungguhnya kita belum benar-benar siap untuk berada di jalan yang lurus itu. Kita belum merasa siap karena terkena godaan sedikit saja kita bisa melenceng dari jalan lurus itu. Maka bisa diduga, tatkala kita membaca doa itu namun jalan hidup kita masih suka melenceng atau berliku-liku, berarti kita berdoa tidaklah sepenuh hati.

Jalan lurus adalah jalan paling dekat bagi kita mencapai tujuan. Seperti sebuah garis yang menghubungkan antara dua titik, maka garis paling dekat yang menghubungkan dua titik itu adalah garis yang lurus. Sebab jika garis penghubung itu dibuat melengkung, maka ukurannya menjadi bertambah. Begitu pula jika dibuat berkelok-kelok apalagi melingkar-lingkar, maka jaraknya akan semakin jauh. Dan dalam kenyataan kehidupan, banyak dari kita yang justru suka melengkung, melenceng ke sana ke mari, berliku-liku atau melingkar-lingkar sehingga lama sekali sampai di tujuan atau bahkan tidak pernah sampai. Jika tujuan hidup kita adalah Allah, maka jalan lurus itu adalah mengikuti hidayah dan taufik-Nya yang lurus dan kita setia mengikuti jalan itu agar lekas sampai di tujuan.

Shirat al-mustaqim” ada yang memaknai sebagai titian serambut dibelah tujuh yang membentang di atas neraka. Jika amal kita baik, maka kita akan mudah saja melewati titian nan kecil itu dan masuk syurga. Sedang jika dosa yang kita pikul begitu banyak, maka kita akan segera oleng dan terperosok masuk ke jurang neraka di bawahnya.

Sementara Prof. Muhammad Quraisy Syihab dalam Tafsir Al-Mishbah-nya menjelaskan makna “shirat al-mustaqiem” itu layaknya jalan tol. Jalan luas dan lebar yang bebas hambatan. Jika kita ingin segera sampai di tujuan dan tidak tersesat di jalan, maka jalan tol itu akan memberi keleluasaan bagi kita. Sepanjang kita patuh pada rambu-rambu petunjuk yang ada sepanjang jalan itu maka kita akan selamat sampai tujuan. Jalan tol itu juga seakan-akan ‘menelan’ kita yang berada di jalurnya. Jika kita sudah berniat untuk berada di jalan itu, maka kita tidak akan pernah keluar lagi dari jalurnya. Lewat jalan yang lebar dan luas itulah kehidupan kita menjadi nyaman. Dalam bimbingan dari-Nya kita akan selamat hidup di dunia dan di akhirat kelak, insya Allah.

Hanya saja dalam kenyataan hidup, banyak orang yang tidak teguh pendirian. Bahkan untuk sesuatu yang jelas kebenarannya atau kebatilannya. Orang masih suka memperdebatkan yang benar atau salah itu sehingga persoalannya menjadi kabur. Ada yang mempermasalahkan karena tidak mengetahui landasannya namun ada yang dengan kesengajaan dengan tujuan menghindar dari suatu tuntutan (hilah).

Padahal sebagai Muslim kita senantiasa berdoa, “Ya Allah, tunjukkanlah kepada kami yang benar itu nyata benarnya, dan berilah kekuatan kami mengikutinya. Dan tunjukkanlah yang batil itu nyata batilnya dan berilah kekuatan kami menjauhinya.”

Atau seperti sebuah nasehat riwayat dari At-Thabrani, “Sesungguhnya persoalan-persoalan itu ada tiga macam, yaitu persoalan yang jelas bagimu kebenarannya, maka ikutilah, persoalan yang jelas bagimu sesatnya maka jauhilah, dan persoalan yang terdapat perselisihan di dalamnya maka serahkanlah (kembalikan penentuan hukumnya) kepada yang alim (ilmuwan).”

Maka jalan lurus itu adalah jalan kebenaran yang menyegerakan kita sampai ke tujuan. Allahu a’lam.(Zainul Arifin/Pontianak)
Selengkapnya...

Kamis, 09 Juni 2011 0 komentar By: sanggar bunga padi

Pemimpin Yang Prihatin

Dalam pengertian umum, pemimpin adalah orang yang diberi amanah untuk menjadi yang nomor satu dalam suatu organisasi. Ia akan menjadi anutan bagi orang-orang yang berada di bawah koordinasinya. Ia seperti imam dalam sholat, yang mempunyai seperangkat pengetahuan yang dibutuhkan untuk melaksanakan tugasnya secara baik sehingga layak diikuti. Dalam jiwanya terdapat leadership, jiwa kepemimpinan. Sebagian orang membedakan antara pucuk organisasi/instansi sebagai pemimpin dengan manajer. Seorang pemimpin harus punya kemampuan manajerial yang baik, sedang seorang manajer belum tentu memiliki leadership yang baik. Kepemimpinan lebih merupakan seni (art) meski tetap dapat dipelajari. Tugas seorang pemimpin adalah memberikan arahan, melayani orang-orang dalam koordinasinya yang tidak akan dapat mencapai tujuan tertentu jika dilakukan sendiri-sendiri. Maka kepemimpinan adalah pelayanan, bukan prestise atau gengsi.

