Oleh: TEGUH WINARSHO AS *
Tapi seseorang di barisan shaf kedua tiba-tiba bersuara saat melihat Ki Sangir mulai mengangkat tangannya untuk takbiratul ikhram. “Maaf, Ki, bukankah arah kiblat di barat? Kenapa kita menghadap ke timur?”
“Betul, Ki. Kita salah arah!”
Ki Sangir gugup, urung takbiratul ikhram. Tapi bukan Ki Sangir kalau tak bisa segera menguasai keadaan. “Ingsun wujudhing Pangeran sejati, senadyan sira kabeh ngaturana ing Pangeran kang sejati, namun ingsun ngendika ora, mangsa kalakon yekti! Ingat baik-baik ajaran itu! Aku menghadap ke timur, maka kalian semua juga harus menghadap ke timur. Jangan mbalela dan banyak bacot! Sekarang kita mulai. Allahu akbar. Bismillahirrahmanirrahiim….” Suara Ki Sangir lantang berkumandang di penjuru pendapa padepokan. Di belakangnya para cantrik khusuk mengikuti apa yang dilakukan Ki Sangir. Mereka shalat sambil duduk bersila. Tapi ada yang sikut-sikutan sebab terlalu rapat, sesak, setelah kedatangan sepuluh cantrik yang baru pulang dari menggembala kerbau. “Kere! Sampean adhus dhisit kono. Awake sampean mambu kaya batang!”
“Hus! Sampean kalau shalat aja berisik!”
“Aku arep muntah. Huhuueekk…”
“Tobil! Muntahan sampean kena sajadahku!”
“Huhuhu…hueekk!!”
Meski disertai kericuhan kecil akhirnya shalat gaib selesai. Ki Sangir kembali menghadap para cantrik. Menatap mereka satu per satu sebelum memberikan khutbah singkat, semacam pelepasan pada mayat Sadikin. “Cantrik-cantrikku…” Suara Ki Sangir bergetar. “kita telah kehilangan orang yang paling kita cintai. Almarhum bukan hanya sosok yang tangguh dalam menjalani kehidupannya, tapi juga sosok yang teguh dalam memegang prinsip dan keyakinannya. Almarhum adalah sosok laki-laki yang lembut dan bersahaja. Laki-laki yang rendah hati, ramah, sabar dan sopan. Padepokan yang almarhum dirikan ini mudah-mudahan bisa menjadi amal jariah almarhum yang tak pernah putus. Tapi sebagai manusia biasa pasti almarhum juga tak luput dari kesalahan. Untuk itu jika ada di antara kalian siapa saja atau bahkan semuanya yang pernah disakiti sekali maupun berkali-kali oleh almarhum pada semasa hidupnya, entah itu dicambuk, dihantam dengan balok kayu, disambit dengan arit, disundut rokok, disuruh menjilati koreng kakinya, dipaksa berzina, atau apa pun juga, aku mewakili teman dekatnya minta agar kalian semua mau memaafkan almarhum. Sekali lagi aku mau bertanya, apakah kalian semua bersedia memaafkan almarhum?”
Para cantrik tiba-tiba berpandangan dengan dada bergemuruh. Mereka baru sadar selama ini terlalu larut sedih saat melihat Sadikin sekarat selama enam hari dengan perut bolong. Khutbah Ki Sangir mengingatkan perilaku Sadikin semasa masih sehat. Bekas sundutan rokok, bilur-bilur merah di bokong dan punggung akibat lecutan cambuk, dahi retak sebab dihajar balok kayu, bibir bonyok disambit arit, masih membekas jelas di tubuh. Itulah kenangan Sadikin yang tak bisa dilupakan sepanjang hidup. Dan… bagaimana mungkin laki-laki pincang itu kini dibiarkan bebas melenggang nyaman ke akhirat? Tidak! Tidak! Sadikin tetap keparat! Asu! Bajingan! Begitu para cantrik berpikir.
