Dalam peribadatan Islam ada ibadah-ibadah yang meski bersifat wajib dalam arti harus dilaksanakan namun memberi tempat atau kelonggaran dalam pengerjaannya. Kelonggaran itu bisa berarti kondisional, yakni tetap dikerjakan namun tidak sesempurna yang seharusnya. Ada pula kelonggaran itu yang berarti dilakukan penggantian dengan bentuk yang lain, jika seseorang memang sama sekali tidak ada kemampuan untuk melakukannya. Dan ada pula yang tergantung pada situasi yang melingkupi atau kondisi lain yang menyebabkan kewajiban itu belum bisa atau tidak bisa dilaksanakan.
Kelonggaran yang sifatnya kondisional meski tetap harus dikerjakan misalnya adalah dalam ibadah sholat. Setiap orang Islam wajib melaksanakan sholat lima waktu dalam sehari semalam. Kewajiban sholat ini tidak ada tawar menawar karena ia adalah salah satu pertanda yang membedakan antara orang Muslim dan orang kafir. Kaifiyah sholat pun sudah tertentu sebagaimana sabda Nabi Muhammad Saw, “sholluu kama roaitumuuny usholly”, sholatlah kamu sekalian sebagaimana kamu melihat aku sholat.
Yang tersedia kelonggaran dalam ibadah sholat ini adalah bahwa jika seseorang dalam keadaan tidak sehat secara penuh, tidak mampu melaksanakan sholat dengan berdiri, maka ia diperkenankan sholat sambil duduk, atau sambil berbaring. Dan bahkan jika tak pula mampu menggerakkan tangan-tangannya lagi, bolehlah ia dengan mengerjap-ngerjapkan matanya. Atau berdiam diri saja dan sholat dalam kondisi paling lemah. Begitu pula dengan wudlu, yang harus diambil sebelum sholat, jika ada aral yang menghalanginya bersentuhan dengan air, maka dapat diganti dengan debu atau tayammum. Tayamum bisa dilakukan karena kesulitan air atau karena sakit yang tidak memungkinkan anggota wudlu tersiram air.
Kelonggaran sholat berbeda dengan kelonggaran yang ada pada ibadah puasa Ramadhan. Kelonggaran ibadah puasa Ramadhan diberikan dengan penggantian di hari lain jika masih mampu dilakukan di hari lain, namun jika di hari lainpun tidak mampu melakukan penggantian dengan ibadah yang sama, maka bisa diganti dengan fidyah, pemberian makan kepada fakir miskin (ibadah sosial). Kelonggaran puasa diberikan jika seseorang menderita sakit saat bulan Ramadhan tiba. Atau karena perjalanan yang dibenarkan oleh syari’at untuk tidak berpuasa pada saatnya.
Sementara kelonggaran yang diberikan untuk pelaksanaan ibadah haji, selain karena kesehatan fisik, juga karena tersedia ongkos perjalanan atau tidak dan amankah perjalanan yang akan dilalui atau tidak. Ketersediaan ongkos dan keamanan perjalanan adalah kondisi eksternal seseorang. Sedang masalah kesehatan fisik adalah masalah internalnya.
Dari beberapa contoh kelonggaran pelaksanaan ibadah mahdlah itu satu hal yang menjadi kunci yakni soal kesehatan fisik kita. Bahwa ternyata tanpa kesehatan yang baik peribadatan dalam Islam tidak dapat dilaksanakan secara sempurna bahkan bisa-bisa tertunda atau tidak terlaksana sama sekali. Inilah yang menjadi landasan mengapa kesehatan dalam Islam sangat dipentingkan dan harus diperhatikan.
Sesungguhnya kepentingan kesehatan itu tidak terbatas pada soal agama. Karena secara manusiwai semua orang di dunia ingin hidup sehat. Orang mengeluarkan biaya jutaan rupiah untuk mengupayakan kesehatan dirinya. Dan tentu saja yang paling baik adalah membina kesehatan itu sebelum datang penyakit.
