Selasa, 12 April 2011 By: sanggar bunga padi

Aku Bukan Sekuntum Bunga (bagian 11)

Oleh: TEGUH WINARSHO AS *
 Salman memang berubah. Terutama sejak dipanggil pimpinan gerombolan orang bertopeng. Hasan bisa membaca perubahan itu. Tapi Hasan tidak cukup tahu bahwa perubahan itu sebenarnya sudah berlangsung lama. Tepatnya sejak Salman melihat foto Fatma. Ya, sejak itu sebenarnya Salman mulai berubah. Caranya bicara, caranya menatap, tidak seperti dulu-dulu lagi. Hasan terlalu lugu untuk mengerti hal itu. Hasan terlalu jujur untuk curiga pada teman sendiri. Hasan berpikir Salman berubah karena panggilan pimpinan gerombolan orang bertopeng.
Salman masih rebahan di atas tikar ketika Hasan mondar-mandir ke wc. Wajah Salman tampak kuyu muram. Salman memang lagi banyak persoalan. Bukan saja persoalan hatinya yang tiba-tiba sering merindukan Fatma. Tapi juga persoalan rumit lain yang harus segara diselesaikan. Diputuskan!
Ya. Beberapa hari lalu sebuah tawaran menarik, ajaib, disodorkan pimpinan gerombolan orang bertopeng pada Salman. Tawaran itu berlaku jika Salman bersedia menunjukkan letak persembunyian seorang laki-laki bernama Zaini Paleun yang oleh pimpinan gerombolan orang bertopeng dicurigai sebagai dalang kerusuhan dan keonaran yang kerap meneror penduduk kampung. Salman sebenarnya tidak tahu siapa laki-laki bernama Zaini Paleun, seperti apa rupanya, apalagi tempat persembunyiannya. Karena itulah Salman menyebut tawaran itu tawaran ajaib. Bagaimana tidak, ia diminta menunjukkan letak persembunyian orang yang sama sekali tidak ia kenal. Lalu, ia akan dibebaskan! Dibebaskan? Ya, dibebaskan! Pimpinan gerombolan orang bertopeng sangat serius dengan ucapannya. Salman percaya.
Sebelumnya Salman memang sempat mengarang-ngarang cerita seperti apa ciri-ciri fisik Zaini Paleun, laki-laki tak dikenal itu, dan anehnya pimpinan gerombolan orang bertopeng percaya begitu saja. Karenanya Salman yakin pimpinan gerombolan orang bertopeng berikut anak buahnya pasti juga belum pernah melihat tampang Zaini Paleun. Mereka mungkin baru hanya mendengar namanya saja.
Salman masih ingat bagaimana pertanyaan-pertanyaan pimpinan gerombolan orang bertopeng dilontarkan kepadanya berkaitan dengan Zaini Paleun. Tentang aktivitas Zaini Paleun sehari-hari. Jumlah pengikut Zaini Paleun. Kekuatan Zaini Paleun. Nama kedua orang tua Zaini Paleun, istri Zaini Paleun, anak Zaini Paleun, dan masih banyak lagi. Salman menjawab semua pertanyaan itu dengan lancar. Hanya satu pertanyaan yang Salman tidak mau menjawab, yaitu ketika ditanya di mana tempat persembunyian Zaini Paleun. Berkali-kali pimpinan gerombolan orang bertopeng mendesak bahkan memaksa, tapi Salman tetap bungkam.
"Katakan di mana tempat persembunyian si kunyuk Zaini Paleun?" tanya pimpinan gerombolan orang bertopeng beberapa hari lalu.
Tapi Salman menggeleng. Bukan karena ia tak mau meneruskan mengarang cerita, tapi karena ia belum siap dengan pertanyaan yang mendadak itu. Bisa saja Salman menyebut nama suatu tempat, daerah, kampung, dusun, atau apa, tapi itu sangat beresiko. Salman memilih diam.
"Kenapa? Kenapa kau tak mau mengatakannya, hah?!"
Salman tetap bungkam. Pikirannya risau. Kacau. Salman sebenarnya takut jika pimpinan gerombolan orang bertopeng naik pitam lalu menyuruh anak buah menghajar dirinya. Salman sering mendengar jerit kesakitan seperti dipukul atau ditendang dari ruang sebelah. Bagaimana jika kemudian jerit itu harus keluar dari mulutnya sendiri? Salman ngeri.
"Ayo, katakan!!" lagi pimpinan gerombolan orang bertopeng berteriak keras sembari menggebrak meja hingga gelas kopi didepannya tumpah.
Salman menggigil ketakutan. Tapi mulutnya tetap terkatup rapat. Seseorang tiba-tiba mendekati pimpinan gerombolan orang bertopeng itu; bisik-bisik. Sang pimpinan hanya mengangguk-angguk.
"Jadi, kau benar-benar tak mau mengatakan di mana tempat persembunyian Zaini Paleun?" tanya pimpinan gerombolan orang bertopeng tiba-tiba berubah lembut.
Salman ingin mengangguk, tapi entah kenapa kepalanya menggeleng.
"Baiklah, sekarang begini saja," pimpinan gerombolan orang bertopeng itu menarik nafas dalam-dalam, ditahan sebentar di dada, lalu dikeluarkan perlahan-lahan. "jika kau mau menunjukkan pada kami di mana tempat persembunyian kunyuk itu, maka kau akan kami bebaskan. Bagaimana?"