Sementara kata prihatin yang berasal dari Bahasa Jawa berarti merasa menderita, atau perasaan yang muncul akibat suatu kekurangan. Contohnya : pengungsi akibat Lumpur Lapindo hidup memprihatinkan berarti para pengungsi yang hidup menderita atau sengsara akibat kekurangan, bisa kekurangan pangan, kekurangan air bersih, juga kekurangan perhatian.

Seorang pemimpin yang prihatin adalah pemimpin yang merasa ikut menderita melihat keadaan rakyatnya. Bahkan mungkin ia sendiri memang hidup memprihatinkan dalam ukuran umum, walau baginya hal tersebut tidak berarti apa-apa, sepanjang misinya dapat dijalankan.

Nabi Muhammad SAW adalah contoh pemimpin yang prihatin. Kemudian para shahabat beliau yang menjadi khalifah sesudah beliau dan para gubernur Islam yang ditugaskan memimpin di tempat-tempat taklukan Islam pada masa-masa awal.

Dalam Qs. At Taubah [9] ayat 128 Allah berfirman yang artinya, “Sungguh telah datang kepadamu seorang Rasul dari kaummu sendiri, berat terasa olehnya penderitaanmu, sangat menginginkan (keimanan dan keselamatan) bagimu, amat belas kasihan lagi penyayang terhadap orang-orang mukmin.” Dalam tafsir dikemukakan bahwa Rasul (Muhammad) itu bukanlah seseorang yang asing bagi masyarakat waktu itu. Ia sudah dikenal sejak lama. Penggunaan kata ‘anfusikum/kaummu sendiri’ menurut Prof. Quraish Shihab adalah untuk menunjukkan bahwa yang berbicara (Muhammad) dengan mitra bicara adalah sejiwa. Tidak ada gap yang lebar diantara dua belah pihak.

Sedang kata ‘datang kepadamu seorang Rasul’ menunjukkan bahwa apa yang dirasa oleh Muhammad itu memang sejak mula telah dirasakannya, dikuatkan lagi dengan datangnya risalah dari Allah.

Apakah yang dirasakan oleh Muhammad? Sebuah keprihatinan yang amat mendalam. Yang dilambangkan dengan ’berat terasa olehnya penderitaanmu’. Sejak sebelum diangkat menjadi Rasul, Muhammad memang amat prihatin dengan keadaan kaumnya yang sengsara. Sengsara ruhaniah dengan bangkrutnya religiusitas mereka sehingga menjadi penyembah berhala, penindas, perangai yang jahat, dan sebagainya. Sengsara jasmaniah bagi para penduduk yang kurang beruntung : menjadi budak, miskin, bodoh, dan sebagainya. Karenanya Muhammad sangat menginginkan keimanan dan keselamatan bagi kaumnya itu. Ia tidak hanya melihat penderitaan itu dari atas Gua Hira (kini istilahnya menara gading) tetapi benar-benar terjun ke masyarakat untuk mendorong dan mengarahkan mereka bangkit menuju keselamatan. Bangkit dari kehilangan religiusitas yang benar dengan ketauhidan dan hidup dengan moralitas yang tinggi. Muhammad sendiri yang kemudian hari juga menjadi pemimpin bagi masyarakatnya, tidak hidup dalam gelimang harta.

Sikap Budaya yang Tepat

Letjend. Sayidiman Suryohadiprojo, mantan Gubernur Lemhanas, dalam bukunya ’Menghadapi Tantangan Masa Depan’ mengungkapkan tentang kondisi masyarakat dan kepemimpinan yang dibutuhkan dewasa ini. Bahwa dalam masyarakat perlu ditegakkan sikap budaya yang tepat yakni : (1). Adanya sikap hidup yang kuat, yang penuh prakarsa dan komitmen terhadap kehidupan, (2). Kepemimpinan masyarakat yang mempunyai keyakinan yang teguh tentang perlunya perjuangan, dan (3). Pemimpin yang mempunyai kemampuan untuk mempersatukan lingkungannya, ia bertindak sebagai motivator, mampu berkomunikasi dengan efektif, dan mempunyai daya persuasi yang meyakinkan. Yang tidak kalah penting adalah ada wahana yang digunakan untuk menimbulkan sikap yang diperlukan, melalui pendidikan dan politik yang demokratis.

Sikap hidup yang kuat dan penuh prakarsa sangat diperlukan dewasa ini mengingat kompetisi global yang tidak dapat dielakkan. Jika negara kita, wilayah kita, menginginkan keselamatan masa depan, maka kecengengan dan ketergantungan yang amat sangat harus dihentikan. Sang pemimpinnya sendiri harus benar-benar seseorang yang teguh bahwa untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat dan menjamin masa depan yang gemilang harus diraih dengan perjuangan.

Mencontoh Nabi Muhammad, sang pemimpin harus terus menerus ikut merasa prihatin atas kondisi masyarakatnya sehingga elan perjuangannya tidak akan kendor. Untuk itu ia selalu berupaya mempersatukan lingkungannya, menjadi motivator yang baik bagi kemajuan seluruh masyarakatnya dan karenanya ia harus mampu berkomunikasi secara efektif dan mempunyai daya persuasi yang meyakinkan. Karena tidak semua elemen masyarakat mudah diajak maju. Tidak semua elemen masyarakat mudah diajak berbagi. Dan tidak semua investor mudah diajak masuk ke sini.

