Minggu, 08 Mei 2011 By: sanggar bunga padi

Kantring Genjer-Genjer [dari kitab kuning sampai komunis] bagian 6

Oleh: TEGUH WINARSHO AS *


Dan…keresahan penduduk Panjen kian buncah lantaran sudah hampir sebulan gerombolan pencuri belum tertangkap. Beberapa orang mengaku pernah melihat kelebat para pencuri, namun seperti siluman mereka tiba-tiba lenyap dalam gelap. Tak pernah terendus jejak apalagi bayangan mereka. Beberapa orang lagi pernah melihat gerombolan pencuri itu mengendap-endap masuk serambi surau, tapi begitu dilihat ke dalam hanya kelengangan yang ada. Dendam yang tak tertahan membuat laki-laki dewasa penduduk Panjen dan para cantrik Ki Sangir berjaga-jaga setiap malam. Mereka tidak lagi menjadi pengangkut batu kali, sebab tugas menumpas kejahatan jauh lebih mulia. Seorang pencuri harus dipotong-potong tangannya, dirajang-rajang kakinya! Begitu Ki Sangir berfatwa dalam berbagai kesempatan dengan mata merah nyalang. Dan entah dari mana sumbernya kasak-kusuk mulai menyebut Kyai Barnawi sebagai biang kerok pencurian selama ini dengan mengerahkan para santrinya. Begitulah, simpati yang mulai tumbuh berbalik menjadi kebencian yang mekar di dada setiap penduduk Panjen, laki atau perempuan. Beberapa orang mulai mengintai gerak-gerik Kyai Barnawi dan para santrinya.


Hingga suatu malam ketika bulan bersinar cukup terang, misteri panjang itu hampir terungkap. Tiga puluh orang lebih tak mungkin pandangan mata mereka tertipu! Dan, lima laki-laki yang sembunyi di balik semak-semak dengan buntalan karung melekat di punggung itu jelas adalah santri Kyai Barnawi! Dengan pedang terhunus, kelewang, golok, linggis dan kebencian membuncah, serentak orang-orang memburu ke lima laki-laki itu. Bersorak-sorai mereka justru karena orang yang selama ini mengaku alim dan suci, ternyata gerombolan pencuri. Kentongan dipukul, pedang diayun-ayun ke udara, sesekali berkilat tertimpa cahaya bulan. Gerombolan pencuri tinggal sepuluh meter lagi. Orang-orang menarik napas lega sebab kemenangan sesaat lagi hadir di depan mata. Dengan kemarahan meledak-ledak mereka tak sabar segera mengepung dan menyergap kelima pencuri itu dengan mengerahkan berbagai macam jurus silat disertai tenaga dalam. Tapi sungguh ajaib, gerombolan pencuri itu tiba-tiba lenyap berubah lima ekor anjing hitam menyalak keras: Huk! Huk! Huk! Orang-orang terbelalak, kecewa berat mendengus kesal. Seseorang tiba-tiba menjengking menyerupai lima anjing di depannya sambil menghujat lantang. “Kirik! Kita semua tertipu! Huk! Huk!”
“Sial! Kupikir cerita askhabul kafhi hanya mitos…”

TIGA

Oh…Ibu, iblis cantik itu beberapa kali datang menemuiku. Pada malam yang gerimis dan dingin menghentak tulang-tulangku. Maaf, Ibu, jika aku terlambat menyampaikan kabar ini padamu, sebab pada suatu hari terkutuk penduduk dusun lebih cepat menemukan tubuhmu telah menjadi bangkai busuk di hutan bukit Cuwuk di antara ilalang dan semak tak terjamah. Demikian seorang laki-laki tua pengangkut batu bercerita padaku di hari-hari terakhir menunggu kematiannya. Oh, Siapa yang melakukan semua itu, Ibu? Kenapa Ayah tak peduli dan tak sedih sedikit pun dengan kematianmu? Justru Kyai Barnawi dua jam menangis sesengukan di atas nisanmu dan malamnya membaca tahlil hingga suaranya serak parau.

Aku sangat sedih kehilanganmu, Ibu. Perasaan sedih yang justru terasa sangat menyakitkan setelah kau benar-benar pergi untuk selama-lamanya. Aku tidak tahu apakah aku juga harus segera pergi meninggalkan dusun Panjen, Ibu. Dusun yang telah menempa tubuhku menjadi begitu kuat. Tubuh seorang prajurit yang gagah dan tangguh. Kini aku pulang membawa cita-citamu, Ibu. Juga cita-cita nenek yang selalu diucapkan padaku: “Cucuku, menjadi prajurit itu pekerjaan mulia. Kamu akan dihormati banyak orang. Kamu bisa punya bedil dan sepatu tinggi. Kamu bisa membela Ibumu. Membela Soekarno. Belajarlah yang rajin, Cucuku. Nenek yakin kelak kamu akan menjadi orang yang mukti!” Kalimat-kalimat itu kembali mengiang di telingaku, Ibu.