Sementara itu di balik topeng wajah sedihnya Ki Sangir tertawa-tawa senang. Siasatnya berhasil. Para cantrik akan terus mengutuk Sadikin, bahkan ketika laki-laki pincang itu sudah menjadi bangkai. Ki Sangir kembali berkata. “Karena kalian semua diam, kuanggap mau memaafkan almarhum yang barang kali pernah menyundut pipi kalian dengan rokok, menyambit dengan arit, menyuruh menjilati korengnya, mencambuk dan lain-lain. Baiklah, mulai sekarang aku yang menguasai padepokan ini. Kalian setuju?”
Para cantrik langsung menjawab serempak. “Setujuuu!!”
Sejak itu Ki Sangir menguasai padepokan. Mengangkat dua orang cantriknya yang cukup sakti bernama Paltito dan Narwisho sebagai wakil. Tiga bulan kemudian ia mencampakkan Suni, istri mudanya, setelah Kantring, istri tuanya ditemukan mati di hutan bukit Cuwuk. Ia sebenarnya sangat mencintai Kantring yang wajahnya memang cantik, tapi entah kenapa ia juga selalu berbuat kasar pada perempuan itu. Mungkin karena Kantring bisu. Suatu hari ia menikah dengan sebelas gadis penari Langgeturuk, kesemuanya tinggal dalam satu rumah. Sejak kedatangan para penari, cantrik padepokan semakin bertambah banyak. Para cantrik boleh mencicipi salah seorang dari mereka yang mempunyai tahi lalat di belahan vaginanya jika sudah sampai pada tingkatan ilmu tertentu. Hanya Narwisho yang menolak karena ia hanya bernafsu pada laki-laki. Pesantren Kyai Barnawi juga semakin bertambah besar. Ki Sangir tak suka melihat kemajuan pesantren Kyai Barnawi. Ia berencana membunuh Kyai Barnawi lalu membakar pesantrennya.
LIMA
Genjer-genjer mlebuo kendil wedange ngemplak.
Setengah mateng dientas yong dienggo iwak.
Sego nong piring sambel jeruk ring ngaben.
Genjer-genjer dipangan musuhe sego.
Ibu, sudah lima hari aku pulang. Tapi sesekali lagu itu masih menggema di telingaku. Dinyanyikan puluhan perempuan cantik di antara rimbun pohon karet dan jati. Di antara wajah-wajah berkeringat dan malam yang pucat. Mereka hanya menyanyi dan menari sambil sesekali berteriak. “Ayo, ayo, goyangkan pantatmu ke KIRI lalu angkat rokmu ke atas. Getarkan dadamu supaya payudaramu mencuat dan terlihat kutangmu berwarna hitam. Apakah celana dalammu juga hitam?” Tapi tak ada silet, gunting, arit atau pisau lipat. Mereka hanya penggembira. Tapi aku bersepatu lars dan bersenjata. Jika Ibu melihatku malam itu pasti bangga. Inilah cita-cita yang selalu kau dengungkan sejak aku kanak-kanak: Menjadi prajurit.
Dan akulah prajurit gagah berani itu, Ibu. Seorang laki-laki kere dari dusun Panjen bekas pengangkut batu kali. Tapi, oh, Ibu, bayangan kematian tiba-tiba terus menghantuiku sejak peristiwa malam itu. Ia terus berkelebat serupa hantu. Tak bisa kulihat bentuknya tapi bisa kurasakan getarnya. Lambat namun merayap dan terus mendekat. Apakah berdosa jika aku membunuh seseorang demi menjalankan tugas seorang prajurit, Ibu? Bukankah prajurit sejati harus bangga jika berhasil menyelesaikan tugasnya dengan sempurna?(bersambung)
*) TEGUH WINARSHO AS, lahir di Kulonprogo, Yogyakarta, 27 Desember. Buku-bukunya yang sudah terbit, kumpulan cerpen Bidadari Bersayap Belati (Gamamedia, 2002), Perempuan Semua Orang (Arrus, 2004), Kabar dari Langit (Assyamil, 2004), Tato Naga (Grasindo, 2005), dan novel: Tunggu Aku di Ulegle, roman dan tragedi di bumi serambi mekah (Bening Publishing, 2005), Jadikan Aku Pacar Gelapmu (Arrus, 2006). Novelnya: Di Bawah Hujan dimuat bersambung di harian sore Suara Pembaruan (2000), Orang-Orang Bertopeng dimuat di Sinar Harapan (2002), Purnama di Atas Jakarta dimuat Republika (2005). Kini mengibarkan bendera dengan nama penerbitan Lafal Indonesia.
