Sabtu, 07 Mei 2011 By: sanggar bunga padi

Kantring Genjer-Genjer [dari kitab kuning sampai komunis] bagian 5

Oleh: TEGUH WINARSHO AS *


Ki Sangir merasa senang tak ada cantrik yang protes apalagi menghujat. Ya, ya, Ki Sangir terlalu senang hingga tak sadar sepasang mata Sadikin terus menatapnya dari bilik samping pendopo dengan kecemburuan dan kecurigaan berlebihan. Terbayang di jidat Sadikin kepala Ki Sangir tiba-tiba rekah terbelah menjadi dua oleh bacokan golok lalu tersungkur tak bisa bergerak. Sungguh pemandangan yang ajaib. Dan ia tak sabar ingin segera mendekap tubuh janda Suni yang hangat dan montok dalam gairah sahwat meledak.
“Koprik, apakah bapakmu masih shalat?” tanya Ki Sangir tiba-tiba pada salah seorang cantrik.
“Masih, Ki. Tapi hanya sesekali.”
“Maksudmu?”
“Kadang sehari hanya dua kali. Padahal seharusnya kan tujuh belas kali…” 
Koprik tak melanjutkan kalimatnya dipotong cantrik yang duduk di sebelahnya dengan cara menyikut perutnya, keras.
“Goblok! Bukan tujuh belas kali sehari, tapi lima hari sekali. Dasar nggak ngerti tuntunan. Jangan-jangan sampean tidak hapal sahadat…” Cantrik ini ingin melanjutkan kalimatnya lebih panjang, tapi cantrik yang duduk di belakang menyahut lebih cepat.
“Hei, sampean semua sama gobloknya!” Suaranya keras mengejutkan. Para cantrik menatapnya. “Yang benar sehari lima kali. Bukan lima hari sekali! Duhur, ‘asar, maghrib, isya’ dan subuh. Bacaan iftitah setelah takbiratul ikhram bisa menggunakan allahuma ba’it baini atau allahuma kabira… keduanya sama saja pahalanya. Maaf, maaf, Ki, dulu aku murid Kyai Barnawi…” cantrik itu tiba-tiba malu sendiri menyembunyikan wajahnya.

Sesaat suasana bergeremeng mirip lebah bubar. Beberapa cantrik ingin berbagi pendapat tapi tak punya dalil. Hanya meracau dan sesekali menepuk dada mengaku paling takwa. 
“Cukup! cukup!” Ki Sangir menenangkan suasana yang mulai menghangat. “Koprik, biarkan bapakmu shalat. Tapi jangan lupa terus kirim sesaji. Itu yang akan menyempurnakan amalan bapakmu. Bagaimana dengan istrimu Djoned?” Ki Sangir beralih ke cantrik lain.
“Hamdulillah, Ki. Dia bahkan tidak bisa alpatikah.” Djoned menjawab mantap, suaranya berat, besar.
“Hahaha….” Seorang cantrik tiba-tiba tertawa keras. “Hahaha…”Ludahnya sampai muncrat. “Haha…Goblok kabeh! Yang benar alfatikhah! Juga alhamdulillah!” katanya bangga. “Benar kan, Ki?”

Ki Sangir menghisap tembakaunya dalam-dalam. “Keduanya sama benarnya. Pangeran Sejati tidak pernah mempermasalahkan perbedaan ucapan. Itu hanya soal lidah. Apalagi ini tanah Jawa. Yang penting adalah niat dalam hati,” ucap Ki Sangir sambil menatap semua cantriknya.
Para cantrik mengangguk-angguk.
“Bagaimana kalau istrimu, Paijan? Kudengar dia bekas lonte?” Mata Ki Sangir tiba-tiba mengerjap ada sesuatu yang disembunyikan. Wangi tubuh istri Paijan mungkin masih melekat di ketiaknya.
“Ehm….maaf, Ki, dia Protestan sejak lahir. Bapaknya pendeta…”
“Suruh istrimu ke jalan Gusti Allah. Juga mertuamu!”
“Baik, Ki. Tapi maaf, sepertinya dia condong pada Kyai Barnawi.”
“Untuk sementara tidak masalah. Barnawi memang hanya cocok untuk mualaf seperti istrimu. Kelak selesai dari Barnawi harus ngaji denganku! Aku punya ilmu khusus yang bisa membuat istrimu serupa mendapat karomah! Hikhik…”
“Baik, Ki. Nanti akan kusampaikan…”

Sementara dari bilik samping pendopo, Sadikin terus menghentak-hentakkan kaki pincangnya menahan geram. Kepalanya yang tengkleng ke kiri berusaha tegak tapi itu sangat menguras tenaga. Keringat terus meleleh di kulit pipinya yang hitam menggelambir. Ada sesuatu yang terus menggerunjal-gerunjal di dadanya melihat keakraban Ki Sangir dengan para cantrik. Pada situasi seperti ini ia benar-benar tersisih, tak berguna. Ia tahu Ki Sangir bukan hanya mumpuni dalam ilmu kanuragan dan kebatinan tapi juga fasih bacaan dan tafsir Al-qur’an. Terbesit di kepala Sadikin untuk segera memulai beberapa rencana yang sudah tersusun rapi di kepalanya:

