Seorang kawan merasa gundah. Di tengah keramaian, ia justru merasa menjadi sendirian. Apa sebab? Ternyata ada perasaan bahwa ia makin tidak dibutuhkan orang banyak. Kawan ini sejak muda adalah aktivis dan pendakwah yang cukup sibuk. Banyak kalangan masyarakat disambangi dan memintanya untuk berceramah di sana-sini.
Berbeda dengan pensiunan pejabat yang mengalami down syndrom, ia tidak sampai seperti itu namun tetap tidak terlalu mengerti mengapa kini tidak banyak orang yang “memerlukannya” lagi? Hari-harinya sekarang menjadi terasa sangat longgar dan kering. Dulu ia merasa, satu hari dua puluh empat jam kurang banyak, seminggu tujuh hari terlalu pendek. Sekarang, ibaratnya sehari sepuluh jam saja terasa panjang, dan seminggu lima hari saja terlalu lama. Padahal jika dilihat dari kepemilikan materiil, orang ini sungguh tidak berkekurangan. Ia bisa saja pelesir ke sejumlah tempat dengan leluasa atau berkaraoke di tempat-tempat karaoke dengan santai.
Jadi apa yang hilang darinya? Rupanya ia merasa kehilangan “kepuasan batin” yang dahulu pernah ia rasakan sedemikian indah. Kepuasan batin memang tidak diukur dengan keberlimpahan materi duniawi. Kepuasan batin terletak di dalam hati sanubari karena kita telah memberikan sesuatu yang kita nilai berharga untuk orang di luar kita. Bahkan jika itu harus mengorbankan harta, jiwa dan raga. Seperti para suka relawan (volunteer) yang kemarin diserang oleh tentara Israel di Jalur Gaza. Kepuasan batin mereka antara lain adalah jika dapat menolong rakyat Palestina dari penjajahan sekaligus memenuhi panggilan agama untuk berjihad di jalan-Nya.
Akan halnya kawan saya di muka, ia merasa telah kehilangan jemaah pengajiannya. Makin lama makin hilang undangan untuk mengisi ceramah di berbagai tempat yang dulu sering ia sambangi. Kepuasan batin yang dulu ia peroleh dengan berbagi pengetahuan agama, baik lewat ceramah, diskusi, dan dialog rasanya kian menjauh. Ia heran.
Memang seiring dengan kemapanan hidupnya beberapa waktu lalu, tanpa terasa banyak undangan yang tidak ia penuhi. Saat kesibukannya meningkat tajam, banyak keperluan masyarakat atau jemaahnya yang ia abaikan. Saat kelonggaran tiba, undangan-undangan masyarakat yang menumbuhkan kepuasan batinnya itu malah menghilang.
Kesunyian di tengah keramaian (seperti pernah dilantunkan John Lennon) lebih berdimensi spiritual. Suasana batin. Saat kita merasa seolah sendirian, tidak terperhatikan atau tidak ada lagi yang membutuhkan kehadiran kita. Untuk menghindari kondisi demikian, kita kutip sebuah riwayat oleh Al Baihaqy berikut, “Membesarnya kenikmatan Allah bagi seseorang adalah bertambah banyaknya kebutuhan orang kepadanya (banyak dibutuhkan orang). Tetapi barangsiapa enggan memenuhi kebutuhan-kebutuhan orang-orang itu maka dia telah membiarkan kenikmatan itu lenyap.” (Terdapat dalam Syu’ab al-Iman, al Baihaqy. Kemungkinan besar riwayat ini bukanlah hadis Nabi, tetapi perkataan yang terkenal dari Al-Fadhl ibn ‘Iyadl).
Secara psikologis, tatkala kita mengetahui dan mengalami banyak orang yang membutuhkan kita, maka hati kita akan bangga. Ada kepuasan batin dalam diri kita. Apalagi jika kita dapat memenuhi kebutuhan saudara-saudara kita itu. Dalam keadaan demikian godaan selalu mengancam, ada yang tetap tawadhu’, bahwa kepuasan batin akan diperlukan oleh orang lain tidak membuatnya mabuk kepayang dan ‘ujub (bangga diri berlebih atau narsis). Dan ada yang kemudian menjadi besar kepala, seolah tanpa dirinya orang lain tidak berdaya. Lanjutannya adalah ia bisa terjebak menjadi tinggi hati dan justru mengabaikan kebutuhan-kebutuhan orang lain kepadanya. Lalu ia pun ditinggalkan orang begitu saja.
