Kisah ini sudah cukup terkenal. Pada suatu kali Nabiyullah Muhammad Saw menyuruh Khalid ibn ‘Uqbah ibn Abi Mu’ith untuk mengambil zakat ke Bani Musthalaq. Ketika mendengar utusan Rasul mau datang, kaum Bani Musthalaq berkumpul di luar kampung untuk menyambut al Walid dengan membawa zakat/shadaqah mereka. Mendengar hal itu, al Walid menduga bahwa mereka akan menyerangnya. Karena itu ia kembali sambil melaporkan kepada Rasul Saw bahwa Bani Musthalaq enggan membayar zakat dan bermaksud menyerang Nabi Saw. Rasul marah dan mengutus Khalid bin Walid untuk menyelidiki hal sebenarnya sambil berpesan agar tidak melabrak mereka sebelum jelas duduk persoalannya. Khalid menyuruh seorang informan menyelidiki perkampungan Bani Musthalaq yang ternyata masyarakat desa itu mengumandangkan adzan dan melaksanakan shalat berjamaah. Khalid kemudian mengunjungi mereka dan menerima zakat mereka.
Dalam cerita yang agak detil, Walid berkata kepada Nabi saw. “Kaum Harits (Bani Musthalaq) tidak mau memberikan zakat, justru ia akan membunuh saya.” Atas laporan ini Nabi saw. segera menetapkan utusan yang baru (Khalid ibn Walid) untuk datang kepada kaumnya Harits. Kemudian dia dengan seorang sahabatnya, pergi menuju tempat dimana Harits tinggal. Setelah sampai kaum Harits bertanya, ”Kemana kalian?” Utusan menjawab, ”Kepadamu.” Kaum menjawab, ”Loh, mengapa?” Utusan menegaskan, ”Nabi saw. telah mengirim seorang utusan, dia adalah Walid bin Uqbah, ia melaporkan kepada Nabi, bahwa kaum Harits enggan memberikan zakat dan malah akan membunuh utusan yang datang.” Kaum Harits menjawab, ”Tidak, demi Allah yang telah mengutus Nabi-Nya dengan membawa kebenaran, saya belum pernah melihat Walid dan dia belum pernah datang.”
Haritspun dihadapkan kepada Nabi saw, Nabi bersabda, ”Kau enggan menyampaikan zakat dan akan membunuh utusanku?” Harits menjawab, ”Tidak, demi Allah yang telah mengutus kau membawa kebenaran.” Atas kebenaran Harits dan kepalsuan laporan Walid, turunlah ayat 6-8 Qs. Al Hujuraat yang artinya, Qs. Al Hujuraat : 6, “Hai orang-orang yang beriman, jika datang kepadamu orang fasik membawa suatu berita, maka periksalah dengan teliti agar kamu tidak menimpakan suatu musibah kepada suatu kaum tanpa mengetahui keadaannya yang menyebabkan kamu menyesal atas perbuatanmu itu.”
Tentang sabab nuzul ayat ini, kalangan ulama berbeda pendapat. Ada yang menerima ada yang menolak. Namun essensi dari ayat ini yang harus menjadi perhatian adalah perintah untuk ”tabayyun” -- bersungguh-sungguh mencari kejelasan, atau dalam ungkapan lain ”investigasi” -- penyelidikan yang seksama.
Dalam kasus lain, Nabiyullah Muhammad Saw pernah dibuat gundah dan sedih atas berita kurang sedap yang beredar di kalangan masyarakat Madinah. Yakni gosip tentang hubungan ’Aisyah dengan Shafwan Ibn Mu’aththal yang bermula dengan tertinggalnya ’Aisyah dari rombongan Nabi usai pertempuran Bani Musthalaq (sebelum kaum ini masuk Islam). Diriwayatkan, tatkala jarak kota Madinah sudah tidak terlalu jauh, Nabi Saw mengizinkan pasukan bermalam dan kembali menjelang fajar. Mendengar rencana itu, ’Aisyah keluar kemah untuk suatu keperluan, kemudian kembali.