Semoga kita mendapat pemimpin yang tepat. Allahu a'lam.(Zainul Arifin/Pontianak)
Selengkapnya...

Rabu, 08 Juni 2011 0 komentar By: sanggar bunga padi

Anak Berbakat Belum Tentu Sukses

Anak-anak dengan bakat luar biasa ternyata sama besar kemungkinannya untuk gagal ataupun sukses pada masa dewasa. Dalam salah satu penelitian terluas yang pernah diadakan, ditemukan, dari 210 anak berbakat, hanya tiga persen yang akhirnya "jadi orang".
Profesor Joan Freeman mengatakan, dari 210 anak-anak yang dia teliti, hanya setengah lusin yang bisa dikatakan meraih "kesuksesan konvensional".  "Pada usia enam atau tujuh tahun anak berbakat memiliki potensi yang mencengangkan, tetapi banyak dari mereka terjebak dalam situasi potensi terpasung," kata Freeman seperti yang dikutip Kompas.com dari Daily Mail.

Profesor Freeman melacak anak-anak yang berbakat di bidang matematika, seni, dan musik sejak tahun 1974 hingga sekarang. Kebanyakan dari mereka tidak sukses pada masa dewasa karena perlakuan yang mereka alami dan dalam beberapa kasus direnggut dari masa kanak-kanak. Dalam beberapa kejadian, orangtua menekan anaknya begitu keras atau malah dipisahkan dari kelompok sebayanya sehingga akhirnya hanya mempunyai sedikit teman.

Ia juga menambahkan, "menjadi istimewa" berarti lebih bisa menghadapi hal-hal yang bersifat intelektual, tetapi tak selalu bisa menghadapi hal-hal emosional.
Freeman juga cenderung menekankan bahwa anak-anak berbakat sama rapuhnya dengan anak biasa, bahkan mungkin "punya kekuatan emosi yang lebih besar". "Saya ingin menegaskan, mereka yang berbakat juga hanya manusia biasa, tapi menghadapi tantangan-tantangan, khususnya harapan yang tidak sesuai kenyataan, biasanya dipandang aneh dan tak bahagia," tegas Freeman.

"Orangtua dan guru merasa terancam dengan kehadiran mereka dan bereaksi meredam kemampuan mereka. Yang mereka inginkan hanya diterima apa adanya, kesempatan yang sama untuk mengembangkan potensi, dan mendapatkan dukungan moral yang memadai," papar Freeman lebih jauh.

Salah satu contoh anak berbakat yang kemudian gagal untuk berkembang adalah Andrew Halliburton, yang ketika masih berusia delapan tahun telah memahami matematika untuk sekolah menengah, tetapi kini hanya bekerja di warung cepat saji McDonald's. 

Contoh lain yang menarik adalah Anna Markland dan Jocelyn Lavin yang telah menjadi bintang sekolah musik Chetham, Manchester, Inggris, ketika berusia 11 tahun. Markland yang kini berusia 46 tahun berasal dari Princes Risborough, Buckinghamshire, Inggris, dan pada tahun 1982 dinobatkan sebagai Pemusik Termuda Terbaik oleh BBC.

Ia kemudian belajar musik di Oxford selama dua tahun dan sekarang menjadi seorang pemusik profesional, yang menurutnya merupakan profesi terbaik di dunia.

Sebaliknya, Lavin berbalik dari musik dan berpindah menekuni ilmu pengatahuan alam. Ia kemudian memperoleh nilai A dalam bidang itu di antara 210 anak berbakat tadi.

Namun, setelah masuk University College London, ia gagal dalam matematika dan astronomi pada usia 17 tahun. Ia kemudian keluar tanpa meraih satu gelar pun. "Saya tak tahu yang ingin saya tekuni kecuali terbang ke luar angkasa," katanya.

Setelah 20 tahun berprofesi sebagai guru matematika, ia kini masih harus bermasalah dengan rumahnya yang dililit masalah kredit.

Menurut Profesor Freeman, permasalahan lain bagi anak-anak istimewa, mereka sering kali cemerlang di bidang apa saja sehingga cenderung ingin mencoba bidang lain, padahal bidang yang terdahulu belum dikuasai betul.

Pada dasarnya, anak cerdas akan gagal jika mereka ditempatkan di bawah tekanan untuk berkembang. "Kepuasan dan kreativitas dari masa anak-anak adalah dasar untuk semua pekerjaan besar," pungkas Freeman.
Selengkapnya...

Selasa, 07 Juni 2011 0 komentar By: sanggar bunga padi

Jurus Memilih Perguruan Tinggi: Karena Bakat dan Minat Atau Prestasi Akademik?

Orang tua terkadang bingung memilih perguruan tinggi bagi putra-putrinya. Apakah harus mendahulukan bakat dan minat anak, atau justru prestasi akademik terlebih dahulu?
Direktur ProVisi Education Romy Cahyadi, seperti dikutip Kompas.com menilai, kebingungan para orang tua itu adalah hal yang wajar. Menurutnya, setiap orangtua pasti menginginkan anaknya sukses. Namun, dilihat dari sisi psikologis anak, lanjut Romy, minat dan bakat anak sebaiknya tetap menjadi titik tolak untuk memilih perguruan tinggi.
"Semua orang yang sukses dalam bidang apapun, itu bukan karena dia sempurna dalam segala hal. Semua orang yang sukses di dunia ini karena mereka telah menonjolkan keunggulannya. Dan, itu pasti berhubungan dengan yang namanya bakat dan minat," ujar Romy.

