Senin, 25 April 2011 By: sanggar bunga padi

Kekerasan Yang Menggelisahkan

Hati siapa tidak tergetar dengan pembunuhan dan kerusuhan yang melanda negeri kita? Entah kenapa dalam beberapa waktu belakangan ini negeri kita, meminjam istilah Prof. Ahmad Syafi’i Ma’arif, benar-benar seperti kampung tak bertuan. Gerombolan perampok bersenjata tiba-tiba datang menyatroni kota Medan, Padang, Jakarta, Klaten, Pontianak dan lain-lain. Bank, mesin ATM, toko emas menjadi sasaran mereka. Kantor Polisi di Hamparan Perak diserang gerombolan bersenjata dan menewaskan tiga aparat yang sedang berjaga. Sementara di tempat lain, massa mengumbar kerusuhan dengan berbagai dalih. Di Tarakan kerusuhan etnis membuyarkan ketentraman dan kedamaian yang selama ini menaungi warga masyarakat. Di Jakarta, jangan tanya lagi, setiap saat dapat muncul tawuran antar pelajar, antar pemuda kampung, antar preman di jalanan. Di Makassar pun tak kalah seru. Daftar ini tentu masih akan bertambah panjang jika kita bisa mengingat hal yang sama di tempat-tempat lain di pelosok negeri.

Hati kita tentu amat sangat sedih. Kita mengelus dada dalam-dalam melihat anarkhi hampir terpampang setiap hari di hadapan wajah lewat koran dan televisi.

Kalau saya tidak salah ingat, tatkala Majalah TEMPO terbit kembali setelah dibredel sebelum Reformasi tiba, saat itu di dalamnya tidak ada lagi rubrik Kriminal terutama yang memberitakan kriminalitas di daerah. Pertimbangan redaktur karena kriminalitas di daerah secara tidak langsung ada kaitannya dengan kondisi politik di Pusat. Jika kondisi politik di Pusat kondusif maka kriminalitas di daerahpun insya Allah berkurang. Tapi tatkala kondisi politik di Pusat carut marut, maka kriminalitas di daerahpun meningkat. Tentu alasan ini sangat debatable. Kriminalitas banyak ragamnya dan banyak pula motif-motif di belakangnya.

Dalam perspektif sosiologi, tulis Sunyoto Usman – guru besar sosiologi UGM dalam sebuah makalahnya berjudul “Agama dan Kekerasan; Menemukan Kembali Makna Spiritualitas Orang Kota” (1997), kekerasan adalah perilaku sosial, artinya merupakan produk dan stimulan perilaku-perilaku orang lain. Dalam konteks ini individu yang melakukan kekerasan bukanlah untuk memenuhi kepuasan diri pribadinya sendiri, melainkan dalam upaya memenuhi kepuasan kolektif. Kekerasan tersebut juga tidak muncul tiba-tiba, tidak pula terjadi kebetulan atau muncul spontan, tetapi merupakan bentuk respons yang berstruktur dan lahir dari endapan dari berbagai pengalaman yang tidak memuaskan.

Dalam perspektif sosilologi, kekerasan adalah salah satu indikasi bahwa masyarakat sedang ‘sakit’ dalam arti faktor non-adaptif lebih berkembang daripada faktor adaptif. Ketika itu masyarakat dilanda krisis nilai dan norma sosial. Nilai-nilai sosial yang telah lama disosialisasikan tidak lagi dipergunakan sebagai acuan dalam melakukan interaksi sosial. Ketika itu ada kekecewaan yang amat hebat karena berbagai harapan masyarakat baik yang berkaitan dengan pemenuhan kebutuhan ekonomi, politik maupun kultural tidak dapat terpenuhi. Kekerasan muncul tatkala jarak antara harapan masyarakat dan apa yang bisa dicapai sudah melewati ambang batas toleransi.