Tiba-tiba dia merasa kalungnya hilang, lalu dia pergi lagi mencarinya. Sementara itu, rombongan berangkat dengan persangkaan bahwa 'Aisyah masih ada dalam sekedup. Setelah 'Aisyah mengetahui, sekedupnya sudah berangkat dia duduk di tempatnya dan mengharapkan sekedup itu akan kembali menjemputnya. Kebetulan, lewat ditempat itu seorang sahabat Nabi, Shafwan Ibnu Mu'aththal, diketemukannya seseorang sedang tidur sendirian dan dia terkejut. Shafwan mengenal ’Aisyah sejak sebelum perintah hijab turun. 'Aisyah terbangun. lalu dia dipersilahkan oleh Shafwan mengendarai untanya. Syafwan berjalan menuntun unta sampai mereka tiba di Madinah. Orang-orang yang melihat mereka membicarakannya menurut pendapat masing-masing. Mulailah timbul desas-desus. Kemudian kaum munafik yang dikomandani Abdullah ibn Ubay ibn Salul membesar- besarkannya. Maka fitnahan atas 'Aisyah r.a. itupun bertambah luas, sehingga menimbulkan kegoncangan di kalangan kaum muslimin.
Ketika tersebarnya isu itu, Nabi Saw gundah dan bimbang. Beliau mencari informasi dari banyak fihak, termasuk dari istri beliau yang selama ini ”bersaing” dengan ’Aisyah. Tapi Zainab binti Jahsy, sang kompetitor, sama sekali tidak mendiskreditkan ’Aisyah. Zainab berkata, ”Saya tidak mengetahui kecuali yang baik dari ’Aisyah.”
Dalam kegelisahan itu, Nabi Saw tidak berbuat gegabah kepada ’Aisyah. Dalam hati kecil, beliau tidak mungkin membenarkan isu itu. Dan kegelisahan Nabi baru berakhir dengan turunnya ayat-ayat Qs. An Nuur ayat 11-26. Selain mengklarifikasi kebohongan cerita soal perselingkuhan ’Aisyah yang mulia, ayat-ayat itu dan ayat-ayat sebelumnya berisi uraian tentang tahapan penerimaan atas berita yang tidak jelas kebenarannya dan hukuman yang dikenakan kepada para penyebar kebohongan. "Sesungguhnya orang-orang yang membawa berita bohong itu adalah dari golongan kamu juga.Janganlah kamu kira bahwa berita bohong itu buruk bagi kamu bahkan ia adalah baik bagi kamu.Tiap-tiap seseorang dari mereka mendapat balasan dari dosa yang dikerjakannya. dan siapa di antara mereka yang mengambil bahagian yang terbesar dalam penyiaran berita bohong itu baginya azab yang besar” (Qs. An Nuur ayat 11).
Berita buruk itu ada manfaatnya, dalam konteks ayat di atas, adalah untuk membedakan mana orang-orang yang beriman, yang jujur, dan orang-orang munafik yang bercampur baur dalam komunitas Muslim di Madinah.
Salah satu pelajaran dari ayat ini yang harus menjadi perhatian adalah perintah untuk berhati-hati menerima kabar buruk yang ditimpakan kepada seseorang yang telah kita kenal integritas kejujurannya, harus bersungguh-sungguh mencari kejelasan, mengadakan ”investigasi” -- penyelidikan yang seksama. Atau dalam ungkapan seperti cerita pertama, ”tabayyun”.
Dua kasus di atas, yang tertera dalam berbagai tafsir dan shirah memberi gambaran akan adanya ”the power of tabayyun.” Kekuatan dari tabayyun. Dalam komunitas dimana kejujuran masih dapat diandalkan, maka tabayyun menjadi jalan untuk menghapus kebohongan. Usai kebohongan terbongkar, kasus pun menjadi reda, nama baik tertuduh menjadi baik kembali.
Mungkin berbeda dengan yang terjadi di negara kita sekarang ini. The power of tabayyun telah menjadi pembuka kotak pandora, yang mengeluarkan banyak sekali kebusukan yang lama tersimpan. Justru karena tabayyun, pencarian kejelasan dari lontaran-lontaran Susno Duaji yang semula dianggap serampangan, banyak makelar kasus, mafia pajak, yang terbongkar kejahatannya. Memang belum semua dapat dibuktikan. Tapi dengan adanya ’the power of tabayyun’, masyarakat dilihatkan betapa banyaknya kebusukan telah berlangsung selama ini di arasy yang hampir tidak tersentuh sebelumnya.
