Oleh: TEGUH WINARSHO AS *
Lasto menghuni sel sempit ukuran tiga kali empat bersama delapan napi lain yang rata-rata terlibat kasus pencurian. Tapi baru beberapa jam berada di dalam sel, petugas Kodim datang menyuruh Lasto dan empat napi lainnya untuk naik ke dalam truk. “Kalau kowe semua mau cepat bebas, nggak usah macam-macam! Turuti saja semua dari pada perintahku, ngerti?!” kata petugas Kodim mengancam. “Kowe semua disuruh kerja bakti!”
Lasto menghuni sel sempit ukuran tiga kali empat bersama delapan napi lain yang rata-rata terlibat kasus pencurian. Tapi baru beberapa jam berada di dalam sel, petugas Kodim datang menyuruh Lasto dan empat napi lainnya untuk naik ke dalam truk. “Kalau kowe semua mau cepat bebas, nggak usah macam-macam! Turuti saja semua dari pada perintahku, ngerti?!” kata petugas Kodim mengancam. “Kowe semua disuruh kerja bakti!”
Dengan kawalan ketat dari petugas Kodim, Lasto dan delapan napi lainnya dibawa ke hutan bukit Cuwuk. Lasto yang sudah sering keluar masuk hutan bukit Cuwuk kaget. Hutan itu rimbun dan angker. “Kowe semua harus bikin lubang di sini yang besar-besar dan dalam-dalam. Nanti mau kita buat dari pada menanam pohon jati dan kelapa. Jangan banyak cingcong atau kowe semua mau di penjara sampai modar! Awas kalau kerja dari pada kowe semua lamban. Sebelum sore nanti kerja kowe semua harus sudah selesai! Cepat kerjaken!!”
Meski merasa aneh tapi Lasto dan delapan napi lainnya segera bekerja. Sekitar pukul dua siang mobil truk dari Kodim datang mengangkut sekitar empat puluh orang cantrik Ki Sangir. Para cantrik Ki Sangir yang biasanya terlihat garang, tiba-tiba tak berkutik berhadapan dengan lima belas tentara bersenjata senapan laras panjang.
Mereka disuruh berdiri berjejer. “Jadi benar kalian semua adalah cantrik Ki Sangir?” tanya seorang petugas Kodim.
“Benarrr!!” jawab para cantrik serempak.
“Terus mana teman kalian lainnya? Mana Ki Sangir?”
“Mereka kabur, Pak! Takut!” jawab salah seorang cantrik.
“Baiklah, karena hari sudah sore aku mau tanya sekali lagi sama kalian semua, apakah kalian semua benar bukan PKI?”
“Benar, Pak! Kyai Barnawi yang memfitnah kami!”
“Bagus. Sekarang kalian nyanyikan lagu genjer-genjer. Setelah itu kalian boleh pergi. Kalian hapal lagu genjer-genjer kan?”
“Hapaall!” Para cantrik menjawab serempak, senang. Mereka kemudian mulai menyanyi dengan penuh semangat dan kegembiraan. Pada saat bersamaan diam-diam tentara dari Kodim mulai mengokang senapan. Begitu para cantrik selesai menyanyi, tentara Kodim serempak mengangkat senapan dan sejurus kemudian ratusan peluru muntah berlesatan mengahjar para cantrik. Tubuh para cantrik sesaat terpental lalu menggelinding ke lubang yang baru dibuat Lasto dan delapan napi lainnya. Lasto gemetar. Ayah dan dua kakak laki-lakinya ada di antara mereka. Mereka baru satu bulan menjadi cantrik Ki Sangir. Tapi ternyata ada salah satu istri Ki Sangir yang tak mempan oleh berondongan peluru. Dua orang tentara dari Kodim akhirnya membabat leher perempuan itu dengan pedang, tapi pedang mereka justru patah. Tiga tentara ikut membantu, tapi lagi-lagi pedang dan golok mereka patah. Kesabaran mereka habis. Mereka kemudian mengikat tangan dan kaki perempuan itu lalu dilempar ke dalam lubang. Seorang anggota Kodim segera menyuruh Lasto dan delapan napi lain untuk menimbun lubang.
