Senin, 09 Mei 2011 By: sanggar bunga padi

Kantring Genjer-Genjer [dari kitab kuning sampai komunis] bagian 7

Oleh: TEGUH WINARSHO AS *

Tubuhku masih gemetar meski aku telah selesai membaca tulisan tangan Ibu. Aku benar-benar kaget tidak menyangka Ibu menyimpan kisah hidup yang begitu menyedihkan. Ibuku yang memiliki paras cantik memang banyak diam sebab bisu. Tapi justru karena itu kemampuan menulisnya sebagai alat komunikasi sangat luar biasa, tidak dimiliki oleh perempuan lain di Panjen. Tiba-tiba aku teringat Kyai Barnawi. Laki-laki yang selalu bersurban putih dan tak pernah lepas dari rantai tasbih. Masa kecil hingga remajaku banyak kuhabiskan di pesantrennya. Dan..hmm laki-laki itu rupanya pernah menjadi suami Ibu. Oh… bagaimanakah jika aku sesungguhnya adalah darah dagingnya?


Dan… siapakah iblis cantik yang memperkosaku? Benarkah dia istri gaib Ki Sangir, Ayahku, yang diperolehnya setelah melakukan ritual sirnahangenti? Oh, Ibu, aku semakin tidak mengerti dengan semua ini. Padahal sebenarnya masih banyak cerita yang ingin kusampaikan padamu, meski mungkin kamu sudah tahu. Cerita yang kudapat dari seorang laki-laki tua pengangkut batu di hari ketiga sebelum malaikat maut datang mencabut nyawanya. Inilah cerita itu:

Sadikin gagal menjalankan rencana pertamanya. Ia tak berhasil membujuk Ki Sangir jalan-jalan ke lereng bukit Cuwuk. Akhirnya ia uring-uringan sendiri. Ki Sangir yang memiliki ilmu tinggi memang sudah membaca niat jahat di kepala Sadikin. Ki Sangir justru memilih semedhi di atas batu kali sebagai bagian dari ritual sirnahangenti yang rutin ia lakukan. Tapi rupanya itu hanya untuk mengalihkan perhatian Sadikin. Ritual sirnahangenti yang rutin ia lakukan bukan siang hari tapi malam hari. Begitu Sadikin pergi Ki Sangir cepat-cepat pulang ke rumah. Ki Sangir merasa sudah saatnya melenyapkan Sadikin sebelum ia sendiri yang menjadi korban. Untuk melakukannya ia hanya punya satu cara yaitu santet. Ki Sangir mulai mengingat-ingat ilmu santet yang pernah ia dapat dari Ki Jalakluto, gurunya, di lereng gunung Sranding, yaitu:
Mengumpulkan 1/2 ons paku, silet, pisau, gotri, jarum, timah dan potongan-potongan besi berkarat.
Menyiapkan kembang tujuh rupa, segenggam tanah, segelas air laut, tiga lembar daun jati kering, api dan kemenyan secukupnya.
Menyatukan benda-benda itu dalam satu wadah yang terbuat dari tanah.

Membaca mantra sebagai berikut: pati-pati geni lemah-lemah abang banyu-banyu segara ngumpula ing manah ingsun nggagrak kaya bledek mangsa mustaka sira ngampleh semplak jumplat-jumplit ngrambang kaya mayit balio-balio nang asal sira lemah abang jabang bayi! Dibaca sebelas kali tanpa menarik napas. Pada bacaan terakhir tusuklah berkali-kali gambar atau boneka orang yang dimaksud dengan sunduk lanang [salah satu daun kelapa yang jatuhnya menghujam tanah]. Rencana di atas memiliki tingkat keberhasilan 99%. Dari sepuluh orang yang pernah dicoba, sembilan orang mati sukses dengan mata mendelik, mulut peyot dan usus terburai. Hanya satu orang yang bertahan tapi seumur hidupnya gila.