Tentu bekerjanya the power of tabayyun itu tidak tergantung kepada Susno. Karena yang lebih penting lagi adalah, setelah tabayyun dilakukan, tindakan apa yang selanjutnya harus kita ambil. Tabayyun saja, mungkin tidak akan memperbaiki keadaan jika tidak ada tindak lanjutnya. Allahu a’lam. (Zainul Arifin/Pontianak)
Dalam cerita yang agak detil, Walid berkata kepada Nabi saw. “Kaum Harits (Bani Musthalaq) tidak mau memberikan zakat, justru ia akan membunuh saya.” Atas laporan ini Nabi saw. segera menetapkan utusan yang baru (Khalid ibn Walid) untuk datang kepada kaumnya Harits. Kemudian dia dengan seorang sahabatnya, pergi menuju tempat dimana Harits tinggal. Setelah sampai kaum Harits bertanya, ”Kemana kalian?” Utusan menjawab, ”Kepadamu.” Kaum menjawab, ”Loh, mengapa?” Utusan menegaskan, ”Nabi saw. telah mengirim seorang utusan, dia adalah Walid bin Uqbah, ia melaporkan kepada Nabi, bahwa kaum Harits enggan memberikan zakat dan malah akan membunuh utusan yang datang.” Kaum Harits menjawab, ”Tidak, demi Allah yang telah mengutus Nabi-Nya dengan membawa kebenaran, saya belum pernah melihat Walid dan dia belum pernah datang.”
Haritspun dihadapkan kepada Nabi saw, Nabi bersabda, ”Kau enggan menyampaikan zakat dan akan membunuh utusanku?” Harits menjawab, ”Tidak, demi Allah yang telah mengutus kau membawa kebenaran.” Atas kebenaran Harits dan kepalsuan laporan Walid, turunlah ayat 6-8 Qs. Al Hujuraat yang artinya, Qs. Al Hujuraat : 6, “Hai orang-orang yang beriman, jika datang kepadamu orang fasik membawa suatu berita, maka periksalah dengan teliti agar kamu tidak menimpakan suatu musibah kepada suatu kaum tanpa mengetahui keadaannya yang menyebabkan kamu menyesal atas perbuatanmu itu.”
Tentang sabab nuzul ayat ini, kalangan ulama berbeda pendapat. Ada yang menerima ada yang menolak. Namun essensi dari ayat ini yang harus menjadi perhatian adalah perintah untuk ”tabayyun” -- bersungguh-sungguh mencari kejelasan, atau dalam ungkapan lain ”investigasi” -- penyelidikan yang seksama.
Dalam kasus lain, Nabiyullah Muhammad Saw pernah dibuat gundah dan sedih atas berita kurang sedap yang beredar di kalangan masyarakat Madinah. Yakni gosip tentang hubungan ’Aisyah dengan Shafwan Ibn Mu’aththal yang bermula dengan tertinggalnya ’Aisyah dari rombongan Nabi usai pertempuran Bani Musthalaq (sebelum kaum ini masuk Islam). Diriwayatkan, tatkala jarak kota Madinah sudah tidak terlalu jauh, Nabi Saw mengizinkan pasukan bermalam dan kembali menjelang fajar. Mendengar rencana itu, ’Aisyah keluar kemah untuk suatu keperluan, kemudian kembali.
Tiba-tiba dia merasa kalungnya hilang, lalu dia pergi lagi mencarinya. Sementara itu, rombongan berangkat dengan persangkaan bahwa 'Aisyah masih ada dalam sekedup. Setelah 'Aisyah mengetahui, sekedupnya sudah berangkat dia duduk di tempatnya dan mengharapkan sekedup itu akan kembali menjemputnya. Kebetulan, lewat ditempat itu seorang sahabat Nabi, Shafwan Ibnu Mu'aththal, diketemukannya seseorang sedang tidur sendirian dan dia terkejut. Shafwan mengenal ’Aisyah sejak sebelum perintah hijab turun. 'Aisyah terbangun. lalu dia dipersilahkan oleh Shafwan mengendarai untanya. Syafwan berjalan menuntun unta sampai mereka tiba di Madinah. Orang-orang yang melihat mereka membicarakannya menurut pendapat masing-masing. Mulailah timbul desas-desus. Kemudian kaum munafik yang dikomandani Abdullah ibn Ubay ibn Salul membesar- besarkannya. Maka fitnahan atas 'Aisyah r.a. itupun bertambah luas, sehingga menimbulkan kegoncangan di kalangan kaum muslimin.
