Sabtu, 21 Mei 2011 By: sanggar bunga padi

Kantring Genjer-Genjer [dari kitab kuning sampai komunis] bagian 14

Oleh: TEGUH WINARSHO AS *

Aku semakin bingung menangkap arah pembicaraan Lasmi. Tapi diam-diam aku kagum. Rupanya ia tahu banyak hal. Siapa sesungguhnya perempuan itu? Sipil? Intel? agen CIA?
“Kubu Yani dan kubu Nasution selama ini selalu berseberangan. Tapi mereka kemudian bersatu untuk menggulingkan Presiden,” kataku mulai berhati-hati.
“Masalah ini tak ada hubungannya dengan dua kubu itu. Tapi kubu baru yang diam-diam didirikan Soeharto.”
“Pangkostrad?”

“Ya. Awalnya Soeharto memang masuk dalam kubu Nasution. Tapi akhirnya mendirikan kubu sendiri setelah Amerika tak percaya lagi pada Nasution karena tak berhasil menjalankan misi mereka terhadap pemberontakan Permesta, kampanye pembebasan Irian Barat dan slogan Ganyang Malaysia. Kepentingan Amerika tak berfungsi di tangan Nasution. Di saat itulah Soeharto yang baru menjadi Pangkostrad mendirikan kubu. Ia mengajak Yoga Sugema yang masih menjadi Dubes RI untuk Yugoslavia. Soeharto menyuruh Yoga pulang dan menawari jabatan baru sebagai Kepala Intelijen Kostrad. Sesampai di Jakarta Yoga langsung menemui Soeharto di rumahnya. Mereka berembug. Itulah cikal bakal terbentuknya kubu Soeharto. Jika kutarik dari peristiwa semalam aku mulai mencium kelicikan Soeharto:

Yoga kembali ke Indonesia tidak sesuai prosedur karena seharusnya penarikan Yoga dari jabatan Duta Besar RI dilakukan oleh Menpangad, mengingat Yoga adalah perwira AD. Tetapi Yoga ditarik oleh surat panggilan Pangkostrad. Dengan cara itu Soeharto telah melangkahi garis hierarki dan komando.
Tujuan Yoga pulang adalah untuk melakukan sabotase terhadap kebijakan-kebijakan politik Presiden.

Soeharto ingin menghancurkan PKI karena PKI terlalu dekat dengan Presiden. Tujuan ini sejalan dengan kepentingan Amerika yang tak ingin Indonesia dikuasai komunis. Amerika kemudian mendekati Soeharto untuk menjalankan kepentingannya.

Kubu yang dibentuk Soeharto sama sekali tak berkaitan dengan Panglima AD, tapi berkait erat dengan politik dalam negeri dan luar negeri serta Presiden dan PKI. Ini ironis sekali. Selain Yoga, kubu Soeharto juga didukung Ali Moertopo. Dua orang ini adalah kelompok bayangan Soeharto yang suka menyusup kemana-mana…” Lasmi berhenti menghirup napas dalam-dalam. Ketegangan di wajahnya berangsur mencair.

Aku menunggunya berkata-kata. Tapi ia hanya diam saja. Aku mulai tertarik dengan ceritanya. Aku belum pernah mendengar cerita seperti itu. Aku menjatuhkan tubuhku di atas kasur. Wangi tubuh Lasmi sesaat berkelebat di hidungku. Perpaduan antara keringat dan minyak wangi. Aku menyukai bauan seperti itu. Kulihat lehernya jenjang seperti angsa. Ada bekas merah-merah di lehernya. Aku yang melakukannya semalam. Payudaranya jauh lebih besar dari yang kubayangkan. “Terus apa hubungan antara Angkatan Kelima dan Kubu yang didirikan Soeharto?”

Lasmi menoleh menatapku. Ia mengusap-usap lehernya. Agaknya ia tahu aku terus memperhatikan lehernya. “Lain kali jangan kasar,” katanya sambil tersenyum. “Seperti yang tadi sudah kubilang para perwira AD tidak setuju dengan ide Angkatan Kelima. Yani kemudian menyampaikan sikapnya itu pada Presiden. Tapi kemudian masalah itu menjadi pembicaraan hangat di kalangan elite politik. Sampai kemudian beredar isu bahwa Angkatan Kelima adalah para buruh dan petani yang dipersenjatai. Presiden akhirnya memanggil Yani untuk datang ke Istana. Yani dijadwalkan diterima Presiden di Istana Negara tadi pagi dengan agenda mengenai Angkatan Kelima. Tapi subuh tadi kita menculik dan membunuhnya.”