Pesantren Kyai Barnawi akhirnya bisa berdiri megah menyaingi padepokan Sadikin. Santrinya mulai bertambah banyak tapi justru datang dari luar Panjen, seperti Kranji, Luwung, Srabeg, Kendang, Semplak, Granti dan beberapa dusun di pesisir selatan yang mayoritas penduduknya miskin dan bodoh. Kyai Barnawai menikah lagi dengan dua santri perempuannya setelah istri pertamanya meninggal hanya beberapa saat setelah ia minta izin menikah. Meski sedih tapi sedikit pun tak menghalangi niat Kyai Barnawi untuk melangsungkan pesta pernikahan, sebab menikah itu perintah agama. Wajib bagi yang sudah mampu. “Menikahlah kalian dan bikin anak sebanyak-banyaknya agar Islam kuat dan jaya! Apa artinya Soekarno, Hatta, Sahrir, Tomo, tanpa kehadiran para mujtahid yang berjuang tanpa pamrih? Bangsa ini masih terpuruk dalam cengkraman penjajah!” Begitu kata Kyai Barnawi di hadapan santrinya yang masih melajang.

“Satu istri cukup buat kalian kecuali kalian bisa bertindak adil seperti diriku. Menikah bukan semata urusan sahwat tapi mengarahkan keluarga menjadi sakinah mawadah warahmah menjadi keharusan seperti yang dituntunkan Rasulullah SAW. Wa min ayyaatii ankhalaqokum min anfusikum azwa waajaan litaskunuu ilaihaa wa ja’ala bainakum mawaddatan wa rokhmatan, inna fii dzalika laayyatin liqawmi yatafakkaruun.” Kyai Barnawi kemudian memberikan kriteria perempuan yang wajib dinikahi.
Limaalihaa [karena kekayaannya].
Linasabihaa [karena keturunannya].
Lijamaalihaa [karena kecantikannya], dan yang lebih penting dari semua itu,
Lidiinihaa [karena agamanya islam].

“Segera ambil perempuan-perempuan seperti itu menjadi pendamping kalian untuk memperbanyak keturunan sebelum orang-orang kafir memperdaya mereka menjadi domba gembala! Orang-orang kafir yang tak pernah rela sampai mereka tertawa terbahak-bahak melihat kehancuran Islam. Mereka akan terus menyebarkan misi busuk atas nama simpati kemanusiaan yang akan membuat hidup perempuan shalelah keblinger dan celaka dunia akhirat! Naudzubillah… Singsingkan lengan kalian untuk mengganyang mereka! Mulai detik ini kuhalalkan darah mereka tumpas di bumi nusantara!”

Tapi belum ada yang berubah setelah itu. Belum ada santri Kyai Barnawi yang menikah. Semua berjalan adem ayem hingga suatu hari seorang santri laki-laki bernama Mondir tertangkap basah memperkosa santri perempuan di kamar mandi. Mondir diarak keliling pesantren sebelum dihadapkan pada Kyai Barnawi. Tapi Mondir mengelak dituduh memperkosa. “Demi Allah Kyai, aku hanya menjalankan perintahmu. Bukankah Kyai bilang, aku disuruh mengambil perempuan-perempuan cantik dan shalehah untuk memperbanyak keturunan?” Suara Mondir bergetar wajahnya pucat. Kyai Barnawi mengelus dada berkali-kali istighfar. Duh, Gusti, apa yang salah dari ajaranku?
“Kyai, apa yang harus kita lakukan pada Mondir?” tanya seorang Santri tidak sabar. Meradang.
“Apakah kami boleh mengaraknya keliling Panjen?” (bersambung)

*) TEGUH WINARSHO AS, lahir di Kulonprogo, Yogyakarta, 27 Desember. Buku-bukunya yang sudah terbit, kumpulan cerpen Bidadari Bersayap Belati (Gamamedia, 2002), Perempuan Semua Orang (Arrus, 2004), Kabar dari Langit (Assyamil, 2004), Tato Naga (Grasindo, 2005), dan novel: Tunggu Aku di Ulegle, roman dan tragedi di bumi serambi mekah (Bening Publishing, 2005), Jadikan Aku Pacar Gelapmu (Arrus, 2006). Novelnya: Di Bawah Hujan dimuat bersambung di harian sore Suara Pembaruan (2000), Orang-Orang Bertopeng dimuat di Sinar Harapan (2002), Purnama di Atas Jakarta dimuat Republika (2005). Kini mengibarkan bendera dengan nama penerbitan Lafal Indonesia.

0 komentar:

Posting Komentar

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...