Masalahnya, banyak orang yang ternyata sering mengabaikan kesehatan fisiknya, sampai kemudian terlambat menyadari saat ia tertimpa penyakit yang mungkin saja parah. Padahal seperti contoh-contoh di atas, ternyata kesehatan punya andil besar dalam kesempurnaan kita melaksanakan peribadatan dalam agama kita (Islam). Rasulullah Muhammad Saw bersabda, “Mohonlah kepada Allah keselamatan dan afiat. Sesungguhnya tiada sesuatu pemberian Allah sesudah keyakinan (iman) lebih baik dari pada sehat afiat.” (HR An-Nasa’i dalam As-Sunan Al-Kubra, Ibn Majah dalam Sunan Ibn Majah, Ahmad dalam Musnad Ahmad, shahih).
Sabda Nabi ini menunjukkan bahwa kesehatan adalah anugerah Allah yang paling besar kedua setelah keimanan dan keislaman (keyakinan) kita. Karena ternyata tanpa kesehatan, keimanan dan keislaman itu akan mandeg, berhenti hanya sebatas keyakinan yang mungkin tidak teramalkan atau teramalkan secara tidak sempurna. Kita mungkin saja tetap beriman namun jika kondisi fisik sakit parah, akhirnya tidak mampu beramal atau beribadah dengan sempurna. Hal ini secara sederhana dapat mengurangi nilai amal kita dibandingkan dengan yang mampu mengerjakannya secara sempurna. Kita mungkin saja tetap punya keimanan yang kuat, namun jika kondisi fisik tidak memungkinkan, akhirnya kita tidak bisa pergi beribadah haji sebagaimana layaknya orang Islam semua menginginkannya.
Perdefinisi, sehat merupakan sebuah keadaan yang tidak hanya terbebas dari penyakit akan tetapi juga meliputi seluruh aspek kehidupan manusia yangmeliputi aspek fisik, emosi, sosial dan spiritual (menurut WHO). Kesehatan adalah juga keadaan sejahtera dari badan, jiwa dan sosial yang memungkinkan hidup produktif secara sosial dan ekonomi (UU No.23, 1992)
Mengingat bahwa sebagai kaum Muslimin kita harus berupaya melaksanakan peribadatan dengan sebaik-baiknya, maka kesehatan fisik (dan mental) perlu mendapat perhatian serius. Kelemahan kita selama ini adalah mengabaikan pembinaan kesehatan itu dan membiarkan hidup berjalan seadanya saja. Semoga Allah selalu memberi kesehatan yang sempurna (‘afiat) dalam kehidupan kita di dunia. Allahu a’lam. (Zainul Arifin/Pontianak)
Kelonggaran yang sifatnya kondisional meski tetap harus dikerjakan misalnya adalah dalam ibadah sholat. Setiap orang Islam wajib melaksanakan sholat lima waktu dalam sehari semalam. Kewajiban sholat ini tidak ada tawar menawar karena ia adalah salah satu pertanda yang membedakan antara orang Muslim dan orang kafir. Kaifiyah sholat pun sudah tertentu sebagaimana sabda Nabi Muhammad Saw, “sholluu kama roaitumuuny usholly”, sholatlah kamu sekalian sebagaimana kamu melihat aku sholat.
Yang tersedia kelonggaran dalam ibadah sholat ini adalah bahwa jika seseorang dalam keadaan tidak sehat secara penuh, tidak mampu melaksanakan sholat dengan berdiri, maka ia diperkenankan sholat sambil duduk, atau sambil berbaring. Dan bahkan jika tak pula mampu menggerakkan tangan-tangannya lagi, bolehlah ia dengan mengerjap-ngerjapkan matanya. Atau berdiam diri saja dan sholat dalam kondisi paling lemah. Begitu pula dengan wudlu, yang harus diambil sebelum sholat, jika ada aral yang menghalanginya bersentuhan dengan air, maka dapat diganti dengan debu atau tayammum. Tayamum bisa dilakukan karena kesulitan air atau karena sakit yang tidak memungkinkan anggota wudlu tersiram air.
Kelonggaran sholat berbeda dengan kelonggaran yang ada pada ibadah puasa Ramadhan. Kelonggaran ibadah puasa Ramadhan diberikan dengan penggantian di hari lain jika masih mampu dilakukan di hari lain, namun jika di hari lainpun tidak mampu melakukan penggantian dengan ibadah yang sama, maka bisa diganti dengan fidyah, pemberian makan kepada fakir miskin (ibadah sosial). Kelonggaran puasa diberikan jika seseorang menderita sakit saat bulan Ramadhan tiba. Atau karena perjalanan yang dibenarkan oleh syari’at untuk tidak berpuasa pada saatnya.