"Apa?" Salman terlonjak. Wajahnya menyala.
Pimpinan gerombolan orang bertopeng tertawa pelan. Berjalan mengelilingi Salman sambil memukul-mukulkan tongkat kecil pada telapak tangannya. "Kau akan kami bebaskan jika bersedia menunjukkan tempat persembunyian si kunyuk Zaini Paleun!"
Salman menyimak setiap kata yang diucapkan pimpinan gerombolan orang bertopeng. Sejurus kemudian Salman terpekur menatap permukaan meja cokelat didepannya. Lama. Pikiran Salman bertambah kacau. Mau tidak mau ia harus mengarang nama tempat persembunyian Zaini Paleun. Tapi Salman kawatir dirinya salah menyebut, karena ternyata pimpinan gerombolan orang bertopeng itu sebenarnya tahu persis di mana tempat yang ia sebutkan itu? 
"Kau tak suka dengan tawaran kami?"
Salman tergeragap membenahi letak duduk lebih tegak. Ia tak mau kelihatan bodoh di depan pimpinan gerombolan orang bertopeng yang bisa berakibat fatal, ucapannya tidak dipercaya lagi. Harus menyakinkan. Harus percaya diri. Harus pura-pura pintar.
"Suka. Saya senang dengan tawaran Bapak. Tapi apakah tawaran Bapak bisa saya percaya? Apa jaminannya?"
"Kenapa tidak? Aku tak pernah main-main dengan setiap kata yang keluar dari mulutku."
"Sungguh?"
Lagi-lagi, pimpinan gerombolan orang bertopeng itu tertawa pelan. "Untuk apa aku bohong? Sekarang kita teman. Kita kerjasama."
Salman seperti masih belum percaya sepenuhnya dengan omongan laki-laki tinggi besar didepannya sehingga ia lebih banyak mendengar saja.
"Oke, sekarang begini saja, kau kuberi waktu tiga hari untuk mengambil keputusan. Hanya tiga hari. Tapi ingat, nyawamu sepenuhnya ada di tangan kami. Kami bisa membunuhmu kapan saja. Bahkan saat ini kami bisa melenyapkanmu. Jadi, sebaiknya ambil keputusan bijaksana yang menguntungkan kita bersama. Kami untung, kau juga untung. Bukankah sekarang kita teman?"
Salman mengangguk-angguk. Pimpinan gerombolan orang bertopeng kemudian menyalami Salman.
Tapi, malam ini, bukan persoalan itu yang merisaukan hati Salman. Bukan. Jelas nanti ia akan mengatakan pada pimpinan gerombolan orang bertopeng itu di mana tempat persembunyian Zaini Paleun. Itu tinggal menunggu waktu saja. Yang jadi persoalan, yang masih mengganjal di hati Salman sekarang adalah soal Hasan. Ya, Hasan, laki-laki lugu polos itu kini menjadi masalah besar baginya. Kenapa? Sulit dijelaskan. Yang pasti setiap malam Salman selalu teringat Fatma. Bayang-bayang Fatma begitu lekat dalam ingatannya seperti lekatnya prangko dengan amplop. Salman jatuh cinta pada Fatma!
Sebentar lagi aku akan bebas. Menghirup udara segar. Sedang Hasan entah bagaimana nasibnya. Cepat atau lambat mungkin gerombolan orang bertopeng itu akan menghabisinya. Betapa sia-sia hidup Hasan. Betapa tidak berguna. Batin Salman menguatkan hatinya.
Begitulah. Bayang-bayang Fatma terus menari-nari di kelopak mata Salman.  Dan, Salman tahu persis sebentar lagi salah seorang gerombolan orang bertopeng akan datang menjemput dirinya untuk saling mengadakan 'kerjasama'. Ya, ia akan segera bebas menghirup udara segar. Sedang Hasan? Hasan? Bagimana nasibnya? Dibunuhnya rasa kasihan dan perasaan berdosa yang selama ini menyelimuti hati Salman. Lalu diambilnya serbuk putih yang ia ambil di ruang pimpinan gerobolan orang bertopeng beberapa waktu lalu, dibubuhkan ke dalam gelas minuman Hasan ketika pemuda lugu itu sedang buang air di wc.
Salman tahu betul reaksi apa yang bakal terjadi jika serbuk putih itu masuk ke dalam lambung Hasan.
Terdengar langkah sepatu mendekat disusul suara gerendel pintu dibuka. Salman terkejut. Untung pekerjaannya sudah selesai.
"Keluar!" Orang itu bersuara sambil membuka pintu lebih lebar.
Salman keluar mengikuti langkah orang itu setelah sebelumnya diwajibkan menutup mata dengan kain hitam. Memang begitulah biasanya. Salman, Hasan, dan mungkin masih banyak lagi yang lain, seolah tidak diperkenankan melihat ruangan-ruangan yang ada di tempat itu. Karenanya dalam perjalanan menuju ruang pemeriksaan, menutup mata dengan kain hitam adalah wajib. Baru ketika sudah berada di ruang pemeriksaan kain itu boleh dibuka. Tapi tetap saja ia tak bisa mengenali orang-orang yang ada di ruangan itu karena mereka mengenakan topeng atau kain hitam.(bersambung)