Ketika tersebarnya isu itu, Nabi Saw gundah dan bimbang. Beliau mencari informasi dari banyak fihak, termasuk dari istri beliau yang selama ini ”bersaing” dengan ’Aisyah. Tapi Zainab binti Jahsy, sang kompetitor, sama sekali tidak mendiskreditkan ’Aisyah. Zainab berkata, ”Saya tidak mengetahui kecuali yang baik dari ’Aisyah.”
Dalam kegelisahan itu, Nabi Saw tidak berbuat gegabah kepada ’Aisyah. Dalam hati kecil, beliau tidak mungkin membenarkan isu itu. Dan kegelisahan Nabi baru berakhir dengan turunnya ayat-ayat Qs. An Nuur ayat 11-26. Selain mengklarifikasi kebohongan cerita soal perselingkuhan ’Aisyah yang mulia, ayat-ayat itu dan ayat-ayat sebelumnya berisi uraian tentang tahapan penerimaan atas berita yang tidak jelas kebenarannya dan hukuman yang dikenakan kepada para penyebar kebohongan. "Sesungguhnya orang-orang yang membawa berita bohong itu adalah dari golongan kamu juga.Janganlah kamu kira bahwa berita bohong itu buruk bagi kamu bahkan ia adalah baik bagi kamu.Tiap-tiap seseorang dari mereka mendapat balasan dari dosa yang dikerjakannya. dan siapa di antara mereka yang mengambil bahagian yang terbesar dalam penyiaran berita bohong itu baginya azab yang besar” (Qs. An Nuur ayat 11).
Berita buruk itu ada manfaatnya, dalam konteks ayat di atas, adalah untuk membedakan mana orang-orang yang beriman, yang jujur, dan orang-orang munafik yang bercampur baur dalam komunitas Muslim di Madinah.
Salah satu pelajaran dari ayat ini yang harus menjadi perhatian adalah perintah untuk berhati-hati menerima kabar buruk yang ditimpakan kepada seseorang yang telah kita kenal integritas kejujurannya, harus bersungguh-sungguh mencari kejelasan, mengadakan ”investigasi” -- penyelidikan yang seksama. Atau dalam ungkapan seperti cerita pertama, ”tabayyun”.
Dua kasus di atas, yang tertera dalam berbagai tafsir dan shirah memberi gambaran akan adanya ”the power of tabayyun.” Kekuatan dari tabayyun. Dalam komunitas dimana kejujuran masih dapat diandalkan, maka tabayyun menjadi jalan untuk menghapus kebohongan. Usai kebohongan terbongkar, kasus pun menjadi reda, nama baik tertuduh menjadi baik kembali.
Mungkin berbeda dengan yang terjadi di negara kita sekarang ini. The power of tabayyun telah menjadi pembuka kotak pandora, yang mengeluarkan banyak sekali kebusukan yang lama tersimpan. Justru karena tabayyun, pencarian kejelasan dari lontaran-lontaran Susno Duaji yang semula dianggap serampangan, banyak makelar kasus, mafia pajak, yang terbongkar kejahatannya. Memang belum semua dapat dibuktikan. Tapi dengan adanya ’the power of tabayyun’, masyarakat dilihatkan betapa banyaknya kebusukan telah berlangsung selama ini di arasy yang hampir tidak tersentuh sebelumnya.
Tentu bekerjanya the power of tabayyun itu tidak tergantung kepada Susno. Karena yang lebih penting lagi adalah, setelah tabayyun dilakukan, tindakan apa yang selanjutnya harus kita ambil. Tabayyun saja, mungkin tidak akan memperbaiki keadaan jika tidak ada tindak lanjutnya. Allahu a’lam. (Zainul Arifin/Pontianak)
0 komentar:
Posting Komentar