Selasa, 24 Mei 2011 By: sanggar bunga padi

Kantring Genjer-Genjer [dari kitab kuning sampai komunis] bagian 15

Oleh: TEGUH WINARSHO AS *
Beberapa hari kemudian Soeharto mengutus Yoga untuk menemui Mayjen S. Parman untuk menyampaikan pesannya agar hati-hati karena ada isu penculikan para Jendral. Tapi Parman tidak serius menanggapi saran Yoga karena masih hanya sebatas isu. Motivasi Soeharto sebenarnya hanya ingin tahu bagaimana reaksi Parman yang dekat dengan Yani. Soeharto perlu tahu sejauh mana antisipasi Parman dan tentu saja Yani, jika penculikan itu benar-benar dilakukan. Soeharto kemudian menyimpulkan bahwa baik Parman maupun Yani tak melakukan antisipasi apa-apa. Ini artinya rencana melakukan gerakan penculikan dengan memanfaatkan Kolonel Latief dan kelompok Letkol Oentoeng belum tercium oleh kelompok Dewan Jendral….”

“Maaf, kupotong! Sejak tadi aku belum mendengar keterlibatan Latief? Kenapa tiba-tiba dia muncul?” tanyaku bersemangat. Lasmi menghela napas. Aku tidak tahu apakah ia kecewa karena ucapannya kupotong.

“Ini ceritanya panjang. Tapi baiklah. Soeharto kembali menjalin hubungan dengan dua sahabat lamanya, yakni Letkol Oentoeng dan Kolonel Abdul Latief. Oentoeng anak buah Soeharto ketika masih menjabat Panglima Divisi Diponegoro, Jawa Tengah. Oentoeng dikenal sebagai prajurit gagah berani dan loyal pada atasan. Dalam karier selanjutnya Oentoeng dianugrahi Bintang Penghargaan oleh Presiden kemudian diangkat sebagai salah satu komandan Batalyon Kawal Istana Cakra Bhirawa. Soeharto yang sudah menjadi Pangkostrad diam-diam kecewa karena ia ingin merekrut Oentoeng ke Kostrad dijadikan anak buahnya. Tapi di kemudian hari kekecewaan Soeharto menjadi buah manis karena Oentoeng berada di wilayah strategis untuk merebut kekuasaan. Mulai saat itu Soeharto kembali mendekati Oentoeng. Soeharto yang seorang komandan bahkan rela datang ke acara resepsi pernikahan Oentoeng di Kebumen. Soeharto datang bersama istrinya dengan menggunakan transportasi darat yang tentu saja sangat jauh dan melelahkan.

Latief juga bekas anak-buah Soeharto di Divisi Diponegoro. Latief tentara pemberani dan tangguh dalam menghadapi musuh. Ini dibuktikan ketika memimpin pasukan mengusir belanda dari Yogya. Saat itu pasukan Latief kocar-kacir digempur serangan balik pasukan Belanda yang dahsyat. Sambil memerintahkan pasukannya mundur, Latief terus memberi perlawanan sengit. Setelah berada di garis belakang, Latief memeriksa sisa pasukannya. Ternyata tinggal sepuluh orang. Pada saat itulah Latief dan sisa pasukannya bertemu Soeharto sedang makan soto babat di sebuah warung di saat ribuan tentara dan pemuda gerilyawan sedang bertaruh nyawa mengusir penjajah. Dengan sikap seorang Prajurit sejati Latief melapor kepada Soeharto sebagai komandan semua pasukan tentang kondisi pasukannya. Soeharto langsung memerintah Latief untuk kembali bertempur menggempur Belanda yang ada di sekitar Kuburan Kuncen, tak jauh dari mereka. Soeharto tak menawari sekedar makan atau minum.

Setelah itu Soeharto dan Latief pisah. Soeharto menjadi Pangkostrad. Latief menjadi Komandan Brigade Infanteri I Jaya Sakti, Kodam Jaya. Tapi karena Soeharto melihat jabatan Latief sangat strategis yaitu menjaga keamanan Jakarta yang nantinya akan memudahkan jalan menuju Istana, ia kembali membina hubungan baik dengan Latief. Soeharto dan istrinya juga datang ke rumah Latief untuk menjenguk anak Latief yang sedang dikhitan.” Lasmi berhenti. Melepas ikatan rambutnya. Sebagian rambutnya tergerai jatuh di depan wajahnya.

“Artinya hubungan Soeharto, Latief dan Oentoeng sangat dekat?”
“Ya. Dua minggu yang lalu Latief menemui Soeharto memberi tahu tentang isu kudeta Dewan Jendral yang sudah beredar kemana-mana. Soeharto sudah tahu hal itu. Oentoeng juga mendatangi Soeharto. Dan seperti yang sudah kuceritakan di awal tadi, Oentoeng ingin mendahului gerakan Dewan Jenderal dengan menculik mereka. Soeharto mendukung penuh rencana Oentoeng dengan mengirim bantuan pasukan dari Jawa Tengah dan Jawa Timur. Tapi sebagian besar adalah pasukan Soeharto yang ada di daerah-daerah dan Kostrad.