Romy menuturkan, orangtua juga harus memberi ruang untuk memberikan kesempatan bagi anak. Karena, menurutnya, ke depan akan muncul peluang karir, jenis pekerjaan, dan bidang-bidang baru mengiringi perkembangan zaman. Ketika terjadi hal seperti itu, sudah pasti pengetahuan anak akan lebih baik dari orangtuanya. "Karena selalu muncul bidang-bidang baru yang sama sekali orangtua tidak paham akan hal itu," jelas Romy.

Maju Selangkah 

Selain bingung dalam hal menentukan perguruan tinggi, tak jarang terjadi perbedaan pandangan antara anak dan orangtua. Ketika hal seperti ini terjadi, lanjut Romy, orangtua dan anak dianjurkan memikirkan pemecahan dengan fokus pemikiran yang maju selangkah ke tengah-tengah persoalan secara bersamaan.

Menurut Romy, ketika anak ingin memilih bidang yang orang tuanya tidak setuju, itu wajar. Namun, agar perbedaan pendapat dapat terselesaikan, anak juga semestinya bertindak proaktif untuk menjawab kekhawatiran orang tuanya. "Tunjukkan, setidaknya riset kecil, entah browsing di internet atau tanya ke teman, yang bisa menunjukan kepada orangtua bahwa bidang yang dipilihnya itu menjanjikan," kata Romy.
Selengkapnya...

Senin, 06 Juni 2011 0 komentar By: sanggar bunga padi

4 Jurus Mengeluarkan Potensi Diri

Sudah mengetahui bakat yang dimiliki? Mulailah mengembangkannya. Namun jika belum tahu apa bakat yang dimiliki, belum terlambat untuk mengetahuinya. Seperti dikutip dari Kompas.com hanya dibutuhkan empat kunci untuk mengeluarkan potesi yang sesungguhnya.

1. Keahlian

Pernahkah Anda mempelajari sesuatu yang benar-benar baru dan ternyata Anda dapat menguasainya dengan mudah? Atau mengerjakan sesuatu lebih cepat dari rekan lain? Bisa jadi, itulah bakat yang sedang memanggil, menunggu Anda melepaskan dan mengembangkannya.

Jika Anda dengan mudah bisa menyelesaikan sebuah perhitungan saat orang lain menyumpahi kalkulator, itu artinya bakat Anda sebagai seorang akuntan atau banker sedang berusaha muncul dan menyapa Anda. Nah, pikirkanlah hal-hal yang begitu mudah bagi Anda tetapi tidak bagi teman-teman. Kemudian, perhatikan bakat apa yang tengah bekerja pada diri Anda.

2. Ketertarikan

Cara lain menemukan bakat adalah dengan memikirkan hal-hal yang begitu Anda inginkan. Seringkali hal-hal yang menarik perhatian selalu berkaitan dengan kemampuan alami atau bakat. lni merupakan suatu pola konsisten dalam hidup dan bukan sekadar cara menghabiskan waktu alias hobi semata.

Nah, coba pikirkan apa yang paling Anda ingin lakukan seharian? Menonton film? Melatih hewan? Menata barang? Memainkan alat musik? Atau membaca buku? Sesuatu itu tidak harus yang menjadi ambisi Anda, meski ambisi merupakan petunjuk kuat adanya bakat yang tengah bekerja. 

Jika Anda seorang pembaca yang tekun atau rajin menulis di blog, bisa jadi bakat tersembunyi Anda adalah menulis. Atau bisa saja ketertarikan pada buku membawa Anda pada karier kepustakaan, penerbitan, dan lain-lain.

3. Kepuasan

Apa yang membuat Anda merasakan kebahagiaan dan kepuasan dalam bekerja? Pekerjaan apa yang membuat Anda begitu hanyut dan merasa tak ingin berhenti saat mengerjakannya? Bagi para atlet, perasaan hanyut sering terjadi ketika mereka berolahraga. Sementara bagi para ahli komputer, perasaan hanyut terjadi ketika mereka menghadapi piranti lunak.

Dalam keadaan hanyut, kita memang menjadi sangat terfokus pada kesempatan untuk menggunakan bakat. Alhasil, pola gelombang otak kita saat itu begitu mirip dengan pola gelombang otak ketika kita tertidur lelap. Nah, sekarang apa yang membuat Anda terhanyut? Jika Anda belum juga menemukan, pikirkan suatu kegiatan yang membuat Anda terlibat sepenuhnya. Mungkin bakat Anda ada di sana.

4. Kebiasaan

Pernahkah Anda dipuji karena kemampuan atau sikap Anda? Misalnya, orang menilai Anda sebagai karyawan yang sangat teratur atau ide pemasaran Anda hebat, atau Anda pendengar yang baik, dan lain sebagainya. Lewat komentar orang-orang di sekitar, Anda juga bisa mengetahui kemampuan alami Anda.

Ketrampilan alami memang bisa muncul dalam berbagai cara. Namun, kadang kita menganggapnya biasa saja karena ketrampilan itu sudah sangat melekat sehingga hampir tak disadari kehadirannya.

