Oleh: TEGUH WINARSHO AS *
Esoknya tiga santri Kyai Barnawi menemui Sadikin dan Ki Sangir. Di pintu gerbang padepokan, tiga santri Kyai Barnawi dihadang para cantrik yang sedang belajar ilmu kanuragan. Mereka merasa terusik melihat kedatangan tiga laki-laki berjubah putih dan bersurban. Hampir saja terjadi perkelahian seru sebelum beberapa mantan santri Kyai Barnawi yang telah menjadi cantrik di padepokan itu melerai dan menyuruh mereka masuk ke dalam. Di depan Sadikin dan Ki Sangir, tiga santri muda itu langsung menyampaikan pesan Kyai Barnawi. Tapi Sadikin justru menggebrak meja, meradang marah-marah. Kedua bola matanya hampir meloncat keluar. Sambil berjalan terpincang-pincang ia mencengkram leher salah seorang santri. “Katakan pada Barnawi, malam nanti aku mengajaknya bertarung. Jika aku kalah padepokan ini akan kububarkan. Tapi jika dia yang kalah, pesantrennya akan kubakar!” Berkata begitu, Sadikin meludah. Ki Sangir tersenyum mengangguk-angguk. Tiga santri Kyai Barnawi pulang menahan sakit hati. Mengutuk Sadikin biar lekas mampus. Tapi mereka cukup bijaksana untuk tidak menyampaikan tantangan Sadikin pada Kyai Barnawi. Mereka tidak ingin sesuatu buruk menimpa Kyai Barnawi. Diam-diam mereka mengakui kesaktian laki-laki tua pincang yang susah mati itu.
Sejak awal Ki Sangir paham Kyai Barnawi akan menjadi ancaman besar bagi padepokan. Ajaran-ajaran Kyai Barnawi bisa membuat para cantrik bubar. Itu artinya ia tak bisa makan enak dan menghisap tembakau tjap Tjitoek yang harganya cukup mahal. Maka sepulang tiga santri Kyai Barnawi, Ki Sangir mengajak Sadikin berembug mengatur siasat agar penduduk Panjen tak berpaling dari padepokan. Tapi otak Sadikin yang berulangkali membentur batu selalu buntu. Ki Sangir terus berpikir keras hingga tiba-tiba di kepalanya terbesit ide cemerlang saat melihat kaki Sadikin yang pincang dan kepalanya tengkleng ke kiri. “Perempuan iblis penunggu kali itu! Ya, ya, aku tahu! Perempuan iblis itu bisa menolong kita! Aku akan menamainya Nyi Ratu Krasak!” ucap Ki Sangir bersemangat.
Sadikin yang merasa terhina kaki pincangnya ditatap dengan cara aneh oleh Ki Sangir hampir meludahi wajah laki-laki di depannya itu. Sadikin tidak hanya terhina tapi juga tidak paham maksud perkataan Ki Sangir yang diucapkan dengan wajah sumringah. “Jaga pandanganmu atau kusumpahi matamu picak!” Sadikin mendengus hampir meludah. Ki Sangir pucat wajahnya, terbata-bata menjelaskan. “Maaf, aku tak bermaksud menghina sampean. Aku hanya dapat ide setelah melihat kaki sampean yang pincang. Begini, penduduk dusun ini sangat percaya dengan cerita perempuan iblis penunggu kali Krasak yang terus memakan korban para kuli pengangkut batu. Itu memang benar-benar ada. Dan aku berani bersumpah kepercayaan mereka pada perempuan iblis itu hampir menyamai keyakinan pada Gusti Allah. Untuk itu aku akan katakan pada mereka kalau mau selamat dari godaan perempuan iblis itu mereka harus memberi sesaji berupa potongan kepala kambing betina bunting setiap malam jum’at kliwon. Aku akan mengenalkan perempuan iblis itu sebagai Nyi Ratu Krasak. Aku tahu Kyai Barnawi benci ritual-ritual seperti ini. Dia pasti marah besar. Tapi di sinilah medan pertarungan yang sebenarnya. Ini letak kemenangan kita. Aku yakin penduduk akan percaya omongan kita dari pada ceramah-ceramah Kyai Barnawi yang hanya membual dan menjual sepotong dua potong ayat suci. Sebab aku sendiri nanti yang akan mengurus Nyi Ratu Krasak dengan melakukan ritual sirnahangenti”.
“Sirnahangenti?” Sadikin mendongak memicingkan mata. Daging di pipinya terlihat menggelambir menutupi empat gigi depannya yang rompal. “Artinya sampean akan menjadikan Nyi Ratu Krasak sebagai istri? Bersetubuh dengan makhluk gaib? Bagaimana dengan Suni istri muda sampean?” Sadikin menggeleng-geleng kepala tidak percaya. Ki Sangir menatap Sadikin tajam. Ada sedikit cemas berkelebat di matanya tapi segera disembunyikan. Ia tak mau terlihat lemah di depan laki-laki pincang itu. “Hanya ini pilihan terakhir untuk mengaburkan ajaran Kyai Barnawi. Dia membawa ajaran islam dari tanah Arab tapi lupa di mana sekarang berada. Penduduk tanah Jawa lebih percaya segala bentuk sesaji dan kekuatan mistis yang berpangkal dari alam; tanah, api dan udara. Mereka harus selalu kita ingatkan untuk tetap menjaga warisan para leluhur sebelum keturunan mereka dikutuk menjadi sekumpulan monyet atau babi!”
