Salman, salah seorang shahabat, pernah ditanya oleh Khalifah Umar, “A malikun ana, am khalifatun? Apakah aku ini seorang raja ataukah seorang khalifah?” Pada saat itu Salman menjawab, “Jika tuan mengambil jibayah (iuran negara) dari tanah umat Islam satu dirham lebih atau kurang dari jumlah tersebut, kemudian mempergunakannya bukan pada hak semestinya maka nyatalah Tuan bukan seorang khalifah!”
Pertanyaan yang sama pernah pula diajukan Khalifah Umar kepada rakyatnya, “Demi Allah, aku tidak tahu, apakah aku ini seorang khalifah atau seorang raja?” Dan kala itu ia mendapat jawaban, “Wahai Amirul Mukminin, sesungguhnya antara seorang khalifah dan seorang raja itu terdapat suatu perbedaan. Khalifah itu tidak mau mengambil sesuatu kecuali dengan hak, kemudian ia tidak berkehendak pula untuk mengeluarkannya kecuali dalam hak pula. Sedangkan seorang raja, mengambil sesuatu dari sini, kemudian mengeluarkannya ke sana!” (Dalam ‘Renungan Tarikh’, KHE Abdurrahman)
Di masa pemerintahannya, Umar Ibn al-Khaththab dikenal terbuka kepada rakyatnya. Ia tidak memberi batasan yang keras kepada rakyat yang ingin menyampaikan aspirasi kepadanya. Atau keluhan-keluhan yang mereka rasakan baik karena keadaan lingkungan sehingga merasa kurang beruntung, atau karena sikap para gubernur di wilayahnya. Salah satu pesan paling penting Khalifah Umar kepada para gubernur yang diangkatnya ialah agar mereka senantiasa menjaga syari’at Islam terlebih lagi dalam urusan shalat. Dalam salah satu surat edaran kepada para pejabat daerah, Umar menyatakan bahwa orang-orang yang tidak mengamalkan shalat dengan semestinya (dengan sempurna berikut mengetahui implikasinya) itu tidak dapat dipercaya. Pesan Umar itu sangat tepat, sebab jika orang sudah berani membelakangkan perintah khaliknya, urusannya dengan Allah Swt, apatah lagi terhadap urusan makhluk sesamanya.
Mungkin jarang sekali atau mungkin hampir tidak ada, seorang kepala negara, kepala pemerintahan atau kepala instansi tertentu yang saat mengangkat pejabat di bawahnya memberikan pesan penekanan sangat pentingnya pengamalan ibadah fardiyah sebagaimana dilakukan Umar Ibn al-Khaththab di atas. Biasanya dalam naskah sumpah jabatan dan pesan pelantikan, sang kepala hanya mengatakan bahwa sumpah tersebut selain disaksikan yang hadir, disaksikan pula oleh Tuhan. Bagi yang Muslim tentu saja disaksikan oleh Allah Swt. Tapi meski sesama Muslim, sang kepala hampir tidak pernah menekankan kepada bawahan yang dilantiknya itu untuk benar-benar menjaga shalatnya. Dan jika kepada yang non Muslim, untuk benar-benar menjalankan peribadatan sesuai agama yang dianutnya. Maka jangan heran jika ada sebagian pejabat yang kemudian melalaikan peribadatannya kepada Tuhannya, dan pada gilirannya kemudian melalaikan urusan utamanya menyejahterakan masyarakatnya.
Pangkal sebabnya seperti yang disinyalir Khalifah Umar. Jika orang (pejabat) sudah berani membelakangi perintah khaliknya, apalagi terhadap urusan makhluk sesamanya. Ironis memang bahwa di negara yang didaku sebagai negara relijius ini semakin hari semakin tampak sedemikian buruknya. Di media cetak dan elektronik, berita kebusukan menyebar dari sudut instansi mana saja. Pemerintahan dan swasta. Yang berbau-bau agama atau yang netral, alias tidak ada sangkut pautnya dengan urusan agama. Mungkin sekali yang terjadi memang sebuah kemunafikan. Seolah-olah melaksanakan peribadatan dengan baik namun perilaku dalam mengemban amanat tidak sesuai tuntunan agamanya. Sudah menjadi pertanyaan sejak lama, entah olok-olok ataukah benar-benar, bagaimana hukumnya jika seorang pejabat naik haji dengan uang hasil korupsi? Olok-olok semacam ini terasa ringan saja. Tapi ketika hakim ketua dalam kasus Gayus Tambunan (yang kesohor dengan kasus Mafia Pajaknya) seperti diceritakan Ketua Komisi Yudisial bahwa sang hakim pergi umrah sebagian bekalnya diduga dari uang suap, maka olok-olok itu seperti mendapatkan pembenaran. Dan ketika sang hakim telah mencampuradukkan antara urusan dengan Allah yang haq dengan urusan Gayus yang bathil, bagaimana lagi ia dapat membuat keputusan yang benar-benar haq?