Lalu, bagaimana mengenali bakat itu? Coba cermati apa yang membuat orang tertarik pada Anda, mengenali Anda atau terfokus pada Anda? Apakah Anda menjadi tempat curahan hati teman-teman? Atau mereka selalu meminta pendapat Anda soal pakaian? Nah, di sanalah bakat Anda tersimpan. Anda hanya perlu mencari kesempatan untuk mengembangkannya.
Selengkapnya...

Sabtu, 04 Juni 2011 2 komentar By: sanggar bunga padi

Pegawai Negeri

Oleh: TEGUH WINARSHO AS
AKU dan Annisa memutuskan menikah di usia muda. Aku, duapuluh tahun; sedang Annisa, sembilanbelas tahun. Awalnya keputusan ini ditentang ayah. Ayah menghendaki agar kami selesai kuliah, baru menikah. Tapi setelah mendengar penjelasanku, akhirnya ayah maklum dan mau menerima. Begitulah, aku dan Annisa sudah saling menyinta. Kami tak ingin terjebak pada perbuatan yang dilarang agama. Dan, menikah adalah jalan keluar yang terbaik.

Tapi sembilan tahun lebih menjalani hidup berumah tangga, hingga dikaruniai seorang gadis kecil cantik dan seorang laki-laki ganteng, aku masih belum mampu membawa ekonomi keluarga ke arah yang lebih baik. Kami hidup sederhana bahkan cenderung pas-pasan. Hingga kadang bantuan dari orang tua masih mengalir. Tapi ini bukan berarti aku dan istriku tidak berusaha untuk maju. Kami sudah berusaha semampu kami. Tapi, ah, mungkin hanya nasib baik saja yang masih belum mau berpihak pada kami.

Istriku dengan bekal ijazah yang ia miliki sudah berulang kali mendaftar masuk pegawai negeri. Tapi ternyata tidak pernah berhasil. Ia tetap menjadi tenaga pengajar honorer di beberapa SMP yang gajinya sangat sedikit, setelah dipotong ongkos naik angkutan dari sekolah yang satu ke sekolah lainnya. Benar-benar sebuah perjuangan.

Dan, seperti pesan ayah yang selalu didengung-dengungkan sejak aku lulus kuliah, aku juga tak pernah melewatkan setiap kali ada pendaftaran calon pegawai negeri. Ayah sangat berharap agar aku bisa menjadi pegawai negeri. Tapi rupanya tidak mudah memenuhi harapan ayah. Hingga kini aku masih kerja sebagai seorang penulis cerita dengan penghasilan tidak tetap.

Aku tahu ayah kecewa melihat nasibku. Masih kuingat pertemuan dengan ayah, beberapa waktu lalu. Tidak seperti biasanya ayah menyambut kedatanganku dengan sikap dingin, datar. Aku jadi serba salah. Malamnya aku baru tahu apa penyebabnya. Lagi-lagi, soal nasib. Soal kerja. Dengan menyebut-nyebut nama Anwar, anak tetangga sebelah yang belum lama diterima menjadi pegawai negeri, ayah berusaha membanding-bandingkan aku dengannya. Ayah bilang bahwa Anwar orangnya tekun dan rajin, ketika kuliah tidak pernah ikut kegiatan aneh-aneh, karenanya wajar begitu lulus kuliah langsung mendapat pekerjaan.

Aku tahu, ayah sedang menyindirku. Dulu ketika kuliah aku memang sempat ikut banyak kegiatan. Puncaknya ketika aku bergabung dengan sebuah organisasi mahasiswa yang kemudian mengantarkan aku menjadi penghuni tahanan polda selama beberapa hari bersama beberapa teman aktivis lain usai unjuk rasa di depan halaman kampus.

Berkali-kali ayah menyebut nama Anwar. Mengatakan bahwa Anwar adalah anak yang baik, mau mengerti bagaimana keinginan orang tua. Tahu bagaimana cara membalas budi pada orang tua, dan lain-lain. Padahal aku tahu siapa Anwar sebenarnya. Bagaimana sepak terjang dan reputasinya ketika kuliah. Dan, rasa-rasanya ayah juga tahu, Anwar bisa diterima menjadi pegawai negeri karena telah menyuap petugas dengan jumlah uang yang tidak sedikit.

Ya, orang sekampung rasanya juga tahu, ayah Anwar telah menjual dua ekor kerbau dan beberapa petak sawah agar Anwar bisa diterima menjadi pegawai negeri. Aku heran, kenapa ayah seolah menutup mata di balik keberhasilan Anwar diterima menjadi pegawai negeri. Padahal dulu ayah tidak suka dengan praktik-praktik seperti itu. Aku masih ingat, ayah pernah bilang di pengajian masjid bahwa suap menyuap hukumnya haram. Baik orang yang menyuap atau yang menerima suap sama-sama berdosa. Tapi kenapa sekarang justru berbalik? Ada apa dengan ayah? Apakah ayah sudah lupa dengan apa yang pernah dia katakan dulu?

“Kamu sudah tahu tahun ini ada pendaftaran calon pegawai negeri?” tanya ayah acuh tak acuh.