Mengajak Ki Sangir jalan-jalan ke bukit Cuwuk dan mendorongnya ke jurang pada saat lengah. Bebatuan lancip di dasar jurang sedalam dua ratus meter cukup untuk meremukkan kepalanya sebelum dipatuk berbagai macam jenis ular berbisa.  Jika gagal, memberi umpan Ki Sangir seorang lonte paling menggairahkan dan menyuruhnya menggunting urat lehernya pada saat meregang orgasme. Jika gagal, menyergap Ki Sangir saat tidur. Memacak kedua tangan dan kakinya pada empat ekor kuda jantan lalu dilecut hingga kuda-kuda itu melesat kencang ke arah berlawanan dan sudah bisa dipastikan tubuh Ki Sangir terpotong empat bagian. 

Jika masih tetap gagal, memberi Ki Sangir tuak paling memabukkan. Jika sudah teler berat dan bicaranya ngacau, jerat lehernya dengan kawat berduri, tendang kelaminnya sampai meregang lalu kubur hidup-hidup di lubang yang telah disiapkan. Jika tetap belum berhasil, kerahkan dua puluh lima cantrik untuk menggorok leher Ki Sangir saat tidur lelap. Gantung potongan kepalanya di pintu padepokan, sementara tubuhnya dipanggang.

Di dalam bilik samping pendapa Sadikin manggut-manggut. Ia yakin satu dari lima rencana itu pasti berjalan mulus. Sementara itu tiga ratus meter dari tempat itu, Kyai Barnawi dibantu sembilan santrinya terlihat sibuk membangun pesantren. Bahu membahu mengusung gelondong kayu, batu, bata, semen, seng dan besi. Tak ingin pembangunan pesantren tersendat-sendat, keesokan hari Kyai Barnawi memanggil delapan tukang kuli bangunan dari kampung sebelah. Diam-diam penduduk Panjen berdecak kagum. Di tengah kemiskinan yang mulai merongrong, Kyai Barnawi justru semakin kaya, santri-santrinya makmur. Meski lantai masih berupa semen kasar, namun surau yang lebih dulu dibangun itu sudah mulai digunakan untuk shalat berjamaah. Kyai Barnawi sendiri yang selalu mengumandangkan adzan sekaligus bertindak sebagai Imam dan pengisi ceramah. 

“Bersyukur hanya pada Gusti Allah, bukan pada batu kali, kepala kambing atau babi. Itu musyrik dan neraka ganjarannya! Katakan pada setiap orang yang kamu temui di jalan, bahwa tiada tuhan selain Gusti Allah. Hanya Gusti Allah pangeran sejati yang wajib kita sembah! Manusia hanya khalifah penyampai risalah. Tak ada manusia yang sanggup menyamai kekuasan Gusti Allah!”
“Tapi apakah kita akan terus mencuri, Kyai?” seorang santri tiba-tiba menyela bertanya.
“Hanya dengan izin Gusti Allah. Sebab setiap kemungkaran dan kebatilan harus kita ubah menjadi kebaikan sebelum kita pasrahkan lagi pada Gusti Allah. Jangan takut membawa pedang, kelewang dan golok jika untuk menegakkan agama Allah, sebab setiap tetes darah yang muncrat dari tubuh kalian akan mengantar kalian ke surga sebagai suhada. Mencurilah kalian sampai penduduk Panjen yang kufur bangkrut!”
“Terimakasih, Kyai. Kami hanya menjalankan perintahmu. Malam ini kami kembali menjarah.”
“Jangan lupa berdoa pada Gusti Allah agar kalian diberi keselamatan.”
“Terimakasih, Kyai….”    (bersambung)

*) TEGUH WINARSHO AS, lahir di Kulonprogo, Yogyakarta, 27 Desember. Buku-bukunya yang sudah terbit, kumpulan cerpen Bidadari Bersayap Belati (Gamamedia, 2002), Perempuan Semua Orang (Arrus, 2004), Kabar dari Langit (Assyamil, 2004), Tato Naga (Grasindo, 2005), dan novel: Tunggu Aku di Ulegle, roman dan tragedi di bumi serambi mekah (Bening Publishing, 2005), Jadikan Aku Pacar Gelapmu (Arrus, 2006). Novelnya: Di Bawah Hujan dimuat bersambung di harian sore Suara Pembaruan (2000), Orang-Orang Bertopeng dimuat di Sinar Harapan (2002), Purnama di Atas Jakarta dimuat Republika (2005). Kini mengibarkan bendera dengan nama penerbitan Lafal Indonesia.

0 komentar:

Posting Komentar

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...