Lasto berusaha tegar, meski akhirnya tak kuat menahan air matanya tumpah saat harus menimbun ayahnya sebab mata ayahnya masih berkedip-kedip. Mulutnya bergerak-gerak. “Lasto… aku belum mau mati… belum mau mati…” ucap ayah Lasto napasnya mengerjat. Lehernya lubang tertembus peluru. Tubuh Lasto bergetar hebat melihat ayahnya sekarat. Lasto berhenti menimbun. Tapi tiba-tiba seorang anggota Kodim datang memukul pelipis Lasto dengan senapan. “Cepatt! Atau kowe sendiri yang kudorr! Setelah selesai tanami pohon singkong!”
Nasib santri Kyai Barnawi berbeda lagi. Beberapa saat setelah Lasto lapor ke Kodim, pasukan dari Kodim datang ke Panjen untuk mengecek kebenaran laporan Lasto sekaligus mengantisipasi keadaan. Saat itu Santri Kyai Barnawi dan cantrik Ki Sangir sudah saling bantai membantai di padepokan. Potongan kepala, kaki, tangan, dada bergelimpangan di mana-mana. Tapi secara umum santri Kyai Barnawi kalah bertempur di kandang lawan. Mereka yang masih selamat kabur menyelamatkan diri. Anggota Kodim menyaksikan pembantaian itu dari kejauhan. Mereka hanya diam saja dan baru bergerak setelah santri Kyai Barnawi lari kocar-kacir. Saat anggota Kodim datang ke padepokan, beberapa cantrik Ki Sangir dan Ki Sangir lari sembunyi. Mereka hanya berhasil menciduk sekitar empat puluh cantrik yang kemudian dihabisi di hutan bukit Cuwuk.
Sehari kemudian beberapa santri Kyai Barnawi mengajak penduduk Gelang, Kawul, Loba, Pangetan dan beberapa dusun di sekitar Panjen memburu anak buah Ki Sangir yang masih hidup. Dibantu aparat Kodim mereka berhasil menghasut penduduk bahwa kelompok Ki Sangir adalah PKI. Akhirnya satu per satu cantrik Ki Sangir berhasil mereka tangkap dan sembelih. Sebagian digantung untuk peringatan bagi yang lain. Juga anggota keluarganya. Mayat mereka dibuang ke jurang bukit Cuwuk, sebagian dihanyutkan di kali. Sejak itu dusun Panjen sepi. Penduduk banyak yang pergi meninggalkan rumah. Mereka takut disembelih sebab sebagian besar pernah menjadi cantrik Ki Sangir. Kabarnya Ki Sangir masih hidup. Entah di mana dia sembunyi.
TUJUH
INI hari keenam aku berada di dusun Panjen, Ibu. Aku datang membawa cita-citamu. Tapi aku hanya ketemu iblis cantik yang memperkosaku pada suatu malam dan laki-laki tua pengangkut batu yang kemarin sore nyawanya meregang, mati. Kini aku benar-benar hanya sendiri. Seseorang telah menusuk perut laki-laki tua itu dengan sangkur sebelum kutemukan lima hari lalu meringkuk di bawah pohon sawo depan rumah di antara rumput ilalang setinggi pusar. Ia banyak bercerita padaku. Tapi kini tak akan ada lagi cerita dari mulutnya.