Aku mengangguk. Beberapa teman sudah mengabarkan berita itu. Dan, berita seperti itu tentu cepat sekali menyebar. Mungkin puluhan ribu orang di pelosok negeri ini pun sudah tahu.
“Kamu sudah mendaftar?”
“Sudah.”
“Istrimu?”
“Sudah.”
Sejenak ayah terbatuk. Matanya menerawang.

“Sekarang ini susah untuk mendapat pekerjaan. Tidak seperti lima belas atau dua puluh tahun lalu….” suara ayah pelan, bergetar. Wajahnya tegang, seperti ada sesuatu yang berat untuk diucapkan. “Begitu pula dengan cara-caranya. Sudah berbeda sekali….”
“Maksud ayah?” tanyaku merasa kurang paham.

Ayah tak segera menjawab. Meraih sesuatu dari laci meja. Lalu, “Kali ini jangan kamu tolak!” kata ayah kemudian, sambil meletakkan setumpuk uang masih terikat rapi.

Aku hampir melonjak kaget. Aku belum pernah melihat uang sebanyak itu. Dari mana ayah mendapatkan uang sebanyak itu?

“Ini uang hasil penjualan sawah. Kamu seorang sarjana. Sudah bukan masanya lagi kamu bertani dan mencangkul. Sawahmu adalah pegawai negeri. Gunakan uang ini untuk kamu dan istrimu. Kalau masih kurang ayah rela menjual satu sawah lagi. Yang penting, kamu dan istrimu bisa diterima menjadi pegawai negeri….” kata ayah samar-samar, seolah aku harus mengerti apa maksudnya.

Ya, aku memang mengerti. Uang itu maksudnya bisa digunakan untuk menyuap. Tapi kenapa ayah tidak langsung bilang saja? Ataukah sebenarnya ayah masih berat mengucapkan kata-kata itu?

“Ini bukan penyuapan. Tapi memang beginilah prosedur yang ada sekarang…” kata ayah seperti memahami pikiranku.

Aku terdiam dan seperti masih tak percaya dengan apa yang kulihat di depan mataku. Perubahan sikap ayah? Setumpuk uang di atas meja? Memang, satu tahun yang lalu, ayah pernah menawarkan hal serupa, tapi tidak langsung menunjukkan uang di depan mata. Dulu aku menolaknya.

“Aku tidak mau tahu. Sekarang juga kamu harus bawa uang ini. Aku tidak ingin melihat kamu gagal dan gagal lagi. Pikirkan baik-baik!” kata ayah langsung bergegas masuk kamar.

Sesaat lamanya aku bingung tidak tahu apa yang harus kulakukan. Dan, entah oleh dorongan apa, tanganku telah meraih tumpukan uang di atas meja. Tapi begitu sampai di rumah, uang pemberian ayah kusimpan di tempat yang aman. Di samping jumlahnya sangat banyak, aku juga tak mau bertengkar dengan istriku gara-gara uang itu. Aku tahu, istriku pasti akan marah besar jika tahu aku membawa uang untuk digunakan menyuap.
* * *

Dua bulan kemudian aku kembali ke rumah ayah. Hasil seleksi calon pegawai negeri sudah diumumkan. Seperti tahun-tahun lalu, aku kembali gagal, tidak diterima. Tapi, alhamdulillah, Annisa, istriku, bisa diterima. Paling tidak, cukuplah di antara kami ada yang menjadi pegawai negeri, seperti keinginan ayah.

“Duduk!” kata ayah dingin, saat aku masuk ruang tamu. Aku menurut. Tapi aku sengaja mengambil duduk sedikit jauh, menjaga jarak untuk menghindari puncak kemarahan ayah. Ya, tentu ayah akan marah besar melihat kegagalanku yang entah untuk ke berapa kalinya ini. Tapi sungguh, sedikit pun aku tidak menyesal atau kecewa. Aku sudah berusaha semaksimal mungkin lewat prosedur yang benar. Bahwa aku gagal, itu memang sudah nasib.

Mungkin sepanjang hidup aku akan dihantui persaan berdosa jika akhirnya aku diterima menjadi pegawai negeri karena telah menyuap petugas seperti keinginan ayah. Aku tidak bisa menari-nari di atas penderitaan orang lain. Bagaimana tidak, orang-orang yang sebenarnya punya potensi justru tersingkir karena tidak punya uang untuk menyuap. Sebaliknya orang-orang yang tidak memiliki potensi justru berhasil karena berani menyuap. Lebih dari itu, aku tak ingin memberi makan keluargaku dengan cara-cara yang tidak halal.

“Maaf, aku tidak bisa memenuhi keinginan ayah,” kataku sambil meletakkan uang pemberian ayah di atas meja. Uang itu masih utuh. Jangankan mengambil, menyentuh pun aku merasa takut.

Ayah menatapku tajam. Urat-urat di sekitar matanya bergetar. “Dasar keras kepala!” kata ayah pelan, tapi penuh kemarahan. Aku menunduk tak berani menatap ayah.

“Aku sudah bilang berkali-kali tak ingin melihat kamu gagal. Nyatanya? Kamu gagal lagi! Gagal lagi! Lihat, itu Anwar!” kata ayah, suaranya lebih keras.
“Aku tidak gagal….” jawabku parau.
“Tidak gagal?” potong ayah sinis.
“Ya, tidak gagal. Paling tidak aku tidak gagal mempertahankan nuraniku,” kataku lebih tegas.