Tapi… oh, Ibu. Tubuhku tiba-tiba gemetar saat kutemukan secarik kertas tulisan tanganmu di tumpukkan pakaian lusuh di lemari berdebu yang kubuka paksa sebab sebelumnya terkunci rapat seperti pintu penjara. Kertas buram bergaris-garis coklat meruap wangi kemenyan. Apakah kau sengaja meninggalkannya untukku, Ibu? Bertahun-tahun lamanya? Apakah kau sudah punya firasat bahwa kematian akan datang lebih cepat menjemputmu sebelum aku pulang membawa cita-citaku? Ataukah ini akhir dari misteri panjang yang menyelimuti kebisuanmu selama ini? O, Ibu, tulisan tanganmu masih cukup jelek tapi aku bisa membacanya:

Anakkoe lanang satoe-satoenja… akoe tahoe pada satoe waktoe kelak kamoe kan temoekan ini toelisan. Akoe hendak memberitahoemoe dari pada perilakoe bedjat Ajahmoe. Sedjak menikah denganja, hidoepkoe seperti dalam koebangan loempoer hitam. Setiap hari Ajahmoe mengedjek dan meloedah-loedahi wajahkoe. Akoe seroepa binatang haram sadja jang tak pantas bersanding denganja. Sesoenggoehnja akoe memang tak mentjintainja. Akoe terpaksa menikah dengan Ajahmoe dikarenakan akoe tak soedi diperboeat boedak napsoe tentara Djepoen jang kedjam2.

Ketahoeilah anakkoe, Ajahmoe waktoe itoe berkomplot dengan banjak laki-laki Djepoen anak buahnja Hikaro oentoek mentjari2 gadis2 desa jang dipaksa melatjurkan diri di barak2 tentara dengan tiada imbalan seroepa apapoen kecoeali nasi tiwoel boesoek sehari doea kali. Imbalan oentoek Ajahmoe sendiri dari pada semoea jang diperboeatnja itoe sesoenggoehnjalah hanja tiga boengkoes rokok Tjeng Lodji dan sebotol minoeman Hokin. Tetapi Ajahmoe teroes meneroes mentjari2 tjalon boedak napsoe Djepoen. Setiap malam Ajahmoe maboek2 dan tidoer2 dengan pelatjur2. Akoe amat2 tersiksa melihat dari pada semoea tingkah jang diperboeat Ajahmoe hingga soeatoe hari akoe berentjana memboenoehnja. Akoe soedah menjiapkan racoen babi. Sesoedah memboenoeh, akoe sendiri kan boenoeh diri. Akan tetapi roepanja akoe tiada poenya keberanian melakoekannja. Barnawi joega melarang akoe berboeat djahat dikarenakan hal2 demikian sangat2 berdosa besar menurut agama. Akhirnja semoea niat djahat akoe koeboer dalam2.

Anakkoe, akoe memang banjak menjemboenjikan dari pada semoea kedjadian menjakitkan itoe dari hadapanmoe dikarenakan hatikoe sesoenggoehnja tiada berkenan memboeat kamoe memikoel derita amat2 berkepandjangan. Akoe coekoeplah senang kamoe banjak menghabiskan waktoe loeang oentoek kamoe perboeat mengadji di pesantren Kyai Barnawi dari pada haroes menerima adjaran-adjaran Ki Sangir, Ajahmoe sendiri. Semoea adjaran Ajahmoe membawa bentjana boeat pendoedoek Panjen dan joega boeatkoe sendiri. Tiada sekali dua Ajahmoe mengamalkan ilmoe sirnahangenti. Akoe mendjadi amat tersiksa dikarenakan perboeatan ilmoe hitamnja yang kedji itoe. Dikarenakan ilmoe itoe poelalah barangkali soeatoe waktoe kamoe tidoer di kamar Ajahmoe kan didatanginja dirimoe sesoeatoe makhluk gaib jang mengadjak berboeat tiada senonoh.

Anakkoe, cah bagoes, akoe minta maaf dari pada semoea kesalahan baik jang akoe sengadja maoepoen tiada sengadja. Akoe tiada sama sekali bermaksoed memboeat hatimoe gelisah dan sedih dengan mentjeritakan dari pada semoea kedjadian menjedihkan ini. Akoe hanjalah ingin kamoe mengerti banjak sedikit masa laloemoe. Ketahoeilah anakkoe, bahwa Ajahmoe Ki Sangir, doeloe tiada pernah poelang ke roemah kecoeali seboelan sekali. Jang diperboeatnja di loear tiada boekan maboek, joedi dan tidoer2 dengan pelatjur2. Pada saat itoelah Barnawi sering datang ke roemah. Barnawi soenggoeh2 merasakan kasian jang teramat toeloes melihat penderitaan jang akoe alami. Hingga soeatoe hari Barnawi mengadjak akoe menikah siri denganja. Pada waktoe itoe dia soedah poenja istri tiga. Awalnja akoe tiada sepakat dikarenakan akoe masih istri Sangir. Akan tetapi Barnawi tiada sekali dua kali bilang: “Kantring ketahoeilah, Sangir sesoenggoehnja soedah tiada memiliki hak apa poen pada dirimoe sedjak lebih tiga kali dia menjakitimoe baik itoe dengan lidahnja maoepoen tangannja. Itoe sama sadja perboeatan kedji jang seharoesnja tiada boleh dilakoekan pada istrinja sendiri. Artinja kamoe soedah diceraikannja.”