“Hus! Sampean kalau shalat aja berisik!”
“Aku arep muntah. Huhuueekk…”
“Tobil! Muntahan sampean kena sajadahku!”
“Huhuhu…hueekk!!”
Meski disertai kericuhan kecil akhirnya shalat gaib selesai. Ki Sangir kembali menghadap para cantrik. Menatap mereka satu per satu sebelum memberikan khutbah singkat, semacam pelepasan pada mayat Sadikin. “Cantrik-cantrikku…” Suara Ki Sangir bergetar. “kita telah kehilangan orang yang paling kita cintai. Almarhum bukan hanya sosok yang tangguh dalam menjalani kehidupannya, tapi juga sosok yang teguh dalam memegang prinsip dan keyakinannya. Almarhum adalah sosok laki-laki yang lembut dan bersahaja. Laki-laki yang rendah hati, ramah, sabar dan sopan. Padepokan yang almarhum dirikan ini mudah-mudahan bisa menjadi amal jariah almarhum yang tak pernah putus. Tapi sebagai manusia biasa pasti almarhum juga tak luput dari kesalahan. Untuk itu jika ada di antara kalian siapa saja atau bahkan semuanya yang pernah disakiti sekali maupun berkali-kali oleh almarhum pada semasa hidupnya, entah itu dicambuk, dihantam dengan balok kayu, disambit dengan arit, disundut rokok, disuruh menjilati koreng kakinya, dipaksa berzina, atau apa pun juga, aku mewakili teman dekatnya minta agar kalian semua mau memaafkan almarhum. Sekali lagi aku mau bertanya, apakah kalian semua bersedia memaafkan almarhum?”
Para cantrik tiba-tiba berpandangan dengan dada bergemuruh. Mereka baru sadar selama ini terlalu larut sedih saat melihat Sadikin sekarat selama enam hari dengan perut bolong. Khutbah Ki Sangir mengingatkan perilaku Sadikin semasa masih sehat. Bekas sundutan rokok, bilur-bilur merah di bokong dan punggung akibat lecutan cambuk, dahi retak sebab dihajar balok kayu, bibir bonyok disambit arit, masih membekas jelas di tubuh. Itulah kenangan Sadikin yang tak bisa dilupakan sepanjang hidup. Dan… bagaimana mungkin laki-laki pincang itu kini dibiarkan bebas melenggang nyaman ke akhirat? Tidak! Tidak! Sadikin tetap keparat! Asu! Bajingan! Begitu para cantrik berpikir.
Sementara itu di balik topeng wajah sedihnya Ki Sangir tertawa-tawa senang. Siasatnya berhasil. Para cantrik akan terus mengutuk Sadikin, bahkan ketika laki-laki pincang itu sudah menjadi bangkai. Ki Sangir kembali berkata. “Karena kalian semua diam, kuanggap mau memaafkan almarhum yang barang kali pernah menyundut pipi kalian dengan rokok, menyambit dengan arit, menyuruh menjilati korengnya, mencambuk dan lain-lain. Baiklah, mulai sekarang aku yang menguasai padepokan ini. Kalian setuju?”
Para cantrik langsung menjawab serempak. “Setujuuu!!”