Kembali ke cerita Khalifah Umar. Pada tahun Ramadah, tahun yang penuh kekurangan dan kesulitan, Umar berubah warna kulitnya. Kulitnya yang semula putih, berubah menjadi hitam karena berpuasa, tidak mau makan beberapa macam makanan yang dianggapnya mewah. Ia mengurangi makan bukan karena tidak ada makanan, tetapi ia berkeyakinan “biarlah aku lapar dan pucat pasi, asal rakyat segar dan sehat”. Musibah kelaparan pun pada masa itu tidak masuk ke wilayah Islam padahal seharusnya musibah lapar itu merata di setiap wilayah.
Perjuangan Khalifah Umar telah membawa negara pada kemakmuran dan kesuburan. Kemakmuran itu membuat negara bebas dari pengemis dan peminta-minta. Pada masa itu orang malu menjadi pengemis karena hal itu bukanlah sebuah kebiasaan. Dan jika ada orang yang terlihat miskin atau fakir, maka orang yang melihatnya akan segera mengulurkan tangan membantunya. Bahkan seperti dalam riwayat yang sudah sangat populer, Khalifah Umar sendiri pernah membawa bahan makanan untuk rakyatnya yang dipergokinya hidup dalam kemiskinan.
Adakah dewasa ini pemimpin negara seperti Umar Ibn Al-Khaththab? Mungkin sudah tidak ada. Dan orang akan mengatakan sulit mengulanginya kembali, apalagi zaman sudah berubah. Memang zaman sudah berubah, namun keimanan dan pengamalan ajaran agama seharusnya tidak boleh ikut berubah. Jika pun tidak ada pemimpin negara yang setangguh Khalifah Umar, jika para pejabat yang ada melaksanakan dengan konsisten pesan Umar untuk selalu menjaga shalatnya dengan kuat, insya Allah urusan makhluk tidak terabaikan. Namun jika urusan dengan Sang Pencipta saja mampu dia telantarkan, apa yang dapat diharap darinya tentang kebaikan dalam urusan manusia?
Waktu-waktu ini di beberapa daerah sedang digelar dan akan digelar Pilkada. Semoga masyarakat di daerah itu mendapatkan pemimpin yang benar-benar dapat menyejahterakan rakyatnya. Bukan kelompoknya atau keluarganya. Allahu a’lam. (Zainul Arifin)
Pertanyaan yang sama pernah pula diajukan Khalifah Umar kepada rakyatnya, “Demi Allah, aku tidak tahu, apakah aku ini seorang khalifah atau seorang raja?” Dan kala itu ia mendapat jawaban, “Wahai Amirul Mukminin, sesungguhnya antara seorang khalifah dan seorang raja itu terdapat suatu perbedaan. Khalifah itu tidak mau mengambil sesuatu kecuali dengan hak, kemudian ia tidak berkehendak pula untuk mengeluarkannya kecuali dalam hak pula. Sedangkan seorang raja, mengambil sesuatu dari sini, kemudian mengeluarkannya ke sana!” (Dalam ‘Renungan Tarikh’, KHE Abdurrahman)
Di masa pemerintahannya, Umar Ibn al-Khaththab dikenal terbuka kepada rakyatnya. Ia tidak memberi batasan yang keras kepada rakyat yang ingin menyampaikan aspirasi kepadanya. Atau keluhan-keluhan yang mereka rasakan baik karena keadaan lingkungan sehingga merasa kurang beruntung, atau karena sikap para gubernur di wilayahnya. Salah satu pesan paling penting Khalifah Umar kepada para gubernur yang diangkatnya ialah agar mereka senantiasa menjaga syari’at Islam terlebih lagi dalam urusan shalat. Dalam salah satu surat edaran kepada para pejabat daerah, Umar menyatakan bahwa orang-orang yang tidak mengamalkan shalat dengan semestinya (dengan sempurna berikut mengetahui implikasinya) itu tidak dapat dipercaya. Pesan Umar itu sangat tepat, sebab jika orang sudah berani membelakangkan perintah khaliknya, urusannya dengan Allah Swt, apatah lagi terhadap urusan makhluk sesamanya.