Mengembangkan batas toleransi bagi satu individu tidak serta merta berkembang dalam suatu kelompok. Namun dengan penyadaran dan kerja keras hal tersebut bukannya mustahil dilakukan. Nabi Muhammad SAW memberi contoh bagaimana tingginya ambang batas toleransi dalam dirinya tatkala menghadapi kenyataan yang sangat jauh dari ekspektasi (harapan). Tatkala beliau berdakwah ke Thaif dengan harapan mendapat sambutan yang baik, ternyata yang beliau dapat justru sebaliknya. Beliau ditolak mentah-mentah bahkan dihadiahi kekerasan fisik, dilempari batu. Tatkala malaikat menawarkan kepada beliau apakah kota Thaif perlu dijungkirbalikkan, Rasulullah mencegahnya. Rasul mengatakan bahwa mereka adalah orang yang belum mengerti. Begitu pun dengan berbagai kekerasan dan penindasan yang dialami, Rasul tidak meladeni dengan kekerasan serupa. Para shahabat yang temperamentalpun dapat dicegah oleh beliau untuk tidak melakukan kekerasan dalam banyak kasus. Dalam konteks ini berarti keteladan dan kewibawaan pemimpin yang kuat akan sangat mempengaruhi kondisi kelompoknya dan menetralisir stimulan buruk yang ada di sekitarnya.

Meski lembut, ramah, bukan pendendam, namun jangan tanya tentang semangat jihad Rasulullah. Baik jihad dengan jalan kelembutan ataupun jalan peperangan pernah dialami Nabi. Artinya bahwa meski kelembutan harus diajukan bukan lantas mengabaikan ketegasan yang dalam suatu saat berarti ‘kekerasan’ demi tegaknya kebenaran. Kekerasan, misalnya dalam perang dengan orang kafir (musyrikin ataupun Yahudi) yang dilakukan Nabi atau para shahabat tidaklah anarkhis. Tidak boleh menyakiti para lanjut usia, perempuan (yang tidak ikut aktif berperang) dan anak-anak. Bahkan pepohonan tidak boleh asal ditebas.

Kekerasan dan kelembutan adalah suatu paradoks yang ada pada setiap orang. Paradoks itu bukan sesuatu yang tanpa makna, ia mengisyaratkan tugas-tugas kemanusiaan kendati batas-batas antara keduanya amat tipis. Manusia tidak dapat hidup hanya dengan kelembutan, pun tidak hanya dengan kekerasan. Nabi Muhammad adalah orang yang sangat tegas kepada orang kafir berikut perilakunya, namun sangat lemah lembut kepada kaum muslimin. Dan kemampuan itu beliau tularkan kepada seluruh pengikutnya. (Qs. Al Fath ayat 29, “Muhammad itu adalah utusan Allah dan orang-orang yang bersama dengan dia adalah keras terhadap orang-orang kafir, tetapi berkasih sayang sesama mereka ...”).

Sekarang manusia hidup dalam zaman yang berubah dan berkembang secara cepat, karena kemampuan rekayasa manusia sendiri telah jauh melampaui batas dari yang dapat terkontrol oleh perhitungan kemanusiaan itu sendiri. Perubahan dan perkembangan di satu pihak membawa kemajuan, tetapi di pihak lain membawa kegelisahan serta kekhawatiran. Terjadi pula jarak dengan Tuhan yang melebar karena pemahaman tentang ‘kenyataan’ yang gaib semakin tak terbayangkan oleh akal pikiran manusia yang telah membuktikan kemandiriannya. Maka ada orang-orang yang mengiklankan untuk kebebasan bertuhan dan berkeyakinan yang mana saja, diluar yang selama ini dipegangi mayoritas umat manusia, baik dalam Islam atau agama lainnya. Dalam Islam, hal ini tentu akan dianggap berbahaya dan ditolak.

Kekerasan meski adalah potensi yang ada pada setiap orang, namun ia bukan untuk dintunjuk-tunjukkan, apalagi untuk alasan dan waktu yang tidak tepat. Dalam kelembutan terdapat kekuatan yang mungkin lebih besar dibanding kekerasan. Hadis Nabi menyatakan, “Berlakulah lunak dan saling mengasihi. Hendaklah kamu saling mengalah terhadap yang lain. Apabila orang yang punya hak mengetahui kebaikan yang akan diperolehnya disebabkan menunda tuntutannya atas haknya pasti orang yang punya tuntutan atas haknya akan lari menjauhi orang yang dituntutnya.” (HR Ad-Dailami dari Abu Sa’id – Musnad al-Firdausi, Kanzul ‘Ummal al-Hindi).

Dahulu Indonesia dikenali dengan penduduknya yang ramah, murah senyum dan cinta damai. Semoga atribut itu dapat kembali kita raih dengan terwujudnya penegakan hukum yang adil dan kesejahteraan ekonomi yang merata. Jika antara harapan dan kenyataan tidak terpaut jauh, kekerasan tidak akan muncul. Allahu a’lam. (Zainul Arifin)

0 komentar:

Posting Komentar

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...