Rabu, 06 April 2011 By: sanggar bunga padi

Aku Bukan Sekuntum Bunga (bagian 9)


 Oleh: TEGUH WINARSHO AS *

 Perempuan tua yang ikut mengejar laju mobil terus berlari sekuat tenaga. Ia seperti tak mau ketinggalan dengan para lelaki yang mendahuluinya. Entah apa yang mendorong perempuan tua itu mengejar laju mobil. Bukankah lebih enak tinggal di rumah? Dan, jika memang perlu mengetahui kabar  yang dibawa oleh pengendara mobil itu, bukankah juga lebih enak jika menunggu para lelaki itu pulang? Kalau memang benar hanya kabar yang ia butuhkan, sangat mudah didapat. Tetangga kanan kiri, bahkan tanpa diminta pun pasti akan bercerita. Jadi untuk apa ia mesti berlari? Untuk apa memaksakan diri? Salah-salah justru bisa celaka? Jatuh?
Angin bertiup kencang. Debu berhamburan di udara siang. Perempuan tua itu mengurangi kecepatan larinya. Nafasnya terengah-engah. Rambutnya semakin acak-acakan tidak karuan. Keringat mengucur deras dari sekujur tubuhnya. Kini tidak ada lagi orang yang menyapa atau menyuruhnya pulang. Semua orang mulai sibuk dengan pikiran masing-masing.
Mobil kijang berhenti di depan balai desa. Di sana ternyata sudah banyak warga kampung yang menunggu. Diantaranya Keucik Basran dan orang-orang kepercayaannya. Tiga orang laki-laki, berbadan tegap, kekar, keluar dari mobil. Pakaian mereka bagus dan rapi. Salah seorang dari mereka kemudian meraih megafon lantas berteriak lantang; "Saudara-saudara sekalian warga kampung Pegasing yang kami hormati. Kami datang membawa kabar gembira. Beberapa hari lalu kami berhasil menangkap gerombolan orang bertopeng yang selama ini bertindak brutal, mengacau wilayah kita. Tapi tidak semuanya bisa kami tangkap karena jumlah mereka sangat banyak. Mereka sekarang masih berkeliaran di hutan. Untuk itu kami harap warga kampung Pegasing untuk sementara ini jangan masuk wilayah hutan terlalu jauh. Berbahaya!" Orang itu berhenti sejenak mengatur nafas. "Oh, ya, kami juga telah menyelamatkan tiga orang warga kampung Pegasing yang beberapa waktu lalu diculik gerombolan orang bertopeng…." lanjutnya memberi isyarat pada dua rekannya agar membawa keluar Kamdin, Simar dan Hikman dari dalam mobil.
Warga kampung Pegasing yang memenuhi halaman balai desa bersorak gembira menyambut tiga orang warganya yang sebelumnya diduga telah dihabisi oleh gerombolan orang bertopeng. Tepuk tangan dan kalimat-kalimat pujian membahana seperti acara dalam sebuah pesta. Beberapa orang melonjak-lonjak girang. Beberapa orang lagi berdekapan haru. Ya, kebahagiaan menyembul di setiap wajah warga kampung Pegasing yang sebelumnya terlihat redup, suram. Keucik Basran kemudian membungkuk-bungkuk menyalami tiga orang berpakaian rapi, berbadan tegap itu, mengucap beribu trimakasih.
Tapi, ketika ketiga orang berpakaian rapi itu masuk ke dalam mobil yang lantas berjalan pelan meninggalkan balai desa, seorang warga kampung yang kebetulan berpapasan dengan mereka di tikungan jalan di luar desa mengatakan, bahwa ia tak melihat tiga orang berpakaian rapi di dalam mobil. Yang ia lihat ialah tiga orang berpakaian hitam dan bertopeng. Ia berani diambil sumpah!
Beberapa orang percaya dengan cerita itu. Beberapa orang lagi tampak ragu-ragu, dan beberapa orang lainnya tidak percaya sama sekali. Sayang, baik Khamdin, Simar maupun Hikman tidak bisa dimintai keterangan karena mendadak kelakuannya mirip orang gila. Ada jahitan panjang dibagian belakang kepala mereka seperti habis robek disayat benda tajam. Satu persatu warga kampung akhirnya pulang. Mereka ingin cepat sampai rumah dan menceritakan apa yang baru saja mereka lihat pada istri dan anak-anak yang setia menunggu di rumah. Tapi mendadak langkah mereka terhenti ketika terdengar suara gedibam benda jatuh diikuti teriakan kesakitan.
Tampak seorang perempuan tua terkapar di jalan memegangi dadanya yang sesak. Bergulingan menahan sakit luar biasa.
"Hamidah, Hamidah. Kenapa dia?!" seseorang berteriak sambil berlari menghampiri perempuan tua itu.
“Pasti penyakitnya kambuh lagi.”
"Tadi sudah aku suruh pulang. Kenapa masih ikut juga?"
"Ya, tadi aku juga sudah menyuruhnya pulang."
"Aku juga."
Sementara orang-orang ribut bicara, Hamidah, perempuan tua itu terus mengerang kesakitan, diselingi batuk-batuk serak, mengeluarkan lendir dan darah kental. Dadanya naik turun. Tubuhnya bergetar. 