Sementara kelonggaran yang diberikan untuk pelaksanaan ibadah haji, selain karena kesehatan fisik, juga karena tersedia ongkos perjalanan atau tidak dan amankah perjalanan yang akan dilalui atau tidak. Ketersediaan ongkos dan keamanan perjalanan adalah kondisi eksternal seseorang. Sedang masalah kesehatan fisik adalah masalah internalnya.
Dari beberapa contoh kelonggaran pelaksanaan ibadah mahdlah itu satu hal yang menjadi kunci yakni soal kesehatan fisik kita. Bahwa ternyata tanpa kesehatan yang baik peribadatan dalam Islam tidak dapat dilaksanakan secara sempurna bahkan bisa-bisa tertunda atau tidak terlaksana sama sekali. Inilah yang menjadi landasan mengapa kesehatan dalam Islam sangat dipentingkan dan harus diperhatikan.
Sesungguhnya kepentingan kesehatan itu tidak terbatas pada soal agama. Karena secara manusiwai semua orang di dunia ingin hidup sehat. Orang mengeluarkan biaya jutaan rupiah untuk mengupayakan kesehatan dirinya. Dan tentu saja yang paling baik adalah membina kesehatan itu sebelum datang penyakit.
Masalahnya, banyak orang yang ternyata sering mengabaikan kesehatan fisiknya, sampai kemudian terlambat menyadari saat ia tertimpa penyakit yang mungkin saja parah. Padahal seperti contoh-contoh di atas, ternyata kesehatan punya andil besar dalam kesempurnaan kita melaksanakan peribadatan dalam agama kita (Islam). Rasulullah Muhammad Saw bersabda, “Mohonlah kepada Allah keselamatan dan afiat. Sesungguhnya tiada sesuatu pemberian Allah sesudah keyakinan (iman) lebih baik dari pada sehat afiat.” (HR An-Nasa’i dalam As-Sunan Al-Kubra, Ibn Majah dalam Sunan Ibn Majah, Ahmad dalam Musnad Ahmad, shahih).
Sabda Nabi ini menunjukkan bahwa kesehatan adalah anugerah Allah yang paling besar kedua setelah keimanan dan keislaman (keyakinan) kita. Karena ternyata tanpa kesehatan, keimanan dan keislaman itu akan mandeg, berhenti hanya sebatas keyakinan yang mungkin tidak teramalkan atau teramalkan secara tidak sempurna. Kita mungkin saja tetap beriman namun jika kondisi fisik sakit parah, akhirnya tidak mampu beramal atau beribadah dengan sempurna. Hal ini secara sederhana dapat mengurangi nilai amal kita dibandingkan dengan yang mampu mengerjakannya secara sempurna. Kita mungkin saja tetap punya keimanan yang kuat, namun jika kondisi fisik tidak memungkinkan, akhirnya kita tidak bisa pergi beribadah haji sebagaimana layaknya orang Islam semua menginginkannya.
Perdefinisi, sehat merupakan sebuah keadaan yang tidak hanya terbebas dari penyakit akan tetapi juga meliputi seluruh aspek kehidupan manusia yangmeliputi aspek fisik, emosi, sosial dan spiritual (menurut WHO). Kesehatan adalah juga keadaan sejahtera dari badan, jiwa dan sosial yang memungkinkan hidup produktif secara sosial dan ekonomi (UU No.23, 1992)
Mengingat bahwa sebagai kaum Muslimin kita harus berupaya melaksanakan peribadatan dengan sebaik-baiknya, maka kesehatan fisik (dan mental) perlu mendapat perhatian serius. Kelemahan kita selama ini adalah mengabaikan pembinaan kesehatan itu dan membiarkan hidup berjalan seadanya saja. Semoga Allah selalu memberi kesehatan yang sempurna (‘afiat) dalam kehidupan kita di dunia. Allahu a’lam. (Zainul Arifin/Pontianak)
0 komentar:
Posting Komentar