Selasa, 24 Juli 2012 1 komentar By: sanggar bunga padi

Puasa dan Revitalisasi Kejujuran

Sebagai sebuah ibadah yang sirr (tidak kelihatan) maka puasa adalah ujian untuk sebuah kejujuran. Inilah yang selalu menjadi taushiyah para ustadz di malam-malam tarawih atau ceramah subuh. Tapi bisakah kita benar-benar berbuat jujur?

Jujur, jika kita dapat samakan dulu maknanya adalah tidak berkhianat, tidak berlaku curang, dan tidak mencuri hak orang lain. Sedangkan kejujuran berarti memiliki kesadaran terhadap sesuatu yang dianggap benar dan appropriate (benar) dalam peran (role), perilaku (behavior) dan hubungan (relationship). Nilai kejujuran ini merupakan nilai moral terpenting dan entry untuk mencapai nilai-nilai lain seperti friendship, loyalty dan respect. Jujur juga berimplikasi bahwa seseorang dapat dipercaya dan tidak mengkhianati kepercayaan orang lain, sehingga bersikap jujur membuat nyaman hubungan seseorang dengan orang lain. Demikian dinyatakan Reni Akbar Hawadi, Psikolog, Ketua Pusat Keberbakatan Fakultas Psikologi UI.

Namun, yang terpenting adalah jujur membuat nyaman diri sendiri. Bukankah jujur adalah fitrah? Citra Tuhan? Dan indikatornya adalah hati sanubari. Jika seseorang berlaku sesuai sanubarinya, maka hidupnya akan tenang dan nyaman. Jauh dari stress. Sebaliknya jika berlawanan, individu akan mejadi stress. Hubungan dengan orang lain jadi tidak nyaman, karena harus selalu melakukan kebohongan-kebohongan.

Dalam praktiknya, kebanyakan orang ingin cari aman. Jadi, kalau ada yang melenceng, mereka biasanya bicara di belakang. Tidak berani terang-terangan menegur atau bersuara. Selanjutnya, karena tak mau ribut, perilaku tidak jujur seseorang didiamkan saja, dan tidak ada sanksi. Sehingga, seolah mendapat reward. Perilaku curang itu diikuti orang lain bagai virus yang menjalar. Akibatnya, virus itu merasuk ke kepribadian setiap orang. Menjadi perilaku-perilaku curang, seperti mahasiswa menyontek, menyadur tanpa mengutip referensi. Pedagang menimbang dengan ukuran yang tidak benar. Politisi yang mengumbar janji, begitu dapat kursi lupa dengan janjinya. Suami, nikah diam-diam tanpa beritahu istri, atau mengaku perjaka Jadi, banyak contoh bahwa bangsa kita banyak tidak jujurnya. Karena itu, tak heran jika bangsa Indonesia menjadi bangsa terkorup nomer satu.

Diriwayatkan dalam Shahih Al-Bukhari dan Muslim dari Abu Hurairah radhiallahu 'anhu, bahwa Nabi bersabda: "Setiap amal yang dilakukan anak Adam adalah untuknya, dan satu kebaikan dibalas sepuluh kali lipatnya bahkan sampai tujuh ratus kali lipat. Allah Ta'ala berfirman, 'Kecuali puasa, itu untuk-Ku dan Aku yang langsung membalasnya. Ia telah meninggalkan syahwat, makan dan minumnya karena-Ku.' Orang yang berpuasa mendapatkan dua kesenangan, yaitu kesenangan ketika berbuka puasa dan kesenangan ketika berjumpa dengan Tuhannya. Sungguh, bau mulut orang berpuasa lebih harum daripada aroma kesturi."

Terkandung dalam hadis di atas penghargaan yang besar dari Allah kepada orang-orang yang berpuasa. Karena puasa itu mengandalkan kejujuran seseorang yang hanya diketahui oleh dirinya dan Tuhannya, maka Allah yang akan langsung membalasnya.

Dewasa ini nilai-nilai kejujuran kian menipis di masyarakat. Bahkan ada kenyataan, orang yang ingin menegakkan kejujuran justru mendapat perlawanan karena menghilangkan ”suatu kenikmatan” dari orang lain. Orang yang terbiasa menikmati buah ketidakjujuran, akan merasa terusik dengan ucapan seorang yang jujur. Karenanya tidak heran jika ada ungkapan, ”Kebenaran seringkali diperkosa oleh sikap diam.” Sebuah kebenaran menjadi sia-sia jika ia tidak diungkapkan. Sebuah bukti, fakta, tidak akan berkata apa-apa jika ia ditindas dan tidak diberi kesempatan menjadi saksi.

