Minggu, 17 April 2011 By: sanggar bunga padi

Aku Bukan Sekuntum Bunga (bagian 17)

Oleh: TEGUH WINARSHO AS *
Beberapa hari lalu Fatma sudah melayangkan sepucuk surat balasan pada Salman yang intinya menerima cinta Salman. Tapi kini tiba-tiba Fatma bingung,  tidak mengerti dengan apa yang sudah ia lakukan tempo hari. Kadang Fatma merasa bodoh telah menerima cinta Salman. Saat lain Fatma tak bisa menolak cinta Salman. Tapi yang jelas akhir-akhir ini Fatma sering merasa kepalanya pusing. Berdenyut-denyut seperti disengat ribuan lebah.
Fatma menjatuhkan tubuhnya di ranjang menatap langit-langit kamar. Fatma mencoba membunuh ingatannya pada Salman. Tapi tiba-tiba terdengar seseorang mengetuk pintu kamar. Malas Fatma bangkit membuka pintu. Tampak Umi berdiri di depan pintu, tersenyum.
"Ada apa, Umi?"
"Itu, ada yang datang…" Umi mengerlingkan matanya sambil menunjuk ruang tamu.
"Siapa?"
"Lihatlah sendiri."
Fatma cukup menyibak sedikit gordyn pintu ruang tamu dan ia segera tahu siapa yang datang. Salman.
Kerinduan, kebencian, kemarahan, campur aduk jadi satu saat menatap Salman. Membuat Fatma gamang, bingung, tidak tahu apa yang harus ia lakukan. Setelah berdiam cukup lama, perlahan-lahan Fatma bergerak mendekati cermin, mengenakan kerudung lalu berjalan keluar menghampiri Salman. Fatma ingin segera melihat laki-laki itu karena mendadak hatinya ditangkup rindu. Tapi ketika sampai di ruang tamu mendadak Fatma ingin marah-marah pada laki-laki itu karena kebencian tiba-tiba menyelinap dalam dada, menggumpal seperti kabut pekat. Tapi…
“Apa kabar, Fatma?” suara lembut Salman mampu mengoyak kebencian Fatma.
 "Baik. Sudah lama menunggu, Man?" ucap Fatma parau. Kemarahan yang tadi menggumpal dalam dada tiba-tiba kini lenyap begitu sampai di ruang tamu, duduk berhadapan dengan Salman. Mendengar sapaan Salman.
Fatma tidak tahu kenapa dirinya bisa begitu. Selalu dan selalu tak berkutik berhadapan dengan laki-laki itu. Tapi memang, kadang Fatma melihat sorot mata Salman begitu aneh. Ganjil. Ada apa?
"Belum terlalu lama…" Salman menjawab, sorot matanya begitu terkesima menatap seraut wajah cantik didepannya. Ah, akhirnya kau kudapat juga, pikir Salman dalam hati. Salman kini mengakui betapa serbuk hijau yang dulu ia tuang ke dalam minuman Fatma benar-benar mujarab. Tak sia-sia perjuangannya selama ini. Tapi Salman sadar perjuangannya masih sangat panjang. Mungkin lebih panjang dari dugaan kedua orang tuanya yang kini sudah mengetahui hubungan cintanya dengan Fatma dan mendesaknya untuk segera menikah. Bahkan diam-diam kedua orang tua itu kini sedang sibuk mencari hari dan tangggal yang baik untuk pelamaran. 
Fatma bingung harus berkata apa lagi. Suasana hatinya mendadak kacau. Perasaan cinta, rindu, benci, marah, kembali datang timbul tenggelam. Akhirnya Fatma lebih banyak menunduk, diam. Lagi-lagi kesempatan ini digunakan Salman untuk menatap sepuas-puasnya sosok cantik didepannya.
"Apa yang kamu pikirkan, Fat?" suara Salman mengejutkan Fatma.
Sejenak Fatma menatap sosok laki-laki didepannya. Lagi, ada rindu tiba-tiba menyelinap dada, disusul benci datang bertubi-tubi. Dan, lagi, Fatma menjumpai keganjilan pada sorot mata laki-laki itu. Begitu kelam seperti lembah yang dalam. Fatma selalu tak kuasa menatap bola mata itu berlama-lama. Satu kekuatan aneh seperti mempengaruhi dirinya ketika menatap bola mata laki-laki itu. Bola mata yang menyimpan banyak rahasia.
"Tidak. Aku tidak memikirkan apa-apa…." Fatma gagap membenahi letak kerudungnya.
"Tapi kenapa dari tadi kamu diam saja?"
"Diam? Ah, mestinya kamu yang bicara. Kamu yang datang kemari."