Sadikin terkesima mendengar penjelasan Ki Sangir yang panjang lebar. Tak salah ia mengangkat laki-laki itu menjadi pemimpin padepokan. Setiap hari upeti mengalir dari para cantrik yang ingin mendalami ilmu kanuragan. Hidup seolah menjadi begitu mudah justru setelah kakinya pincang dan kepalanya tengkleng ke kiri. Tuhan memang maha adil. Di balik bencana selalu ada hikmah tersembunyi. Demikian hati Sadikin tak pernah henti bersyukur sambil memegangi perutnya yang perlahan-lahan buncit. Tak pernah terbayangkan kemelaratan puluhan tahun lalu berbalik menempatkan dirinya menjadi orang terpandang. Tapi diam-diam Sadikin memendam gusar. Ia sadar sesungguhnya tak memiliki kesaktian apa-apa kecuali berkali-kali bunuh diri tapi tidak mati. Kesaktian dan pamor Ki Sangir bisa menjungkirkannya dalam sekejap menjadi makhluk paling hina serupa kadal. Terpikir oleh Sadikin suatu saat harus membunuh Ki Sangir agar tetap menjadi orang nomor satu di padepokan. Tapi rupanya bukan hanya itu saja yang membuat Sadikin gusar. Sebab Ki Sangir lupa satu hal. Sadikin kemudian mencoba mengingatkan. “Bagaimana dengan anakmu, Sangir? Dia menjadi santri Kyai Barnawi. Aku kawatir dia yang akan menghalang-halangi langkahmu sendiri. Apakah tidak sebaiknya dia dibunuh?” Suara Sadikin sinis membuang pandang ke halaman. Tentu ini hanya permulaan sebab tujuan akhir adalah membunuh Ki Sangir sendiri.
Ki Sangir yang baru menghisap tembakau tersedak batuk-batuk. Dadanya panas mendengar ucapan Sadikin. Ia tidak percaya laki-laki pincang itu melontarkan kalimat seperti itu. Hanya binatang yang tega membunuh darah daging sendiri. Ki Sangir diam-diam kecewa sebab Sadikin seperti lupa padepokannya bisa maju pesat semata-mata karena campur tangannya. Kini setelah kesuksesan ada di depan mata laki-laki pincang itu mulai berani lancang. Perasaan Ki Sangir semakin rusuh. Darahnya mengalir lebih cepat dari sebelumnya. Ia baru ingat ternyata bukan hanya Kyai Barnawi yang menjadi ancaman padepokan tapi justru Sadikin sendiri. Ia harus menyingkirkan semua ancaman dan itu akan lebih baik jika dimulai dari orang terdekat. Tapi ia tahu Sadikin tidak mudah mati. Sadikin seperti seekor kucing yang memiliki nyawa rangkap meski berkali-kali sekarat. Itu pula yang membuat laki-laki pincang itu disegani oleh penduduk Panjen. Ia harus mencari titik kelemahan Sadikin sebelum mengirimnya ke neraka.
“Sangir, darahmu mengalir di tubuh anakmu. Aku tahu anakmu pasti mewarisi kesaktianmu. Jika suatu hari Kyai Barnawi dan anakmu bersatu maka padepokan ini bisa habis. Jangan terlalu sombong dengan kesaktianmu, Sangir. Atas nama perang suci Kyai Barnawi bisa mendoktrin anakmu untuk menyembelih lehermu di tiang gantungan…” Suara Sadikin masih sinis membuang pandang ke halaman menatap beberapa cantrik yang sedang meloncat-loncat belajar terbang atau berdiri dengan satu kaki di pucuk pohon kelapa dan atau hinggap di daun pisang. Tubuh mereka terlihat ringan seperti kapas, sesekali bergoyang namun tidak jatuh. Untuk kedua kalinya Ki Sangir merasa dadanya panas terbakar. Darahnya berkelupuk hangat sesekali mengerjat. Tapi Ki Sangir mencoba sabar, tersenyum. Ia tak mau gegabah untuk rencana yang lebih besar. Seorang ksatria utama harus merengkuh musuh menjadi kawan sejati sebelum diam-diam menikam dari belakang. Ki Sangir menghembuskan asap tembakaunya ke udara dan dengan wajah ringan berkata: “Aku memang akan menyingkirkannya tapi bukan dengan membunuhnya. Sejak kecil ia mau jadi tentara. Aku akan segera mengirimnya menjadi prajurit yang tangkas dan trampil berperang! Tapi bukan di sini!” (bersambung)
*) TEGUH WINARSHO AS, lahir di Kulonprogo, Yogyakarta, 27 Desember. Buku-bukunya yang sudah terbit, kumpulan cerpen Bidadari Bersayap Belati (Gamamedia, 2002), Perempuan Semua Orang (Arrus, 2004), Kabar dari Langit (Assyamil, 2004), Tato Naga (Grasindo, 2005), dan novel: Tunggu Aku di Ulegle, roman dan tragedi di bumi serambi mekah (Bening Publishing, 2005), Jadikan Aku Pacar Gelapmu (Arrus, 2006). Novelnya: Di Bawah Hujan dimuat bersambung di harian sore Suara Pembaruan (2000), Orang-Orang Bertopeng dimuat di Sinar Harapan (2002), Purnama di Atas Jakarta dimuat Republika (2005). Kini mengibarkan bendera dengan nama penerbitan Lafal Indonesia.
2 komentar:
Tulisannya bagus-bagus.
hebat!
terima kasih...
Posting Komentar