"Mungkin dia menunggu Hasan, anaknya."
"Pasti. Dia sangat kehilangan Hasan."
“Penyakitnya semakin parah karena Hasan belum pulang.”
"Ya, sudah lama Hasan tidak pulang."
"Juga Salman."
"Ya, Salman."
“Kenapa tadi kita tidak menanyakan keberadaan Hasan dan Salman?
Orang-orang seketika terdiam. Sementara Hamidah terus mengerang. Tapi semakin lama semakin pelan hingga tidak terdengar sama sekali. Hamidah pingsan. Orang-orang kampung terkejut segera menggotong tubuh Hamidah, dibawa pulang. Beruntung di rumah itu ada Fatma yang setia menemani. Dua jam lebih Hamidah pingsan. Sekujur tubuhnya penuh balsem. Ketika membuka mata, Hamidah merasakan udara samar seperti dipenuhi kabut. Orang-orang kampung sudah pulang. Hanya Fatma duduk di tepi ranjang.
Hamidah membuka mata dan menggerak-gerakkan tubuhnya, seperti ingin bangkit dari ranjang. Wajahnya terlihat pucat seperti mayat.
"Jangan terlalu banyak bergerak dulu, Bu," Fatma menasehati. “Ibu harus banyak istirahat…”
"Aku... Aku... Kenapa, Fatma?"
"Ibu tadi pingsan. Orang-orang kampung lalu membawa Ibu pulang."
"Pingsan? Di mana?"
"Di dekat balai desa."
          "Tapi......" Hamidah menatap langit-langit kamar, seperti sedang berusaha mengumpulkan semua ingatannya. Dahinya berkerut.
"Sudahlah, Bu, tidak usah dipikirkan. Sekarang sebaiknya Ibu makan agar tenaga Ibu pulih. Bukankah sejak pagi Ibu belum makan?"
Hamidah mengangguk.
Fatma meraih sepiring bubur putih di atas meja disodorkan pada Hamidah. Kesetiaan Fatma pada calon ibu mertua sudah tidak diragukan lagi. Setiap hari Fatma menemani Hamidah. Bahkan Fatma kemudian rela melepas pekerjaannya di kota pada saat orang lain kesulitan mencari kerja. Kedengarannya memang agak aneh dan konyol. Tapi itulah keputusan Fatma. Dan, memang, tanpa kehadiran Fatma nasib Hamidah pasti akan merana dan terlunta-lunta.
          Para perempuan, tetangga kanan kiri, ternyata hanya pada awal-awalnya saja sering menjenguk Hamidah. Bahkan diam-diam menjadikan rumah Hamidah sebagai tempat berkumpul sekadar untuk berbagi cerita. Beberapa hari kemudian sepi. Tapi Fatma bisa memaklumi, mereka tentu juga punya kesibukan masing-masing. Dan ini mungkin lebih baik dari pada mereka terus nganggur atau hanya ngrumpi padahal kebutuhan perut tak pernah berhenti, terus minta diisi.
          Bagi Fatma, Hamidah sudah ia anggap seperti Ibu sendiri. Jauh, jauh sebelum cinta tumbuh bersemi antara dirinya dengan Hasan. Dan mungkin juga jauh sebelum ia  menghirup udara segar dunia --- hubungan keluarga Hamidah dan keluarganya sudah terjalin baik. Karena itu rasa sakit yang dialami Hamidah, Fatma juga turut merasakan. Begitu pula sebaliknya. Kebahagiaan, kesedihan, selalu menjadi milik bersama.
          Tapi malam ini, tubuh Hamidah  panas sekali. Sesekali kejang seperti step. Fatma bingung dan cemas. Tentu ini bukan panas biasa. Fatma sudah berusaha mengompres dengan kain, tapi panasnya tidak mau turun juga. Fatma semakin bingung. Apalagi ketika mendengar Hamidah terus mengigau menyebut-nyebut nama Hasan. Suaranya serak, parau. Hati Fatma pedih seperti diiris-iris.
          Ada keinginan untuk minta bantuan pada tetangga kanan kiri, tapi Fatma  masih meragukan keberaniannya keluar rumah pada malam seperti ini. Belum lama dari kejauhan terdengar kentongan dipukul lima kali berturut-turut pertanda harus hati-hati jika keluar malam. Juga lolong serigala menyayat membangkitkan kenangan Fatma pada cerita-cerita tentang makhluk semacam hantu atau peri. Sementara panas Hamidah tidak kunjung turun. Fatma kawatir sesuatu buruk akan menimpa Hamidah. Tapi jika harus keluar rumah sendirian rasanya Fatma juga tidak berani.
Fatma terus menimbang-nimbang apakah keluar mencari bantuan tetangga atau tidak. Jarak terdekat rumah Hamidah dengan rumah tetangga sekitar lima puluh meter, melintasi ladang kosong, jembatan bambu dan kuburan. Fatma ngeri jika harus lewat jembatan dan kuburan. Karenanya Fatma mencari alternatif lain. Tapi rumah siapa? Di mana? Fatma benar-benar bingung. Cemas. Gelisah.
Letih Fatma menyandarkan punggungnya di sandaran kursi. Lama. Lama sekali. Angin malam tiba-tiba berdesir meniup kantuk Fatma. Lelap tidur Fatma ditemani sepi...(bersambung)

