Sabtu, 14 Mei 2011 By: sanggar bunga padi

Kantring Genjer-Genjer [dari kitab kuning sampai komunis] bagian 11

Oleh: TEGUH WINARSHO AS *

Dua santri yang disebut namanya itu kemudian memain-mainkan pedang sepanjang satu meter. Tampak batang pedang yang berkilau tajam berkelabat-kelebat di udara, sesekali berputar-putar seperti baling-baling kipas angin, lalu melesat ke atas sebelum ditangkap lagi dengan gerak tangan yang tangkas cekatan. Begitu berulang-ulang. Kyai Barnawi bangga dan kagum. Beberapa cantrik Sadikin diam-diam juga kagum melihat pertunjukkan itu. Tapi ada seorang cantrik yang teramat sangat-sangat ketakutan, kawatir pedang itu terlempar keras mengenai kelaminnya. “Wah…wah.. kalau begini carane aku benar-benar bisa nguyuh di sini. Kalau sampean semua pada isin mengakui kalah, biar aku sing ngomong. Lha wong wis kepepet begini kok isih arep sombong….”

Cantrik itu tiba-tiba memegangi kelaminnya sambil berjalan tertatih-tatih ke arah Kyai Barnawi. “Nyuwun pangapunten, Kyai. Saya mewakili konco-konco dari padepokan mengikhlaskan bangkai Sadikin ditinggal di sini. Sekarang juga saya dan konco-konco pamit pulang…” Habis berkata begitu ia lari terbirit-birit keluar ruangan. Para cantrik lain mengikuti keluar ruangan dengan wajah geram sambil uring-uringan. “Lonte! Cecunguk satu itu yang ada di kepalanya cuma kenthu!”

Kyai Barnawi tertawa terbahak-bahak, tapi tiba-tiba berhenti saat sadar tiga puluh santri lebih yang tadi berpakaian putih-putih mendadak lenyap. Ruangan kembali lengang. Jadi…? Kyai Barnawi sesaat tertegun baru sadar semua santrinya sedang mengaji di surau. Dari sana sayup-sayup terdengar kumandang para santri membaca terjemahan ayat suci: “…Allah! Ora ana pengeran kejaba mung Panjenengane kang sugeng abadi lan kang jumeneng pribadi. Ora ngantuk lan ora sare kabeh kang ana ing langit, kabeh kang ana ing bumi iku kagungane Allah. Ora ana kang bisa aweh pitulung ana ing ngersaning Allah kejaba kanthi idzine. Panjenengane maha pirsa marang apa bae kang ana ing ngarepe wong-wong mau lan apa bae ana ing samburine (sakdurunge dumadi lan sawise dumadi). Lan sethithik bae wong-wang mau ora bisa nguasani ilmune Allah, kejaba ilmu kang pancen wis dikersakake dening Allah (kaparingake marang wong mau). Kerajaane Allah iku jembare nyakup langit lan bumi. Ngreksa langit lan bumi iku ora angel tumrape Panjenengane Allah. Panjenengane iku maha luhur lan maha agung…

Kabar kematian Sadikin diam-diam disambut senang Ki Sangir. Tapi di depan para cantrik ia tetap menunjukkan rasa bela sungkawa yang dalam. Ia menyingkir duduk sendiri dengan wajah murung sedih. Tapi sesungguhnya ia sedang memikirkan padepokan peninggalan Sadikin yang mutlak menjadi miliknya. Sementara itu para cantrik yang baru pulang dari tempat Kyai Barnawi masih uring-uringan. Mereka tidak hanya kesal karena tak bisa membawa pulang bangkai Sadikin, tapi juga terhina di hadapan tiga puluh santri Kyai Barnawi yang mengepung membawa pedang.

Empat orang cantrik tiba-tiba mendatangi Ki Sangir yang duduk seorang diri di pojok pendopo. Sudah setengah jam lebih Ki Sangir duduk di situ. Empat cantrik yang baru datang itu kelihatan takut-takut tapi akhirnya sampai juga mereka di depan Ki Sangir dan salah seorang membuka mulutnya, berkata. “Maaf, Ki, bukan maksud kami mengganggu panjenengan yang sedang berduka cita, tapi kami mau minta petunjuk kira-kira apa yang harus kami lakukan pada Kyai Barnawi? Sebab mayat Sadikin sampai sekarang masih di sana. Apa panjenengan membolehkan saya dan para cantrik merebut mayat Sadikin untuk dibawa ke padepokan?”

Ki Sangir mengangkat wajahnya menatap cantrik itu. Ia bukannya menjawab tapi justru bertanya. “Tolong ceritakan seperti apa kematian Sadikin? Apa mata Sadikin melotot dan mulutnya peyot?”
Sesaat para cantrik terdiam, tapi seseorang kemudian angkat suara. “Dua jam lebih Sadikin koma di depan Kyai Barnawi. Ketika siuman Kyai Barnawi menyuruh Sadikin membaca syahadat dan beberapa saat kemudian mati.”