Lasmi berhenti seperti menunggu reaksiku. Tapi aku diam saja. Aku merasa harus berhati-hati. Baru beberapa jam aku mengenalnya. Perkenalan yang singkat, meski kami telah melakukan hubungan badan. Tapi mungkin itu lebih karena kami sama-sama saling membutuhkan. Kami sama-sama lelah dan butuh hiburan. Sesekali terdengar sirene meraung-raung di kejauhan. Juga suara tembakan. Aku bingung apa yang sebenarnya sedang terjadi di luar?

“Kamu dengar suara tembakan itu? Percayalah padaku. Kamu sedang diburu. Nyawamu terancam!”
“Siapa yang menghembuskan isu para jendral mau kudeta?”

Lasmi menatap kalender di kamar. “Sekitar pertengahan Agustus kemarin Presiden sakit. Presiden diperiksa oleh seorang dokter Cina yang dibawa oleh Aidit. Dokter itu bukan didatangkan dari RRT, tapi dokter Cina yang tinggal di Kebayoran Baru. Selain dokter Cina ada dua dokter lain yang memeriksa yaitu, dr. Soebandrio dan dr. Leimena. Ketiga dokter sepakat bahwa penyakit Presiden saat itu adalah masuk angin. Diduga penyebabnya karena malam sebelumnya Presiden jalan-jalan meninjau beberapa pasar di Jakarta untuk melihat langsung bagaimana harga-harga bahan kebutuhan pokok. Presiden memang sering melakukan kegiatan seperti itu tanpa pengawalan ketat.

Tapi tentu kamu masih ingat kabar yang beredar di luar menyebut Presiden sakit parah dan PKI sedang menyusun kekuatan untuk mengambil alih kepemimpinan nasional. Itu bohong. Aidit tahu persis kondisi Presiden. Di sini kubu Soeharto mulai bermain. Mereka menyebarkan isu dan provokasi seolah-olah PKI akan merebut kekuasaan jika sakit Presiden semakin parah. Tapi ini memang hanya tujuan awal yang jika gagal juga tidak masalah sebab tujuan akhirnya adalah mencari kambing hitam jika suatu saat gerakan perebutan kekuasaan benar-benar terjadi. Dengan begitu opini publik sudah tergiring pada PKI. Selanjutnya PKI akan berhadapan dengan militer. Tapi rupanya PKI tidak terpancing dengan isu dan provokasi yang diciptakan Soeharto.

Di pihak lain isu mengenai kudeta Dewan Jenderal ditanggapi serius Letkol Oentoeng. Tapi wajar karena Oentoeng salah satu komandan Pasukan Cakra Bhirawa yang tugasnya menjaga Presiden. Oentoeng kemudian berencana mendahului menangkap para Dewan Jenderal sebelum mereka bertindak lebih jauh. Oentoeng menyampaikan rencananya itu kepada Soeharto. Gayung bersambut. Soeharto malah menjanjikan akan menambah jumlah pasukan untuk mendukung rencana itu. (bersambung)

*) TEGUH WINARSHO AS, lahir di Kulonprogo, Yogyakarta, 27 Desember. Buku-bukunya yang sudah terbit, kumpulan cerpen Bidadari Bersayap Belati (Gamamedia, 2002), Perempuan Semua Orang (Arrus, 2004), Kabar dari Langit (Assyamil, 2004), Tato Naga (Grasindo, 2005), dan novel: Tunggu Aku di Ulegle, roman dan tragedi di bumi serambi mekah (Bening Publishing, 2005), Jadikan Aku Pacar Gelapmu (Arrus, 2006). Novelnya: Di Bawah Hujan dimuat bersambung di harian sore Suara Pembaruan (2000), Orang-Orang Bertopeng dimuat di Sinar Harapan (2002), Purnama di Atas Jakarta dimuat Republika (2005). Kini mengibarkan bendera dengan nama penerbitan Lafal Indonesia.

0 komentar:

Posting Komentar

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...