Akhirnja akoe tiada keberatan menerimakan adjakannja Barnawi. Semoea perempoean Panjen pasti joega tiada menolak diperistrikan dia. Akhirnja akoe dan Barnawi menikah di roemah Kyai Halkil di Pengging. Tiada seorang Panjen jang tahu peristiwa itoe termasuk Ajahmoe, Ki Sangir. Tiga hari sekali, pada larut2 malam jang dingin dan berkabut Barnawi datang membawa sedikit makanan dan oeang belandja. Akan tetapi dari pada semoea itoe jang lebih penting menjaloerkan sahwat. Barnawi tahoe kapan Sangir poelang dan karenanja dia tiada datang. Akoe terpaksa melajani dua laki-laki sekaligoes, Ki Sangir dan Barnawi. Ki Sangir ialah djiwa jang keras, liar dan pemberontak. Sedangkan Barnawi tiada lain ialah kelembutan dan sosok jang menjenangkan.

Anakkoe lanang, satoe hari mendadak akoe merasakan peroetkoe moelas2 hendak moentah2. Setelahnja baroelah akoe ketahoei akoe hamil. Akoe senang sekali! Akan tetapi setelahnja poela akoe diboeat bingoeng, perihal siapa laki-laki jang menaboerkan benihnja ke rahimkoe? Barnawi atao Sangir? Ketika Sangir tahoe akoe hamil dia djuga turut senang hatinja meski dia tetap tidoer sama pelatjur2 setiap malam. Akan halnja Barnawi tiba-tiba sadja wadjahnja moeroeng dan sedjak itoe tiada pernah lagi datang ke roemah. Roepanja Barnawi marah dikarenakan akoe masih berhoeboengan badan dengan Sangir. Akan tetapi akoe tiada bersedih oleh hal itoe dikarenakan akoe hendak poenja anak. Sangir sendiri meski masih sering tidoer2 dengan pelatjur2, tetapi djuga semakin menundjukkan rasa sajangnja padakoe.

Beberapa bulan kemoedian kamoe lahir. Ajahmoe, Ki Sangir sangatlah bangga hatinja memiliki anak laki-laki jang moengkin soedah lama dia harapkan lahir. Dikarenakan setelahnja dia hendak poenja anak lagi namoen Tuhan tiada mengaboelkan. Akhirnja Sangir memperistrikan Suni, gadis bau kentjur. Akoe kemoedian ditjampakkanja seroepa sampah. Anakkoe, sampai akoe toelis ini soerat akoe masih tiada mengerti siapa seoenggoehnja ajah kandoeng kamoe jang sebenar-benarnja, Ki Sangir atokah Kyai Barnawi.

Anakkoe, hanja ini jang bisa akoe tjeritakan padamoe siapa tahoe pada satoe waktoe kelak kan bergoena. Djadilah kamoe anak jang berguna bagi negara dan agama. Berboeatlah kebenaran di mana sadja kamoe berada meski banjak orang jang menghina-hina. Jang terakhir akoe minta maaf djika apa2 sadja jang akoe toelis ini mendjadikan perasaanmoe sedih. Ketahoeilah bahwa akoe amat2 sajang dan mentjintaimoe…
Salam sajang,
Kantring, perempoean jang melahirkanmoe.
(bersambung)



*) TEGUH WINARSHO AS, lahir di Kulonprogo, Yogyakarta, 27 Desember. Buku-bukunya yang sudah terbit, kumpulan cerpen Bidadari Bersayap Belati (Gamamedia, 2002), Perempuan Semua Orang (Arrus, 2004), Kabar dari Langit (Assyamil, 2004), Tato Naga (Grasindo, 2005), dan novel: Tunggu Aku di Ulegle, roman dan tragedi di bumi serambi mekah (Bening Publishing, 2005), Jadikan Aku Pacar Gelapmu (Arrus, 2006). Novelnya: Di Bawah Hujan dimuat bersambung di harian sore Suara Pembaruan (2000), Orang-Orang Bertopeng dimuat di Sinar Harapan (2002), Purnama di Atas Jakarta dimuat Republika (2005). Kini mengibarkan bendera dengan nama penerbitan Lafal Indonesia.

0 komentar:

Posting Komentar

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...