Tadi malam sekitar pukul sebelas, Latief kembali menemui Soeharto. Latief lapor kalau penculikan akan dilaksanakan pukul empat pagi. Saat itu kamu sudah berkumpul di dekat Monas. Setelah menghadap Soeharto, Latief menemui Oentoeng dan Brigjen Soepardjo. Latief bilang Soeharto tetap mendukung. Lalu kamu bergerak. Persis jam empat pagi….” Lasmi menguap sebelum mengakhiri pembicaraannya. Mungkin ia sudah ngantuk. Kulihat matanya merah.

“Terus siapa mengkhianati siapa?” Aku penasaran menunggu Lasmi belum membuka mulutnya.
Lasmi meraih selimut untuk menutupi kedua kakinya yang berselonjor di ranjang. “Tadi pagi Presiden cemas luar biasa mendengar laporan penculikan para Jendral. Sepertinya Presiden belum tahu kalau kita sudah menghabisi para jendral. Siang tadi Presiden mengeluarkan instruksi melalui radiogram ke markas besar ABRI dari pangkalan udara Halim, isinya:

Agar semua pihak tenang.
Semua pasukan stand-by di posisinya masing-masing.
Semua pasukan hanya boleh bergerak atas perintah Presiden selaku Panglima Tertinggi ABRI.
Hindari pertumpahan darah.

Instruksi itu membuat Soeharto ketakutan. Soeharto tidak menduga Presiden mengutuk keras gerakan penculikan dan pembunuhan para Jenderal. Di sini Soeharto berbalik arah. Ia ingin menjadi pahlawan makanya kemudian memberi perintah anak buahnya menangkap Oentoeng dan kawan-kawan yang terlibat peristiwa semalam. Tentu saja Oentoeng bingung karena sebelumnya ia sudah lapor pada Soeharto soal niatnya menangkap Dewan Jenderal. Soeharto mendukung semua rencana Oentoeng bahkan memberi bantuan pasukan. Tapi setelah anggota Dewan Jenderal kita habisi Soeharto balik menggempur kita dan menuduh gerakan ini didalangi PKI. Soeharto kemudian bilang bahwa Dewan Jenderal memang ada. Katanya dia termasuk salah satu anggotanya. Tapi itu hanya dewan yang mengurus kepangkatan, bukan untuk kudeta. Huh! Memuakkan sekali. Sekarang kita pasti sedang diincar untuk dihabisi!”

Aku ingin berkata-kata tapi tiba-tiba kepalaku terasa berat. Ada sesuatu yang terus bergemuruh di dadaku.

“Semalam Aidit diambil paksa dari rumahnya di Brebes lalu dihabisi. Tentu agar Aidit tak bisa membantah keterlibatan PKI. Padahal menurutku gerakan ini murni konspirasi beberapa perwira AD yang haus kekuasaan. Dibekengi Amerika. Omong kosong jika peralatan tempur Siaga I yang didatangkan dari Surabaya dan Semarang untuk peringatan hari ABRI 5 Oktober. Tapi aku mendengar kabar itu mulai dihembus-hembuskan. Itu rekayasa fiktif yang menyesatkan. Kita telah menjadi korban konspirasi busuk para perwira AD yang tak sabar merebut kekuasaan dengan cara apa pun. Dan kita tinggal menunggu giliran….” Suara Lasmi terdengar semakin lemah. Leher jenjangnya seperti sudah tidak kuat menahan beban berat kepalanya. Berkali-kali ia menguap dan menggosok-gosok mata. Dari kejauhan sesekali masih terdengar sirene meraung-raung. Juga suara tembakan. (bersambung)

*) TEGUH WINARSHO AS, lahir di Kulonprogo, Yogyakarta, 27 Desember. Buku-bukunya yang sudah terbit, kumpulan cerpen Bidadari Bersayap Belati (Gamamedia, 2002), Perempuan Semua Orang (Arrus, 2004), Kabar dari Langit (Assyamil, 2004), Tato Naga (Grasindo, 2005), dan novel: Tunggu Aku di Ulegle, roman dan tragedi di bumi serambi mekah (Bening Publishing, 2005), Jadikan Aku Pacar Gelapmu (Arrus, 2006). Novelnya: Di Bawah Hujan dimuat bersambung di harian sore Suara Pembaruan (2000), Orang-Orang Bertopeng dimuat di Sinar Harapan (2002), Purnama di Atas Jakarta dimuat Republika (2005). Kini mengibarkan bendera dengan nama penerbitan Lafal Indonesia.

0 komentar:

Posting Komentar

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...