Salman tersenyum. Tapi bagi Fatma, senyum itu seperti racun yang sebentar lagi bakal menghabisinya. Fatma ingin membalas senyum itu, tapi yang keluar dari mulutnya justru helaan nafas panjang seperti rasa sakit yang tiba-tiba datang menyerang. Tapi Salman terlalu bodoh untuk mengerti hal itu. Hati Salman sudah terlanjur buta diliputi perasaan cinta.
***
Cut Hindar datang tergopoh-gopoh ke rumah Fatma. Kalau bukan karena kabar penting yang ingin disampaikan, tentu tidak mungkin janda pemilik warung kopi itu sesiang terik begini mau datang ke rumah Fatma. Pasti ada hal penting yang ingin disampaikan Cut Hindar. Mungkin kabar itu untuk Fatma. Atau untuk orang tua Fatma. Tapi kabar apa? Berita apa? Hanya Cut Hindar sendiri yang tahu.
Cut Hindar mengetuk pintu keras, membuat Fatma yang sedang tidur-tiduran di kamar kaget. Ketukan pintu yang terlalu keras, menyerupai gedoran, memang sering membangkitkan kenangan Fatma pada gerombolan orang bertopeng. Fatma menahan jantungnya yang tiba-tiba berdegup kencang sambil jalan mengendap-endap menghampiri pintu. Diintipnya si pengetuk pintu lewat lubang kunci. Tapi lubang kunci terlalu sepit, Fatma tak menemukan siapa-siapa di luar kecuali udara siang yang terik membakar.
"Siapa?" Fatma memberanikan diri bertanya.
"Aku. Hindar," jawab suara dari luar melegakan hati Fatma.
"Ada apa, Cut Hindar? Tidak biasanya datang ke rumah. Siang-siang lagi?" Fatma membuka pintu.
Cut Hindar yang ditanya kelihatan gugup.  Menoleh kesana kemari seperti kawatir jika ada orang yang melihat kedatangannya. Cut Hindar terus meremas-remas jemarinya seperti meremas rendaman cucian. Wajahnya kian gelisah. Basah berkeringat.
"Kenapa? Ada apa?"
Cut Hindar tidak menjawab, justru menarik lengan Fatma ke sudut halaman yang terlindung pohon lebat.
"Ehmm....., ada  berita  penting." Mulut Cut Hindar mulai terbuka.
"Berita penting? Apa?"
"Salman. Ini berkaitan dengan Salman."
"Salman? Kenapa dengan dia? Ditangkap gerombolan orang bertopeng lagi?"
Cut Hindar menggeleng. Mengatur nafasnya supaya pulih teratur. Tapi mendadak Cut Hindar seperti ragu dengan sesuatu yang akan ia sampaikan. Masih perlukah? Cukup pentingkah? Jangan-jangan itu hanya cerita konyol yang tidak penting, batin Cut Hindar berkecamuk.
"Begini," Cut Hindar akhirnya mulai bicara lagi. "dua malam yang lalu Salman ketiduran di warungku. Dalam tidurnya dia mengigau, meracau. Sempat pula dia menyebut-nyebut namamu...." Cut Hindar berhenti sebentar mengingat-ingat sesuatu.
"Lantas?" Fatma mengerutkan kening. Masih bingung, tidak paham dengan omongan Cut Hindar.
"Kamu boleh percaya, boleh tidak," suara Cut Hindar berubah pelan, penuh keragu-raguan. "Tapi aku mendengar sendiri… " lagi Cut Hindar berhenti. Ragu.
"Katakan saja. Tidak usah takut....."
"Dalam igauannya itu, Salman sempat bilang begini, 'telah kutuang serbuk hijau  ke dalam minuman Fatma. Telah kubaca mantra pengasihan itu berulang-ulang. Tapi mana hasilnya? Fatma tak kunjung mencintaiku. Fatma tak pernah mencintaiku' dan masih banyak lagi. Juga kata-kata kasar dan jorok. Aku sampai merinding campur geli. Terus terang, aku cemas jika Salman berbuat tak baik padamu. Semua orang tahu dia tergila-gila padamu."
Fatma sangat terkejut mendengar cerita Cut Hindar. Tapi Fatma mencoba bersikap biasa di depan Cut Hindar.
"Ah, mudah-mudahan itu hanya igauan orang tidur saja. Biasa, kalau orang lagi jatuh cinta kelakuannya sering macam-macam. Aneh-aneh. Sampai terbawa dalam tidur. Tapi terimakasih Cut Hindar sudah mau berbagi cerita. Sekarang aku akan lebih berhati-hati."
Cut Hindar mengangguk-angguk.
Sebelum pamit pulang, berkali-kali Cut Hindar minta maaf jika cerita itu hanya merisaukan hati Fatma. Tapi Fatma bilang tidak apa-apa. Untuk kesekian kali Fatma malah berterimakasih.(bersambung)