* Teguh Winarsho AS, cerpenis/novelis kelahiran Kulon Progo tahun 1973. Pernah mendapat kehormatan sebagai cerpenis terbaik se-Jawa Tengah versi Universitas Jenderal Sudirman Purwokerto. Cerpen-cerpennya banyak menghiasi media massa, seperti Republika, Kompas, Horison, Media Indonesia, Koran Tempo, The Jakarta Post, Matra, Suara Karya, Sinar Harapan, Suara Pembaruan, Kedaulatan Rakyat, Bernas, Lampung Post, Bisnis Indonesia, Warta Kota, Pikiran Rakyat, Trans Sumatera, Jawa Pos, Surabaya Post, Minggu Pagi, Suara Merdeka, Wawasan, Solo Pos, Annida, Sabili, Nova, Citra dll. 

Tulisan-tulisannya dalam bentuk antologi bersama adalah Tamansari (Pustaka Pelajar, 1998), Aceh Mendesah dalam Nafasku (Kasuha, 1999), Embun Tajalli (Aksara, 2000), Bunga-Bunga Cinta (Senayan Abadi, 2003), Wajah di Balik Jendela (Lazuardi, 2003), Jika Cinta (Senayan Abadi, 2003), Pipit Tak Selamanya Luka (Senayan Abadi, 2003), Jalan Tuhan (Lazuardi 2004), dll. Kumpulan cerpen tunggalnya yang telah terbit, Bidadari Bersayap Belati (Gama Media, 2002), Perempuan Semua Orang (Arruzz, 2004). Salah satu cerpennya masuk dalam kumpulan cerpen pilihan Kompas tahun 2003. Sementara novelnya Di Bawah Hujan dimuat bersambung di harian Suara Pembaruan, edisi 10 April - 07 Juni 2000. Novel Orang-Orang Bertopeng dimuat bersambung di harian Sinar Harapan, edisi 27 Maret-10 Mei 2002.

(Cerita ini pernah dimuat bersambung di harian Sinar Harapan dengan judul Orang-Orang Bertopeng)

0 komentar:

Posting Komentar

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...