“Di zaman seperti ini kamu masih menyebut-nyebut nurani? Ingat, zaman sudah berubah. Kamu harus mau mengikuti arus perubahan jika kamu tak ingin digilas!”
“Tapi bagaimana pun menyuap adalah….”

“Cukup!” Ayah memotong. Wajahnya berubah merah. “Contoh Annisa, istrimu. Dia mau mengikuti apa kata ayah. Dan, seperti yang kamu lihat, Annisa berhasil!” lanjut ayah.

“Apa? Annisa menyuap agar bisa diterima menjadi pegawai negeri?” tanyaku terkejut luar biasa. Sedikit pun aku tak menduga Annisa akan menempuh jalan pintas seperti itu.

Ayah tersenyum. “Ya, sebulan lalu istrimu datang kemari. Katanya uang pemberian ayah tidak kamu berikan padanya. Ketika itu ayah pikir uang itu akan kamu gunakan sendiri. Karenanya ayah menjual satu sawah lagi untuk istrimu.” Suara ayah terdengar nyaring penuh kemenangan.

Aku tak tahan lagi di rumah ayah. Aku buru-buru pulang. Sampai rumah, kulihat Annisa sedang duduk di teras rumah. Sikapnya biasa-biasa saja. Sedikit pun tak menunjukkan perasaan bersalah.

“Aku senang kamu bisa diterima menjadi pegawai negeri. Tapi jika untuk semua itu ternyata kamu harus menyuap petugas, aku sangat marah!”

Sesaat Annisa terkejut, tapi kemudian tersenyum. “Ayah yang terus mendesak agar aku menyuap. Setiap kali aku datang ke rumah ayah, beliau selalu membujukku. Lama-lama aku merasa tidak enak….”
“Dan, kamu merasa bangga dengan semua itu?!”
“Tunggu dulu….”
“Kamu benar-benar sudah berubah, Annisa. Kamu mengkhianati kebenaran. Kamu tega merampas hak orang lain.”
“Tenang, tunggu dulu. Beri kesempatan aku bicara..

“Apa lagi yang ingin kamu bicarakan? Semuanya sudah jelas. Kamu menyuap petugas. Demi Allah aku tidak ikhlas!” Aku tak bisa menguasai amarahku.

Sejenak Annisa menatapku. Lembut. “Sudah selesai? Sekarang giliran aku yang bicara,” Annisa mencoba mengatur napas, berusaha tenang. “Ayah memang memberiku uang. Tapi uang itu tidak kugunakan untuk menyuap. Uang pemberian ayah kusimpan di bank. Aku bisa diterima menjadi pegawai negeri adalah murni usahaku sendiri.”

“Benarkah?” Aku tergagap merasa tak percaya. Kutatap bola mata Annisa yang tetap lembut dan dalam.

“Ya. Mungkin ini berkah Allah atas keteguhan hati kita dalam memegang kebenaran. Tahun ini aku berhasil, mudah-mudahan tahun depan, kamu….”

Aku menunduk tak bisa berkata-kata. Berbagai macam perasaan campur aduk di hatiku. Tapi satu hal yang pasti, aku semakin merasa bangga memiliki istri cantik, tabah dan amanah, seperti Annisa.

***
Selengkapnya...

Jumat, 03 Juni 2011 1 komentar By: sanggar bunga padi

Tatkala Harus Menerima Panggilan Handphone

Kejadian ini sangat sering terjadi. Tatkala kita sedang berbincang dengan seseorang, berdering handphone (HP) kita atau lawan bicara kita, lalu serta merta kita mengangkatnya dan menjauh dari kawan berbincang kita. Dalam kondisi ini, terkadang kita tidak sempat meminta maaf kepada kawan bicara kita bahwa kita akan menerima tilpun yang masuk. Lalu kita pun asyik masyuk berbicara lewat hp, dan sesekali mungkin tertawa-tawa sambil melirik kawan bicara kita yang kita tinggalkan tadi.

Jika kawan bicara yang lalu seorang penyabar mungkin ia akan tetap menunggu kawannya selesai bicara lewat hp. Tapi jika ia merasa tersisihkan atau bahkan tersinggung, maka ia akan segera berlalu dengan muka masam. Dalam hal ini mungkin memang ada yang salah. Paling tidak dalam hal etika berbicara dan etika bermasyarakat.

Sebuah hadis Nabi Muhammad Saw menyatakan,

وعن عبد الله بن مسعود قال : قال رسول الله صلى الله عليه وسلم : " إذا كنتم ثلاثة فلا يتناجى اثنان دون الآخر حتى تختلطوا بالناس من أجل أن يحزنه " . متفق عليه


“Dari Abdullah bin Mas’ud ra., ia berkata: Rasulullah Saw bersabda: Apabila kamu bertiga, maka janganlah berbisik hanya dua orang, dengan meninggalkan teman lainnya, sehingga kamu bercampur dengan orang banyak, agar tidak menyinggung perasaan.” (Muttafaqun ‘alaih).