Seperti kutipan riwayat di atas, kita akan merasa mendapat nikmat yang besar tatkala banyak orang yang memerlukan kita, apakah dikarenakan kelebihan harta kita, pengetahuan agama kita, keringantanganan kita atau hal lain yang ada pada kita. Kita menghayati potongan hadis Nabi, “Sebaik-baik manusia adalah yang paling banyak manfaatnya bagi manusia lainnya.” (HR Al-Qadla’i, hasan). Namun tatkala keperluan-keperluan orang itu menghilang, meninggalkan kita, berpindah ke orang lain mungkin, kita menjadi merasa nelangsa, menjadi sendirian. Padahal mungkin hal itu timbul karena kesalahan kita sendiri. Secara tidak sadar kita menjadi seseorang yang berubah dari yang sebelumnya.
Untuk hal ini, sebuah ilustrasi cantik dapat kita petik. Hari sudah menjelang senja ketika seorang da’i turun dari mobilnya yang mewah di depan sebuah gubuk kecil milik bekas ustadnya di sebuah desa. Pertemuan yang sangat kontras itu pun terjadi. Setelah mereka berpeluk-pelukan melepas rindu, sang ustad berkata, "Kudengar engkau sudah berhenti berdakwah." "Benar ustad!" jawab da’i tersipu.
"Memang kata-katamu terlalu tajam menyayat, kritikmu menggelisahkan pemimpin umat," sambung ustadnya menjajaki.
"Bukan itu yang saya rasakan, ustad! Rasanya masyarakat dan jamaah sudah berubah,” jawab da’i.
"Sesungguhnya jamaah tidak berubah, tapi dirimulah yang sudah berubah,” putus ustadz sambil tertawa terkekeh-kekeh.
Apa yang dialami sang da’i di atas identik dengan yang dialami kawan saya di awal tulisan ini. Semula mereka mendapat kepuasan batin karena mempunyai banyak teman dan jamaah yang memerlukan kehadiran mereka, namun kini semua seolah meninggalkannya. Ia merasa jamaahnya berubah, padahal dirinyalah yang telah berubah.
Perubahan adalah keniscayaan dalam hidup kita. Namun bagaimana kita mengelola perubahan itu agar tidak menimbulkan keterasingan dalam diri kita, itu tentu sangat penting. Allahu a’lam. (Zainul Arifin)
Berbeda dengan pensiunan pejabat yang mengalami down syndrom, ia tidak sampai seperti itu namun tetap tidak terlalu mengerti mengapa kini tidak banyak orang yang “memerlukannya” lagi? Hari-harinya sekarang menjadi terasa sangat longgar dan kering. Dulu ia merasa, satu hari dua puluh empat jam kurang banyak, seminggu tujuh hari terlalu pendek. Sekarang, ibaratnya sehari sepuluh jam saja terasa panjang, dan seminggu lima hari saja terlalu lama. Padahal jika dilihat dari kepemilikan materiil, orang ini sungguh tidak berkekurangan. Ia bisa saja pelesir ke sejumlah tempat dengan leluasa atau berkaraoke di tempat-tempat karaoke dengan santai.
Jadi apa yang hilang darinya? Rupanya ia merasa kehilangan “kepuasan batin” yang dahulu pernah ia rasakan sedemikian indah. Kepuasan batin memang tidak diukur dengan keberlimpahan materi duniawi. Kepuasan batin terletak di dalam hati sanubari karena kita telah memberikan sesuatu yang kita nilai berharga untuk orang di luar kita. Bahkan jika itu harus mengorbankan harta, jiwa dan raga. Seperti para suka relawan (volunteer) yang kemarin diserang oleh tentara Israel di Jalur Gaza. Kepuasan batin mereka antara lain adalah jika dapat menolong rakyat Palestina dari penjajahan sekaligus memenuhi panggilan agama untuk berjihad di jalan-Nya.
Akan halnya kawan saya di muka, ia merasa telah kehilangan jemaah pengajiannya. Makin lama makin hilang undangan untuk mengisi ceramah di berbagai tempat yang dulu sering ia sambangi. Kepuasan batin yang dulu ia peroleh dengan berbagi pengetahuan agama, baik lewat ceramah, diskusi, dan dialog rasanya kian menjauh. Ia heran.