“Syahadat? Sadikin tak tahu bacaan syahadat!”
“Kyai Barnawi yang menuntunnya…”

Ki Sangir mengangguk-angguk. Pandangannya tiba-tiba menerawang. Ada sesuatu yang kemudian benar-benar membuatnya gelisah. Ia teringat cerita yang pernah dituturkan gurunya perihal seorang laki-laki bernama Darmokusumo yang memiliki jimat kalimosodo. Setiap hari Darmokusumo mencari orang yang bisa menunjukkan jalan kematiannya. Tapi tak ada seorang pun di tanah Jawa yang sanggup. Darmokusumo yang saat itu masih memeluk agama Budha terkenal sangat sakti. Tapi akhirnya suatu hari ia bisa mati setelah mengucapkan dua kalimat syahadat. Cerita ini hampir sama dengan yang dialami Sadikin. Sadikin berkali-kali ingin mati tapi tak bisa. Ia baru bisa mati setelah dituntun Kyai Barnawi membaca syahadat. Atau… jangan-jangan Sadikin adalah jelmaan Darmokusumo? Tubuh Ki Sangir mendadak bergetar.

“Maaf, kenapa Ki Sangir hanya diam saja?”

Suara cantrik membuyarkan lamunan Ki Sangir. Ki Sangir tergeragap menarik napas dalam-dalam. Wajahnya kelihatan tegang. “Biarkan Sadikin diurus Barnawi. Untuk apa kita repot-repot? Oh.. ehm, maksudku kita sebaiknya lebih konsentrasi pada padepokan ini. Kita masih dalam suasana berkabung. Tidak baik bikin keributan dengan Barnawi. Hari ini juga Sadikin pasti langsung dikubur.”
“Tapi, Ki, para cantrik merasa dilecehkan Kyai Barnawi… ”
“Barnawi soal kecil. Ilmunya lebih rendah dari Sadikin. Dia pasti juga bisa mati dengan santetku. Oh…maksudku Barnawi bisa kita urus belakangan…”
“Maksud Ki Sangir?”

Ki Sangir terlihat gugup karena dua kali salah ngomong. Karena itu ia harus membayar mahal di hadapan empat cantriknya dengan, “Kita akan melakukan shalat gaib untuk Sadikin. Beri tahu cantrik lain untuk mempersiapkan diri. Kita shalat di pendopo!”

Tidak lama kemudian lima puluh orang lebih sudah berkumpul di pendopo. Wajah-wajah sedih dan berduka. Gelisah dan murung. Mereka duduk berjejer dari kiri ke kanan membentuk barisan shaf-shaf yang rapi. Tapi hanya lima orang yang sebelumnya wudhu. Dua orang tayamum. Sisanya tak melakukan keduanya bahkan lupa kalau masih pakai celana pendek dan kaos kutang. Keringat berleleran sebab habis memanjat pohon kelapa. Ki Sangir duduk di depan, menatap para cantrik di barisan shaf paling depan. Pandangan Ki Sangir terlihat diselimuti kabut tebal. “Baiklah, semuanya bersiap-siap. Kita akan melakukan shalat gaib untuk Sadikin biar arwahnya tidak gentayangan. Ingatlah semua kebaikan-kebaikan almarhum selama hidup biar shalat kita khusuk. Jangan ingat kepalanya yang tengkleng ke kiri dan kakinya yang pincang…” berkata begitu Ki Sangir membalik tubuhnya siap memulai shalat menjadi Imam. (bersambung)


*) TEGUH WINARSHO AS, lahir di Kulonprogo, Yogyakarta, 27 Desember. Buku-bukunya yang sudah terbit, kumpulan cerpen Bidadari Bersayap Belati (Gamamedia, 2002), Perempuan Semua Orang (Arrus, 2004), Kabar dari Langit (Assyamil, 2004), Tato Naga (Grasindo, 2005), dan novel: Tunggu Aku di Ulegle, roman dan tragedi di bumi serambi mekah (Bening Publishing, 2005), Jadikan Aku Pacar Gelapmu (Arrus, 2006). Novelnya: Di Bawah Hujan dimuat bersambung di harian sore Suara Pembaruan (2000), Orang-Orang Bertopeng dimuat di Sinar Harapan (2002), Purnama di Atas Jakarta dimuat Republika (2005). Kini mengibarkan bendera dengan nama penerbitan Lafal Indonesia.

1 komentar:

Bobby vaizZ mengatakan...

waduhhhh,,,harus baca mulai yang pertama nih..:((

telat nih aku tau kalo ada bacaan keren kayak gini di blog ini..
ok dah ...aku coba baca mulai awal ya..:D

Posting Komentar

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...