Dan aku harus segera pergi, Ibu. Meninggalkan dusun Panjen dan juga segenap kenanganku padamu. Cerita yang dituturkan laki-laki tua pengangkut batu membuatku miris. Sesuatu buruk bisa menimpaku di sini. Kapan saja. Orang-orang tahu aku anak Ki Sangir yang sedang mereka cari untuk disembelih atau digantung. Dan aku sendiri? Nasibku tak lebih baik dari Ki Sangir. Dua bulan aku sembunyi berpindah-pindah sebelum akhirnya sampai di sini. Tapi ke mana lagi aku harus sembunyi, Ibu. Di mana tempat yang aman buatku? Sampai kapan aku harus sembunyi? Beberapa temanku sudah mati ditembak. (bersambung)
*) TEGUH WINARSHO AS, lahir di Kulonprogo, Yogyakarta, 27 Desember. Buku-bukunya yang sudah terbit, kumpulan cerpen Bidadari Bersayap Belati (Gamamedia, 2002), Perempuan Semua Orang (Arrus, 2004), Kabar dari Langit (Assyamil, 2004), Tato Naga (Grasindo, 2005), dan novel: Tunggu Aku di Ulegle, roman dan tragedi di bumi serambi mekah (Bening Publishing, 2005), Jadikan Aku Pacar Gelapmu (Arrus, 2006). Novelnya: Di Bawah Hujan dimuat bersambung di harian sore Suara Pembaruan (2000), Orang-Orang Bertopeng dimuat di Sinar Harapan (2002), Purnama di Atas Jakarta dimuat Republika (2005). Kini mengibarkan bendera dengan nama penerbitan Lafal Indonesia.
Meski merasa aneh tapi Lasto dan delapan napi lainnya segera bekerja. Sekitar pukul dua siang mobil truk dari Kodim datang mengangkut sekitar empat puluh orang cantrik Ki Sangir. Para cantrik Ki Sangir yang biasanya terlihat garang, tiba-tiba tak berkutik berhadapan dengan lima belas tentara bersenjata senapan laras panjang.
Mereka disuruh berdiri berjejer. “Jadi benar kalian semua adalah cantrik Ki Sangir?” tanya seorang petugas Kodim.
“Benarrr!!” jawab para cantrik serempak.
“Terus mana teman kalian lainnya? Mana Ki Sangir?”
“Mereka kabur, Pak! Takut!” jawab salah seorang cantrik.
“Baiklah, karena hari sudah sore aku mau tanya sekali lagi sama kalian semua, apakah kalian semua benar bukan PKI?”
“Benar, Pak! Kyai Barnawi yang memfitnah kami!”
“Bagus. Sekarang kalian nyanyikan lagu genjer-genjer. Setelah itu kalian boleh pergi. Kalian hapal lagu genjer-genjer kan?”
“Hapaall!” Para cantrik menjawab serempak, senang. Mereka kemudian mulai menyanyi dengan penuh semangat dan kegembiraan. Pada saat bersamaan diam-diam tentara dari Kodim mulai mengokang senapan. Begitu para cantrik selesai menyanyi, tentara Kodim serempak mengangkat senapan dan sejurus kemudian ratusan peluru muntah berlesatan mengahjar para cantrik. Tubuh para cantrik sesaat terpental lalu menggelinding ke lubang yang baru dibuat Lasto dan delapan napi lainnya. Lasto gemetar. Ayah dan dua kakak laki-lakinya ada di antara mereka. Mereka baru satu bulan menjadi cantrik Ki Sangir. Tapi ternyata ada salah satu istri Ki Sangir yang tak mempan oleh berondongan peluru. Dua orang tentara dari Kodim akhirnya membabat leher perempuan itu dengan pedang, tapi pedang mereka justru patah. Tiga tentara ikut membantu, tapi lagi-lagi pedang dan golok mereka patah. Kesabaran mereka habis. Mereka kemudian mengikat tangan dan kaki perempuan itu lalu dilempar ke dalam lubang. Seorang anggota Kodim segera menyuruh Lasto dan delapan napi lain untuk menimbun lubang.
Lasto berusaha tegar, meski akhirnya tak kuat menahan air matanya tumpah saat harus menimbun ayahnya sebab mata ayahnya masih berkedip-kedip. Mulutnya bergerak-gerak. “Lasto… aku belum mau mati… belum mau mati…” ucap ayah Lasto napasnya mengerjat. Lehernya lubang tertembus peluru. Tubuh Lasto bergetar hebat melihat ayahnya sekarat. Lasto berhenti menimbun. Tapi tiba-tiba seorang anggota Kodim datang memukul pelipis Lasto dengan senapan. “Cepatt! Atau kowe sendiri yang kudorr! Setelah selesai tanami pohon singkong!”
