Sabtu, 30 April 2011 By: sanggar bunga padi

Anemia Ancam Kecerdasan Anak

Anemia atau kurang darah masih merupakan masalah kesehatan yang menonjol terutama di negara berkembang seperti Indonesia. Penyakit ini ditandai rendahnya kadar hemoglobin (Hb) dalam darah. Hemoglobin merupakan pigmen protein yang memberi warna pada darah dan bertugas membawa oksigen ke paru-paru lalu didistribusikan ke seluruh jaringan dan organ tubuh untuk melakukan pembakaran yang menghasilkan energi.

Menurut kriteria Badan Kesehatan Dunia (WHO), anemia pada anak usia kurang dari 6 tahun ditandai kadar hemoglobin (Hb) kurang dari 11 gram per desiliter (dl). Pada anak usia lebih dari 6 tahun ditandai Hb kurang dari 12 gram per dl. Jika kadar hemoglobin rendah, seseorang akan cepat letih, lesu, lemah, pucat, pusing, dan mudah mengantuk. Penyebab langsung anemia adalah asupan makanan tidak cukup secara kuantitas dan kualitas, serta infeksi penyakit seperti cacingan.

Jadi, keadaan cacingan dan anemia merupakan indikasi kemungkinan gizi kurang sehingga menghambat tumbuh kembang anak. ”Anemia berdampak pada menurunnya daya tangkap dan konsentrasi yang akan berpengaruh pada prestasi belajar anak,” kata dr Djajadiman Gatot dari Divisi Hematologi Onkologi Departemen Ilmu Kesehatan Anak Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.

Anemia kerap dianggap sebagai penyakit biasa. Padahal, kekurangan zat besi pada masa kanak-kanak, terutama 5 tahun pertama kehidupan yang tidak diatasi dapat menimbulkan dampak serius yang sulit dipulihkan, terutama kecerdasannya.

Anemia, yang dalam bahasa awam disebut kurang darah, ditandai dengan berkurangnya kadar hemoglobin di bawah normal sesuai dengan usianya. Berdasarkan kriteria WHO,  anemia pada anak kurang dari 5 tahun ditandai  dengan nilai hemoglobin kurang dari 11 dan hematokrit kurang dari 33.  Untuk mengetahuinya memang diperlukan pemeriksaan darah di laboratorium.

Prof.dr.Djajadiman Gatot, Sp.A (K), dari Divisi Hematologi Onkologi Departemen Ilmu Anak FKUI/RSCM menjelaskan anemia defisiensi zat besi (ADB) merupakan kasus anemia yang paling sering dijumpai. "Setiap kelompok usia anak rentan terhadap hal ini, namun kelompok yang paling tinggi mengalami ADB adalah balita 0-5 tahun," katanya dalam acara seminar Action for Iron Deficiency Anemia yang digelar Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI) di Jakarta beberapa waktu lalu.

Anemia defisiensi besi pada umumnya disebabkan karena faktor kekurangan gizi, penyerapan makanan yang kurang baik, cepatnya pertumbuhan bayi dan remaja,  kecacingan, infeksi menahun, atau penyakit yang menyebabkan penghancuran sel darah merah. "Polusi yang berlebihan yang masuk ke dalam tubuh juga bisa menggeser kadar besi," imbuh Djajadiman yang saat ini menjadi ketua satuan tugas Anemia Defisiensi Besi IDAI itu.

Berdasarkan hasil Survei Kesehatan Rumah Tangga  2001, 47 persen balita menderita anemia defisiensi besi. Angka ini tidak beranjak jauh pada Riskesdas 2007 yang menemukan satu dari empat anak usia sekolah dasar menderita kekurangan besi. Asian Development Bank menyebutkan sekitar 22 juta anak Indonesia terkena anemia.  