* Teguh Winarsho AS, cerpenis/novelis kelahiran Kulon Progo tahun 1973. Pernah mendapat kehormatan sebagai cerpenis terbaik se-Jawa Tengah versi Universitas Jenderal Sudirman Purwokerto. Cerpen-cerpennya banyak menghiasi media massa, seperti Republika, Kompas, Horison, Media Indonesia, Koran Tempo, The Jakarta Post, Matra, Suara Karya, Sinar Harapan, Suara Pembaruan, Kedaulatan Rakyat, Bernas, Lampung Post, Bisnis Indonesia, Warta Kota, Pikiran Rakyat, Trans Sumatera, Jawa Pos, Surabaya Post, Minggu Pagi, Suara Merdeka, Wawasan, Solo Pos, Annida, Sabili, Nova, Citra dll. 

Tulisan-tulisannya dalam bentuk antologi bersama adalah Tamansari (Pustaka Pelajar, 1998), Aceh Mendesah dalam Nafasku (Kasuha, 1999), Embun Tajalli (Aksara, 2000), Bunga-Bunga Cinta (Senayan Abadi, 2003), Wajah di Balik Jendela (Lazuardi, 2003), Jika Cinta (Senayan Abadi, 2003), Pipit Tak Selamanya Luka (Senayan Abadi, 2003), Jalan Tuhan (Lazuardi 2004), dll. Kumpulan cerpen tunggalnya yang telah terbit, Bidadari Bersayap Belati (Gama Media, 2002), Perempuan Semua Orang (Arruzz, 2004). Salah satu cerpennya masuk dalam kumpulan cerpen pilihan Kompas tahun 2003. Sementara novelnya Di Bawah Hujan dimuat bersambung di harian Suara Pembaruan, edisi 10 April - 07 Juni 2000. Novel Orang-Orang Bertopeng dimuat bersambung di harian Sinar Harapan, edisi 27 Maret-10 Mei 2002.

(Cerita ini pernah dimuat bersambung di harian Sinar Harapan dengan judul Orang-Orang Bertopeng)

0 komentar:

Posting Komentar

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...