Nasib santri Kyai Barnawi berbeda lagi. Beberapa saat setelah Lasto lapor ke Kodim, pasukan dari Kodim datang ke Panjen untuk mengecek kebenaran laporan Lasto sekaligus mengantisipasi keadaan. Saat itu Santri Kyai Barnawi dan cantrik Ki Sangir sudah saling bantai membantai di padepokan. Potongan kepala, kaki, tangan, dada bergelimpangan di mana-mana. Tapi secara umum santri Kyai Barnawi kalah bertempur di kandang lawan. Mereka yang masih selamat kabur menyelamatkan diri. Anggota Kodim menyaksikan pembantaian itu dari kejauhan. Mereka hanya diam saja dan baru bergerak setelah santri Kyai Barnawi lari kocar-kacir. Saat anggota Kodim datang ke padepokan, beberapa cantrik Ki Sangir dan Ki Sangir lari sembunyi. Mereka hanya berhasil menciduk sekitar empat puluh cantrik yang kemudian dihabisi di hutan bukit Cuwuk.
Sehari kemudian beberapa santri Kyai Barnawi mengajak penduduk Gelang, Kawul, Loba, Pangetan dan beberapa dusun di sekitar Panjen memburu anak buah Ki Sangir yang masih hidup. Dibantu aparat Kodim mereka berhasil menghasut penduduk bahwa kelompok Ki Sangir adalah PKI. Akhirnya satu per satu cantrik Ki Sangir berhasil mereka tangkap dan sembelih. Sebagian digantung untuk peringatan bagi yang lain. Juga anggota keluarganya. Mayat mereka dibuang ke jurang bukit Cuwuk, sebagian dihanyutkan di kali. Sejak itu dusun Panjen sepi. Penduduk banyak yang pergi meninggalkan rumah. Mereka takut disembelih sebab sebagian besar pernah menjadi cantrik Ki Sangir. Kabarnya Ki Sangir masih hidup. Entah di mana dia sembunyi.
TUJUH
INI hari keenam aku berada di dusun Panjen, Ibu. Aku datang membawa cita-citamu. Tapi aku hanya ketemu iblis cantik yang memperkosaku pada suatu malam dan laki-laki tua pengangkut batu yang kemarin sore nyawanya meregang, mati. Kini aku benar-benar hanya sendiri. Seseorang telah menusuk perut laki-laki tua itu dengan sangkur sebelum kutemukan lima hari lalu meringkuk di bawah pohon sawo depan rumah di antara rumput ilalang setinggi pusar. Ia banyak bercerita padaku. Tapi kini tak akan ada lagi cerita dari mulutnya.
Dan aku harus segera pergi, Ibu. Meninggalkan dusun Panjen dan juga segenap kenanganku padamu. Cerita yang dituturkan laki-laki tua pengangkut batu membuatku miris. Sesuatu buruk bisa menimpaku di sini. Kapan saja. Orang-orang tahu aku anak Ki Sangir yang sedang mereka cari untuk disembelih atau digantung. Dan aku sendiri? Nasibku tak lebih baik dari Ki Sangir. Dua bulan aku sembunyi berpindah-pindah sebelum akhirnya sampai di sini. Tapi ke mana lagi aku harus sembunyi, Ibu. Di mana tempat yang aman buatku? Sampai kapan aku harus sembunyi? Beberapa temanku sudah mati ditembak. (bersambung)
*) TEGUH WINARSHO AS, lahir di Kulonprogo, Yogyakarta, 27 Desember. Buku-bukunya yang sudah terbit, kumpulan cerpen Bidadari Bersayap Belati (Gamamedia, 2002), Perempuan Semua Orang (Arrus, 2004), Kabar dari Langit (Assyamil, 2004), Tato Naga (Grasindo, 2005), dan novel: Tunggu Aku di Ulegle, roman dan tragedi di bumi serambi mekah (Bening Publishing, 2005), Jadikan Aku Pacar Gelapmu (Arrus, 2006). Novelnya: Di Bawah Hujan dimuat bersambung di harian sore Suara Pembaruan (2000), Orang-Orang Bertopeng dimuat di Sinar Harapan (2002), Purnama di Atas Jakarta dimuat Republika (2005). Kini mengibarkan bendera dengan nama penerbitan Lafal Indonesia.
0 komentar:
Posting Komentar