Anemia merupakan masalah serius. Menurut dr.Soedjatmiko, Sp.A (K), anak yang kekurangan besi pada masa bayi memiliki risiko gangguan pertumbuhan dan perkembangan jangka panjang serius, seperti gangguan konsentrasi belajar serta kecerdasan anak menurun. "Kekurangan besi sejak dalam kandungan sampai usia 2 tahun akan mengganggu perkembangan cabang-cabang dan sambungan antar sel otak sehingga kecerdasan anak rendah," papar Soedjatmiko.

Lebih dari itu, kekurangan besi juga menghambat pembentukan zat neurotransmiter yang penting untuk pengendalian emosi, pemusatan perhatian dan perilaku anak. "Akibatnya anak rentan mengalami gangguan perilaku seperti bersikap agresif dan kapasitas pemecahan masalahnya rendah," katanya.

Tahapan

Meski selama ini anemia lebih dikenal karena menimbulkan gejala yang khas seperti pucat, lemah, letih, dan lesu, namun ternyata menurut Prof.Djajadiman, sebenarnya kekurangan besi sudah dapat terjadi sebelum menimbulkan gejala. "Bila anemia terjadi dalam jangka waktu lama, meski kadar hemoglobinnya rendah, bisa saja tidak menunjukkan gejala khas karena tubuh telah beradaptasi," tegasnya
.
Ia menambahkan, anemia tidak terjadi dalam satu malam namun melalui tiga tahapan. Pertama adalah deplesi besi atau tahap awal tubuh kekurangan besi. "Pada tahap ini cadangan besi dalam tubuh mulai berkurang tapi besi dalam plasma masih normal begitu pula nilai hemoglobin dan hematokrit," katanya.

Tahap selanjutnya adalah defisiensi besi tanpa anemia dimana cadangan besi, besi dalam plasma juga sudah berkurang tetapi hemoglobin masih normal. Pada tingkat lebih lanjut sudah terjadi anemia defisiensi besi dimana besi dalam plasma dan nilai hemogloin sudah menurun.  

Itu sebabnya, menurut Djajadiman sebenarnya pemeriksaan hemoglobin saja tidak cukup untuk mengetahui apakah seorang anak mengalami ADB atau tidak.  "Perlu diperiksa juga kadar serum feritin yang menunjukkan total cadangan besi," imbuhnya.

Suplementasi

Anemia yang tidak ditanggulangi jelas akan berpengaruh pada kualitas generasi mendatang karena konsekuensi anemia di masa kanak-kanak akan berlanjut sampai dewasa. Saat ini IDAI telah mengeluarkan pedoman pemberian suplementasi besi kepada anak dan bayi untuk menghindari ADB. Pemberian suplementasi besi ini juga sejalan dengan panduan WHO tahun 1998 yang menyatakan negara yang prevalensi anemianya lebih dari 40 persen perlu diberikan suplementasi besi tanpa dilakukan skrining. "Jika hanya mengandalkan makanan yang mengandung besi saja tidak cukup karena anak harus mengonsumsi makanan dalam jumlah yang sangat banyak, padahal daya tampung perut anak kecil," kata Djajadiman. Melakukan skirining pada seluruh anak yang beresiko ADB juga dinilai terlalu mahal.

Ditambahkan oleh Soedjatmiko, pemberian suplementasi besi sudah terbukti aman. "Beberapa penelitian sudah membuktikannya, dalam dosis rendah suplementasi besi tidak berbahaya" katanya. Ia mengutip hasil riset di Chile terhadap 1.123 bayi sehat yang lahir cukup bulan dengan kadar hemoglobin normal dan seluruhnya diberikan suplementasi besi. Hasilnya, bayi yang mendapat besi menjadi tidak rewel dan interaksi sosialnya meningkat. 

Suplementasi besi ini, menurut dr.Badriul Hegar, Sp.A (K), ketua IDAI, diiringi dengan upaya peningkatan pemahaman akan bahaya anemia dan upaya pencegahannya. "Tidak hanya terpaku pada besi saja tapi perbaikan pola makan secara keseluruhan, dimulai dari ibu hamil," katanya. (Lusia Kus Anna)

Sumber: Kompas.com

0 komentar:

Posting Komentar

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...