Memang seiring dengan kemapanan hidupnya beberapa waktu lalu, tanpa terasa banyak undangan yang tidak ia penuhi. Saat kesibukannya meningkat tajam, banyak keperluan masyarakat atau jemaahnya yang ia abaikan. Saat kelonggaran tiba, undangan-undangan masyarakat yang menumbuhkan kepuasan batinnya itu malah menghilang.
Kesunyian di tengah keramaian (seperti pernah dilantunkan John Lennon) lebih berdimensi spiritual. Suasana batin. Saat kita merasa seolah sendirian, tidak terperhatikan atau tidak ada lagi yang membutuhkan kehadiran kita. Untuk menghindari kondisi demikian, kita kutip sebuah riwayat oleh Al Baihaqy berikut, “Membesarnya kenikmatan Allah bagi seseorang adalah bertambah banyaknya kebutuhan orang kepadanya (banyak dibutuhkan orang). Tetapi barangsiapa enggan memenuhi kebutuhan-kebutuhan orang-orang itu maka dia telah membiarkan kenikmatan itu lenyap.” (Terdapat dalam Syu’ab al-Iman, al Baihaqy. Kemungkinan besar riwayat ini bukanlah hadis Nabi, tetapi perkataan yang terkenal dari Al-Fadhl ibn ‘Iyadl).
Secara psikologis, tatkala kita mengetahui dan mengalami banyak orang yang membutuhkan kita, maka hati kita akan bangga. Ada kepuasan batin dalam diri kita. Apalagi jika kita dapat memenuhi kebutuhan saudara-saudara kita itu. Dalam keadaan demikian godaan selalu mengancam, ada yang tetap tawadhu’, bahwa kepuasan batin akan diperlukan oleh orang lain tidak membuatnya mabuk kepayang dan ‘ujub (bangga diri berlebih atau narsis). Dan ada yang kemudian menjadi besar kepala, seolah tanpa dirinya orang lain tidak berdaya. Lanjutannya adalah ia bisa terjebak menjadi tinggi hati dan justru mengabaikan kebutuhan-kebutuhan orang lain kepadanya. Lalu ia pun ditinggalkan orang begitu saja.
Seperti kutipan riwayat di atas, kita akan merasa mendapat nikmat yang besar tatkala banyak orang yang memerlukan kita, apakah dikarenakan kelebihan harta kita, pengetahuan agama kita, keringantanganan kita atau hal lain yang ada pada kita. Kita menghayati potongan hadis Nabi, “Sebaik-baik manusia adalah yang paling banyak manfaatnya bagi manusia lainnya.” (HR Al-Qadla’i, hasan). Namun tatkala keperluan-keperluan orang itu menghilang, meninggalkan kita, berpindah ke orang lain mungkin, kita menjadi merasa nelangsa, menjadi sendirian. Padahal mungkin hal itu timbul karena kesalahan kita sendiri. Secara tidak sadar kita menjadi seseorang yang berubah dari yang sebelumnya.
Untuk hal ini, sebuah ilustrasi cantik dapat kita petik. Hari sudah menjelang senja ketika seorang da’i turun dari mobilnya yang mewah di depan sebuah gubuk kecil milik bekas ustadnya di sebuah desa. Pertemuan yang sangat kontras itu pun terjadi. Setelah mereka berpeluk-pelukan melepas rindu, sang ustad berkata, "Kudengar engkau sudah berhenti berdakwah." "Benar ustad!" jawab da’i tersipu.
"Memang kata-katamu terlalu tajam menyayat, kritikmu menggelisahkan pemimpin umat," sambung ustadnya menjajaki.
"Bukan itu yang saya rasakan, ustad! Rasanya masyarakat dan jamaah sudah berubah,” jawab da’i.
"Sesungguhnya jamaah tidak berubah, tapi dirimulah yang sudah berubah,” putus ustadz sambil tertawa terkekeh-kekeh.
Apa yang dialami sang da’i di atas identik dengan yang dialami kawan saya di awal tulisan ini. Semula mereka mendapat kepuasan batin karena mempunyai banyak teman dan jamaah yang memerlukan kehadiran mereka, namun kini semua seolah meninggalkannya. Ia merasa jamaahnya berubah, padahal dirinyalah yang telah berubah.
Perubahan adalah keniscayaan dalam hidup kita. Namun bagaimana kita mengelola perubahan itu agar tidak menimbulkan keterasingan dalam diri kita, itu tentu sangat penting. Allahu a’lam. (Zainul Arifin)
0 komentar:
Posting Komentar