Sejak itu Ki Sangir menguasai padepokan. Mengangkat dua orang cantriknya yang cukup sakti bernama Paltito dan Narwisho sebagai wakil. Tiga bulan kemudian ia mencampakkan Suni, istri mudanya, setelah Kantring, istri tuanya ditemukan mati di hutan bukit Cuwuk. Ia sebenarnya sangat mencintai Kantring yang wajahnya memang cantik, tapi entah kenapa ia juga selalu berbuat kasar pada perempuan itu. Mungkin karena Kantring bisu. Suatu hari ia menikah dengan sebelas gadis penari Langgeturuk, kesemuanya tinggal dalam satu rumah. Sejak kedatangan para penari, cantrik padepokan semakin bertambah banyak. Para cantrik boleh mencicipi salah seorang dari mereka yang mempunyai tahi lalat di belahan vaginanya jika sudah sampai pada tingkatan ilmu tertentu. Hanya Narwisho yang menolak karena ia hanya bernafsu pada laki-laki. Pesantren Kyai Barnawi juga semakin bertambah besar. Ki Sangir tak suka melihat kemajuan pesantren Kyai Barnawi. Ia berencana membunuh Kyai Barnawi lalu membakar pesantrennya.
LIMA
Genjer-genjer mlebuo kendil wedange ngemplak.
Setengah mateng dientas yong dienggo iwak.
Sego nong piring sambel jeruk ring ngaben.
Genjer-genjer dipangan musuhe sego.
Ibu, sudah lima hari aku pulang. Tapi sesekali lagu itu masih menggema di telingaku. Dinyanyikan puluhan perempuan cantik di antara rimbun pohon karet dan jati. Di antara wajah-wajah berkeringat dan malam yang pucat. Mereka hanya menyanyi dan menari sambil sesekali berteriak. “Ayo, ayo, goyangkan pantatmu ke KIRI lalu angkat rokmu ke atas. Getarkan dadamu supaya payudaramu mencuat dan terlihat kutangmu berwarna hitam. Apakah celana dalammu juga hitam?” Tapi tak ada silet, gunting, arit atau pisau lipat. Mereka hanya penggembira. Tapi aku bersepatu lars dan bersenjata. Jika Ibu melihatku malam itu pasti bangga. Inilah cita-cita yang selalu kau dengungkan sejak aku kanak-kanak: Menjadi prajurit.
Dan akulah prajurit gagah berani itu, Ibu. Seorang laki-laki kere dari dusun Panjen bekas pengangkut batu kali. Tapi, oh, Ibu, bayangan kematian tiba-tiba terus menghantuiku sejak peristiwa malam itu. Ia terus berkelebat serupa hantu. Tak bisa kulihat bentuknya tapi bisa kurasakan getarnya. Lambat namun merayap dan terus mendekat. Apakah berdosa jika aku membunuh seseorang demi menjalankan tugas seorang prajurit, Ibu? Bukankah prajurit sejati harus bangga jika berhasil menyelesaikan tugasnya dengan sempurna?(bersambung)
*) TEGUH WINARSHO AS, lahir di Kulonprogo, Yogyakarta, 27 Desember. Buku-bukunya yang sudah terbit, kumpulan cerpen Bidadari Bersayap Belati (Gamamedia, 2002), Perempuan Semua Orang (Arrus, 2004), Kabar dari Langit (Assyamil, 2004), Tato Naga (Grasindo, 2005), dan novel: Tunggu Aku di Ulegle, roman dan tragedi di bumi serambi mekah (Bening Publishing, 2005), Jadikan Aku Pacar Gelapmu (Arrus, 2006). Novelnya: Di Bawah Hujan dimuat bersambung di harian sore Suara Pembaruan (2000), Orang-Orang Bertopeng dimuat di Sinar Harapan (2002), Purnama di Atas Jakarta dimuat Republika (2005). Kini mengibarkan bendera dengan nama penerbitan Lafal Indonesia.
0 komentar:
Posting Komentar