Selasa, 03 Mei 2011 By: sanggar bunga padi

Kantring Genjer-Genjer (dari kitab kuning sampai komunis) bagian 1


Oleh: TEGUH WINARSHO AS*

Prolog:
Ingsun Pangeran sejati,
jejuluk Ki Sangir Hamintani


SATU
IBLIS cantik yang muncul dari balik rimbun malam telah memperkosaku, Ibu. Kukira sudah lama ia menggodaku saat mengangkut batu kali. Terangsang melihat badanku yang kekar berbulu lebat penuh gairah kerbau jantan. Terimakasih, Ibu, kau telah mengajarkan padaku hidup sebagai laki-laki sejati. Batu-batu hitam di kali yang setiap hari kuangkut ke dalam truk telah menempa tubuhku menjadi begitu keras serupa bebatuan itu sendiri. Lihatlah semua ototku meregang keras serupa tali dadung saat dua keranjang penuh batu kupikul naik lewat jalan setapak licin mendaki tebing kali. Menjaga keseimbangan tubuh adalah kunci utama di mana kamu akan mencapai puncak dengan selamat. Demikian para tetua berkata. Letakkan beban berat sama di bahu kanan dan kiri. Cengkramkan jari-jari kakimu sedalam mungkin ke dalam tanah dan mulailah berjalan penuh konsentrasi. Jangan sekali-kali menoleh ke bawah meski kamu mendengar suara perempuan memanggilmu. Itu hanya penampakkan yang akan membuat tubuhmu terbalik seratus depalan puluh derajat dan kepalamu pecah menghantam batu.

Tetapi banyak yang lengah setelah lewat siang terik matahari memanggang. Demikian kata laki-laki tua pengangkut batu di hari-hari terakhir menjelang kematiannya: Setelah matahari lingsir ke barat ditelan rimbun daun jarak dan pohon jati, para pengangkut batu mulai terjungkal. Bukan. Bukan karena perut mereka lapar sebab singkong rebus dan air batang tebu cukup untuk mengganjal perut seharian. Tetapi sesosok perempuan cantik tiba-tiba muncul dari balik bebatuan di kali menawarkan kenikmatan bersetubuh. Perempuan cantik yang akan memanggil dan melambaikan tangan padamu. Kamu akan tersirap oleh pandang matanya yang menggetarkan mengandung berahi. Maka seperti kutukkan sejarah yang terus berulang setiap tahun, satu per satu pengangkut batu tergoda. Berhenti menoleh ke bawah melihat perempuan itu. Pada saat itu tubuh mereka terpental dari ketinggian. Menggelinding cepat bersama keranjang dan batu-batu yang mereka bawa. Terus meluncur ke bawah menghantam bebatuan di dasar kali dengan berbagai macam variasi.

Jangan sekali-kali kau tanyakan padaku apakah mereka masih bernyawa. Hanya Sadikin yang mampu bertahan setelah koma tiga hari di kandang sapi, sebab pada saat bersamaan rumahnya ambruk. O, Sadikin yang malang. Setiap hari terus menghujat tuhan kenapa kepalanya lebih keras dari bebatuan kali sehingga tak langsung mati. Beberapa kali mencoba bunuh diri terjun ke kali, tapi hanya membuat kakinya perlahan-lahan remuk dan membusuk. Kepalanya tengkleng ke kiri, jalannya pincang, tapi tetap tak mati. Orang-orang kemudian menganggapnya sakti. Beberapa orang datang ingin berguru. Sadikin tak bisa menolak akhirnya mendirikan padepokan demi mendapatkan kekayaan. Terimakasih, gusti, di balik kakiku yang pincang dan kepalaku tengkleng ke kiri rejeki datang tak terduga-duga. Demikian Sadikin merasa pantas bersyukur. Tetapi ia sadar tak memiliki kesaktian apa pun, kecuali berkali-kali bunuh diri dan tidak mati. Sadikin kemudian mengangkat Ki Sangir sebagai pimpinan padepokan.