Mungkin jarang sekali atau mungkin hampir tidak ada, seorang kepala negara, kepala pemerintahan atau kepala instansi tertentu yang saat mengangkat pejabat di bawahnya memberikan pesan penekanan sangat pentingnya pengamalan ibadah fardiyah sebagaimana dilakukan Umar Ibn al-Khaththab di atas. Biasanya dalam naskah sumpah jabatan dan pesan pelantikan, sang kepala hanya mengatakan bahwa sumpah tersebut selain disaksikan yang hadir, disaksikan pula oleh Tuhan. Bagi yang Muslim tentu saja disaksikan oleh Allah Swt. Tapi meski sesama Muslim, sang kepala hampir tidak pernah menekankan kepada bawahan yang dilantiknya itu untuk benar-benar menjaga shalatnya. Dan jika kepada yang non Muslim, untuk benar-benar menjalankan peribadatan sesuai agama yang dianutnya. Maka jangan heran jika ada sebagian pejabat yang kemudian melalaikan peribadatannya kepada Tuhannya, dan pada gilirannya kemudian melalaikan urusan utamanya menyejahterakan masyarakatnya.
Pangkal sebabnya seperti yang disinyalir Khalifah Umar. Jika orang (pejabat) sudah berani membelakangi perintah khaliknya, apalagi terhadap urusan makhluk sesamanya. Ironis memang bahwa di negara yang didaku sebagai negara relijius ini semakin hari semakin tampak sedemikian buruknya. Di media cetak dan elektronik, berita kebusukan menyebar dari sudut instansi mana saja. Pemerintahan dan swasta. Yang berbau-bau agama atau yang netral, alias tidak ada sangkut pautnya dengan urusan agama. Mungkin sekali yang terjadi memang sebuah kemunafikan. Seolah-olah melaksanakan peribadatan dengan baik namun perilaku dalam mengemban amanat tidak sesuai tuntunan agamanya. Sudah menjadi pertanyaan sejak lama, entah olok-olok ataukah benar-benar, bagaimana hukumnya jika seorang pejabat naik haji dengan uang hasil korupsi? Olok-olok semacam ini terasa ringan saja. Tapi ketika hakim ketua dalam kasus Gayus Tambunan (yang kesohor dengan kasus Mafia Pajaknya) seperti diceritakan Ketua Komisi Yudisial bahwa sang hakim pergi umrah sebagian bekalnya diduga dari uang suap, maka olok-olok itu seperti mendapatkan pembenaran. Dan ketika sang hakim telah mencampuradukkan antara urusan dengan Allah yang haq dengan urusan Gayus yang bathil, bagaimana lagi ia dapat membuat keputusan yang benar-benar haq?
Kembali ke cerita Khalifah Umar. Pada tahun Ramadah, tahun yang penuh kekurangan dan kesulitan, Umar berubah warna kulitnya. Kulitnya yang semula putih, berubah menjadi hitam karena berpuasa, tidak mau makan beberapa macam makanan yang dianggapnya mewah. Ia mengurangi makan bukan karena tidak ada makanan, tetapi ia berkeyakinan “biarlah aku lapar dan pucat pasi, asal rakyat segar dan sehat”. Musibah kelaparan pun pada masa itu tidak masuk ke wilayah Islam padahal seharusnya musibah lapar itu merata di setiap wilayah.
Perjuangan Khalifah Umar telah membawa negara pada kemakmuran dan kesuburan. Kemakmuran itu membuat negara bebas dari pengemis dan peminta-minta. Pada masa itu orang malu menjadi pengemis karena hal itu bukanlah sebuah kebiasaan. Dan jika ada orang yang terlihat miskin atau fakir, maka orang yang melihatnya akan segera mengulurkan tangan membantunya. Bahkan seperti dalam riwayat yang sudah sangat populer, Khalifah Umar sendiri pernah membawa bahan makanan untuk rakyatnya yang dipergokinya hidup dalam kemiskinan.
Adakah dewasa ini pemimpin negara seperti Umar Ibn Al-Khaththab? Mungkin sudah tidak ada. Dan orang akan mengatakan sulit mengulanginya kembali, apalagi zaman sudah berubah. Memang zaman sudah berubah, namun keimanan dan pengamalan ajaran agama seharusnya tidak boleh ikut berubah. Jika pun tidak ada pemimpin negara yang setangguh Khalifah Umar, jika para pejabat yang ada melaksanakan dengan konsisten pesan Umar untuk selalu menjaga shalatnya dengan kuat, insya Allah urusan makhluk tidak terabaikan. Namun jika urusan dengan Sang Pencipta saja mampu dia telantarkan, apa yang dapat diharap darinya tentang kebaikan dalam urusan manusia?
Waktu-waktu ini di beberapa daerah sedang digelar dan akan digelar Pilkada. Semoga masyarakat di daerah itu mendapatkan pemimpin yang benar-benar dapat menyejahterakan rakyatnya. Bukan kelompoknya atau keluarganya. Allahu a’lam. (Zainul Arifin)
0 komentar:
Posting Komentar