Bulan Ramadhan inilah suatu saat yang diberikan oleh Allah untuk membangkitkan kejujuran itu. Karena membangkitkan kejujuran bukanlah perkara mudah, maka Allah pun memberikan banyak reward (hadiah) kepada orang-orang yang belajar menjadi jujur melalui ibadah puasanya. Apakah kesempatan ini akan dilewatkan begitu saja oleh mayoritas penduduk di negri ini? Dan membiarkan negeri kita tetap terpuruk sebagai negara terkorup? Semoga tidak. Allahu a’lam. (Zainul Arifin/Pontianak)
Selengkapnya...

Kamis, 12 Juli 2012 1 komentar By: sanggar bunga padi

Kitalah yang Mengendalikan Makanan

Dalam beberapa hari ke depan, tepatnya tanggal 20 Juli 2012 akan tiba waktu bulan Ramadhan 1433 H. Berarti dalam beberapa hari ini ke depan akan kita saksikan ritual-ritual tradisi di masyarakat berkenaan dengan penyambutan Ramadhan yang beraneka ragam. Pada intinya, semua ingin melakukan pembersihan ruhani agar masuk ke bulan suci Ramadhan dengan hati yang bersih dan bersiaga melaksanakan seluruh amal ibadah dengan sebaik-baiknya.

Pembersihan ruhani tidak bisa dilakukan secara kasat mata. Maka yang dilakukan adalah simbolisasi dari pembersihan itu dengan misalnya: mandi bersih secara ramai-ramai di suatu sungai atau danau. Juga di kolam renang umum. Yang lain datang berziarah kubur, membersihkan kubur sanak keluarga yang telah mendahului, berdoa untuk arwah mereka, seolah-olah membersihkan diri sendiri sebelum memasuki masa penyucian dosa di bulan Ramadhan dan sebelum menyusul ke alam baka. Atau mereka merasa perlu meminta maaf kepada sanak keluarga yang telah wafat itu akan kealpaan berziarah dan berdoa untuk mereka selama setahun yang lalu. Dengan demikian perasaan menjadi lega dan lapang. Meski hal ini tidak ada kaitannya sama sekali dengan kehadiran bulan Ramadhan.

Menjelang berakhirnya bulan Sya’ban ini, sesungguhnya yang terpenting bagi kita kaum muslimin adalah membajakan niat untuk benar-benar melaksanakan puasa Ramadhan secara sempurna. Kita berancang-ancang untuk mengakhiri pembicaraan-pembicaraan yang tidak bermanfaat, apalagi yang bersifat mengandung salah dan dosa. Jika hal ini tidak kita persiapkan benar-benar, bisa-bisa kebiasaan buruk itu akan tetap berlangsung selama bulan Ramadhan. Kalau hal itu terjadi, kata Rasulullah, untuk apa kita berpuasa?

Bukankah sudah sangat populer sabda Nabi Muhammad yang menceritakan bahwa pada suatu hari Rasulullah SAW mendengar seorang perempuan sedang memaki-maki jariyah (budak) kepunyaannya, padahal perempuan itu sedang berpuasa. Nabi mengambil makanan dan berkata kepadanya, ”Makanlah!” Perempuan itu berkata, ”Saya sedang berpuasa ya, Rasululllah.” Kata Nabi, “Bagaimana mungkin engkau berpuasa, padahal telah kau maki jariyah-mu. Puasa bukan hanya menahan makan dan minum saja. Allah telah menjadikan puasa sebagai penghalang – selain dari makan dan minum – juga dari hal-hal tercela, perbuatan atau perkataan yang merusak puasa. Alangkah sedikitnya yang puasa, alangkah banyaknya yang lapar.”

Tatkala kita melaksanakan puasa Ramadhan, sejatinya kita sedang melaksanakan dua hal : pertama, menahan diri dari segala sesuatu yang merusak, kedua, bahwa kita melakukan hal itu adalah dengan maksud mendekatkan diri kepada Allah. (Al-imsak ‘anil-mufthirat al-ma’hudat bi qashdi qurbah). Demikian defini puasa menurut para ahli fiqh.

Di dunia ini, ada orang yang tidak imsak ‘an dan imsak bi. Ia tidak dapat menahan diri dan tidak pula punya pegangan dalam mengarahkan kehidupannya. Orang ini hidup dalam kehampaan makna (nihilis). Dalam ekspresi sehari-hari dapat berupa pemujaan kepada kesenangan duniawi semata dan tidak percaya adanya kehidupan akhirat dan bersikap .

Puasa Ramadhan akan melatih kaum muslim mencerahkan ruhani dan akal budinya. Dengan cara menahan diri dari segala sesuatu yang merusak dan semua itu dilakukan semata karena mengharap ridlo dari Allah SWT. Dengan berpuasa, kita mengembalikan harkat kemanusiaan kita yang lebih mulia dari segala yang ada di dunia ini sebagai makhluk ciptaan Allah. Kitalah yang mengendalikan harta, bukan harta mengendalikan kita. Kitalah yang mengendalikan makanan, bukan makanan yang mengendalikan kita. Insya Allah.(Zainul Arifin/Pontianak)
Selengkapnya...

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...