Itulah awal petaka di Panjen. Ontran-ontran penuh dendam kesumat dan angkara murka yang terus menimpa dusun Panjen di mana kau dilahirkan sebagai laki-laki pengangkut batu. Tetapi pekerjaan mengangkut batu hanya pekerjaan sementara sebab tubuhmu yang gagah mekar kabarnya mengantarmu menjadi prajurit pilihan. Seorang ksatria utama yang tangkas berperang. Maka pada satu waktu beberapa tahun silam kau pergi meninggalkan Panjen. Meninggalkan Ibumu dan segenap kenangan masa kanak-kanak dan remajamu. Juga batu-batu kali. Apakah lamat-lamat kau masih dapat mengingatnya?

Hanya dalam sebulan padepokan Sadikin berkembang pesat menyedot ratusan cantrik yang datang dari berbagai penjuru. Ilmu pati sukma yang dimiliki Ki Sangir menjadi kekuatan promosi di samping ilmu-ilmu kanuragan lain. Tak ada orang yang tak ingin tubuhnya sakti. Demikian pula para laki-laki pengangkut batu di Panjen. Dalam waktu singkat semua cantrik padepokan kebal senjata dan bahkan beberapa di antaranya kabarnya bisa menghilang atau terbang setinggi pohon kelapa. Tak ada yang muskil di dunia ini seandainya kita mau belajar dengan sungguh-sungguh. Demikian Sadikin terus berkata dengan lidah terjulur dan mulut berbusa. Orang-orang pun berduyun-duyun datang, tapi tidak semuanya langsung percaya kecuali mereka yang langsung mengendus-endus kaki pincang Sadikin serupa anjing. Kepada orang-orang yang masih ragu, Ki Sangir tak pernah berhenti menyakinkan, bahwa semua ilmu yang ia berikan atas izin Gusti Allah. Sebab semua amalan dimulai dengan kalimat suci Laaillahaillalah.

Tapi Kyai Barnawi murka. Pesantrennya hanya berjarak tiga ratus meter dari padepokan Sadikin. Pesantren tua yang merupakan rumah-rumah panggung terbuat dari papan kayu peninggalan Belanda itu kehilangan lima belas santrinya kabur mengikuti ajaran Ki Sangir. Setiap hari Kyai Barnawi murung, gelisah. Puluhan tahun mengajarkan Al-qur’an dan kitab kuning seolah sia-sia. “Ajaran Sadikin dan Ki Sangir sesat! Najis! Gusti Allah pasti mengutuk mereka. Kalian jangan percaya ilmu yang bersumber dari kekuatan iblis dan setan. Hanya Al-qur’an satu-satunya pegangan hidup yang akan menyelamatkan nasib kalian. Mengerti?!” ucap Kyai Barnawi tengah malam pada beberapa santrinya yang masih bertahan di surau yang hampir roboh. Jidat Kyai Barnawi berkerut seperti kulit jeruk kering menahan gelisah berlipat-lipat. Berjalan mondar-mandir sambil menghitung butir-butir tasbih. Sungguh sosok Kyai yang mulai kehilangan pamor karena tak bisa mengajarkan ilmu kebal dan terbang setinggi pohon kelapa. “Beri tahu Sadikin dan Ki Sangir agar menghentikan ajaran sesatnya. Ajak teman-teman kalian pulang. Suruh mereka kembali ke jalan Gusti Allah!” Pesan terakhir Kyai Barnawi sebelum keluar meninggalkan surau dengan wajah merah menahan amarah. Beberapa santri saling berpandangan heran. Belum pernah Kyai Barnawi marah sedemikian hebat.

*) TEGUH WINARSHO AS, lahir di Kulonprogo, Yogyakarta, 27 Desember. Buku-bukunya yang sudah terbit, kumpulan cerpen Bidadari Bersayap Belati (Gamamedia, 2002), Perempuan Semua Orang (Arrus, 2004), Kabar dari Langit (Assyamil, 2004), Tato Naga (Grasindo, 2005), dan novel: Tunggu Aku di Ulegle, roman dan tragedi di bumi serambi mekah (Bening Publishing, 2005), Jadikan Aku Pacar Gelapmu (Arrus, 2006). Novelnya: Di Bawah Hujan dimuat bersambung di harian sore Suara Pembaruan (2000), Orang-Orang Bertopeng dimuat di Sinar Harapan (2002), Purnama di Atas Jakarta dimuat Republika (2005). Kini mengibarkan bendera dengan nama penerbitan Lafal Indonesia.

0 komentar:

Posting Komentar

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...