* Teguh Winarsho AS, cerpenis/novelis kelahiran Kulon Progo tahun 1973. Pernah mendapat kehormatan sebagai cerpenis terbaik se-Jawa Tengah versi Universitas Jenderal Sudirman Purwokerto. Cerpen-cerpennya banyak menghiasi media massa, seperti Republika, Kompas, Horison, Media Indonesia, Koran Tempo, The Jakarta Post, Matra, Suara Karya, Sinar Harapan, Suara Pembaruan, Kedaulatan Rakyat, Bernas, Lampung Post, Bisnis Indonesia, Warta Kota, Pikiran Rakyat, Trans Sumatera, Jawa Pos, Surabaya Post, Minggu Pagi, Suara Merdeka, Wawasan, Solo Pos, Annida, Sabili, Nova, Citra dll. 

Tulisan-tulisannya dalam bentuk antologi bersama adalah Tamansari (Pustaka Pelajar, 1998), Aceh Mendesah dalam Nafasku (Kasuha, 1999), Embun Tajalli (Aksara, 2000), Bunga-Bunga Cinta (Senayan Abadi, 2003), Wajah di Balik Jendela (Lazuardi, 2003), Jika Cinta (Senayan Abadi, 2003), Pipit Tak Selamanya Luka (Senayan Abadi, 2003), Jalan Tuhan (Lazuardi 2004), dll. Kumpulan cerpen tunggalnya yang telah terbit, Bidadari Bersayap Belati (Gama Media, 2002), Perempuan Semua Orang (Arruzz, 2004). Salah satu cerpennya masuk dalam kumpulan cerpen pilihan Kompas tahun 2003. Sementara novelnya Di Bawah Hujan dimuat bersambung di harian Suara Pembaruan, edisi 10 April - 07 Juni 2000. Novel Orang-Orang Bertopeng dimuat bersambung di harian Sinar Harapan, edisi 27 Maret-10 Mei 2002.

(Cerita ini pernah dimuat bersambung di harian Sinar Harapan dengan judul Orang-Orang Bertopeng)

0 komentar:

Posting Komentar

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...