Prof. Sa’ad A. Wahid dalam bukunya “Membersihkan dan Menyembuhkan Berbagai Penyakit Qalbu” menulis, hadis tersebut mengandung pendidikan adab yang sangat tinggi, Islam sangat memperhatikan adab sopan santun, karena adab sopan santun sangat penting dalam memperhatikan masyarakat. Apabila sopan santun dilanggar, sering terjadi ketidakserasian dalam masyarakat, bahkan sering menimbulkan kebencian. Berdasarkan hadis inilah para ulama melarang berbisik dengan dua orang atau lebih, dengan meninggalkan teman lainnya, kecuali atas izinnya, demikian pula bercakap-cakap dengan bahasa yang tidak dapat dipahami oleh sebagian temannya. Sebab yang demikian itu dapat menimbulkan kecurigaan, yang mengakibatkan kebencian.

Dalam kasus saat kita berbincang berdua kemudian salah satu terpaksa harus menerima tilpun lewat hp, maka bisa “dihukumi” dengan hadis di atas. Karena biasanya kita kemudian meninggalkan lawan berbinang tadi dan menanggapi pembicaraan di hp. Tentu saja yang ditinggalkan menjadi tidak enak --- meski bisa bersikap memaklumi --- apalagi jika yang diperbicangkan sebelumnya hal yang cukup serius.

Memang tidak ada kewajiban bagi penerima panggilan lewat hp untuk melibatkan kawannya, bahkan mungkin tidak perlu, namun yang diperlukan adalah ungkapan permisi, baik secara lisan maupun bahasa tubuh bahwa kita akan menghentikan pembicaraan dan melayani tilpun. Dan agar saat menerima tilpun tidak menimbulkan kecurigaan apalagi tambah “sakit hati” bagi kawan bicara kita tadi, perlu diperhatikan bahasa tubuh yang sopan.

Secara sopan santun, setelah kita menerima tilpun tadi ada baiknya secara singkat memberitahu kawan kita, siapa yang menilpun kita tadi dan atau apa yang diperbincangkannya. Meski secara sangat singkat hal itu akan memberikan penghargaan kepada kawan yang terpaksa kita tinggalkan tadi, dan sekaligus memberitahu apakah materi pembicaraan di tilpun tadi ada kaitannya dengan diri kawan kita itu atau tidak. Boleh jadi isi tilpun hanya bergurau, tapi tidak salah jika hal itu pun diinformasikan secara proporsional, agar tidak terjadi kecurigaan apalagi kebencian hanya karena kesalahfahaman.

Seorang narasumber pada sebuah kegiatan pernah mengusir keluar seorang peserta yang menjadi pendengarnya. Apa pasal? Karena sang peserta menerima panggilan lewat hp, kemudian berbincang dan mengabaikan paparan sang narasumber. Sang narasumber terpaksa mengusirnya dengan alasan si peserta ternyata masih mengharapkan hubungan dengan pihak ketiga, yang berada entah di mana, ketimbang mendengarkan dirinya yang sedang berada di hadapan si peserta.

Kasus sang narasumber mungkin menunjukkan temperamental dirinya. Namun dalam hubungan bermasyarakat, kita harus memperhatikan hal-hal yang kelihatannya sepele tapi potensial memunculkan kecurigaan, kebencian dan permusuhan. Jangan sampai berlaku kata pepatah "HAPEMU HARIMAUMU". Allahu a’lam.(Zainul Arifin/Pontianak)
Selengkapnya...

Rabu, 01 Juni 2011 1 komentar By: sanggar bunga padi

Anak Cerdas Berkat Olahraga

Mengikutkan anak pada les ini-itu sering menjadi pilihan para orangtua untuk meningkatkan kemampuan belajar anak. Padahal, ada cara mudah, murah dan menyehatkan untuk melakukannya, yakni dengan mengajak anak berolahraga. 

Aktivitas fisik yang rutin dilakukan anak-anak sejak usia muda telah terbukti dapat meningkatkan nilai pelajaran anak-anak di sekolah. Secara ilmiah hal itu dibuktikan lewat pemindaian otak yang dilakukan oleh Profesor Art Kramer dari Universitas Illinois, Amerika Serikat. Diketahui anak-anak yang aktif berolahraga memiliki ingatan yang lebih baik dibanding anak yang pasif. 

Selain lebih cerdas, hasil penelitian juga menemukan otak anak-anak yang aktif berolahraga berukuran 12 persen lebih besar dibanding otak anak yang tidak berolahraga. "Kami tahu bahwa pengalaman, lingkungan dan status sosial ekonomi semua berdampak pada perkembangan otak," kata Profesor Kramer.

Meski faktor genetik tidak bisa kita ubah, namun sebenarnya banyak hal yang masih bisa dilakukan untuk memperbaiki kemampuan otak manusia. Selain faktor nutrisi, kebugaran juga penting. Karena itu Kramer menyarankan agar orangtua mendorong anak untuk berolahraga, minimal 20 menit setiap hari. 

Olahraga aerobik seperti berjalan kaki telah terbukti bisa meningkatkan daya ingat dan membuat tidur lebih nyenyak. Seperti diketahui, saat tidur seluruh sel-sel tubuh beregenerasi, termasuk sel-sel otak. "Temuan ini dapat mendorong orang tua dan sekolah untuk membuat olahraga menjadi prioritas untuk anak-anak muda," katanya. (Andrea Laksmi dan Lusia Kus Anna)

Sumber: Kompas.com
Selengkapnya...

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...