Kamis, 07 April 2011 By: sanggar bunga padi

Aku Bukan Sekuntum Bunga (bagian 10)

Oleh: TEGUH WINARSHO AS *
 FATMA tergeragap mendapati selarik cahaya menerobos lubang angin di atas jendela menerpa wajahnya. Jam berapa? Fatma bertanya-tanya dalam hati sambil mengedarkan pandang. Fatma baru sadar semalam ketiduran dan kini ia terkejut mendapati ranjang disebelahnya kosong. Kemana Hamidah? Diculikkah? Ah, tidak mungkin. Tidak ada alasan menculik perempuan tua itu kecuali dirinya juga ikut diculik. Tapi, bukankah sekarang untuk menculik dan membunuh tidak perlu alasan jelas? Nyawa. Berapakah harganya? Seharga satu butir peluru? Dua? Tiga? Ataukah hanya seharga pisau dapur yang bisa dibeli di pasar mana pun?
Fatma menyadari kekilafannya. Fatma segera meloncat dari kursi mencari Hamidah. Bagaimanapun perempuan tua itu harus terus dalam pengawasannya. Jika tidak, salah-salah Hamidah bisa menemui nasib buruk. Kondisi tubuhnya yang ringkih sangat mungkin terjatuh saat berjalan. Bagaimana jika kepalanya membentur batu? Tembok? Atau jatuh di jurang?
Fatma baru bisa tersenyum lega ketika telinganya menangkap percikan air  dari dalam kamar mandi ditingkahi suara batuk serak. Hamidah.
***
"COBA, kamu datang ke rumah Khamdin atau Simar. Kamu tanyakan pada mereka apakah dulu mereka pernah melihat Hasan? Bagaimana kabarnya?" kata Hamidah merebahkan tubuhnya di atas ranjang. Panasnya masih belum turun. Tubuhnya semakin kurus.
Untuk apa? Batin Fatma menanggapi ucapan Hamidah. Maklum, Fatma baru saja mendengar kabar dari penjual warung saat ia beli obat penurun panas bagaimana nasib Khamdin, Simar dan Hikman sekarang. Jadi untuk apa mesti datang kesana? Jangan-jangan kedatangannya nanti justru akan membuat sakit hati keluarganya. Dikira menghina.
Ada keinginan untuk menceritakan bagaimana kondisi sebenarnya yang menimpa Khamdin, Simar dan Hikman pada Hamidah. Tapi Fatma kawatir sakit Hamidah justru akan bertambah parah setelah mendengar ceritanya. Cerita yang dibawa Khamdin, Simar dan Hikman terlalu menyakitkan. Terlalu sulit diterima akal sehat. Akan membuka lagi kenangan-kenangan buruk masa silam. Dan, bukankah Hamidah sendiri mestinya sudah tahu cerita itu ketika di balai desa kemarin? Jangan-jangan dia lupa. Atau benar-benar tidak tahu?
"Berangkatlah sekarang......" Suara itu begitu parau, penuh pengharapan.
Fatma akhirnya tak kuasa menolak. Fatma segera berangkat menuju rumah Khamdin. Tidak seperti hari-hari biasanya jalan kampung terlihat lengang. Fatma hanya ketemu beberapa perempuan pulang dari mencari kayu bakar.
Tidak seperti dugaan Fatma ternyata di rumah Khamdin sudah banyak orang. Dari anak kecil sampai orang tua berjubel di situ. Sebagian tampak sibuk, tapi lebih banyak yang santai, duduk-duduk, ngobrol. Fatma menyelinap di antara orang-orang itu dan mencoba menyimak setiap pembicaraan.
"Aku yakin tidak mungkin bisa disembuhkan. Saraf-saraf otaknya sudah rusak."
"Masak?"
"Lihatlah bagian belakang kepalanya. Ada jahitan panjang. Ihh, ngeri...."
"Tapi Teuku Amar ahli mengobati orang gila. Kau tentu masih ingat kasus yang menimpa Mastya. Dua tahun dia gila. Begitu ditangani Teuku Amar langsung sembuh. Juga Bustan, Halim, Marbi, dan masih banyak lagi. Teuku Amar bukan orang sembarangan. Ilmunya tinggi."
"Tapi ini sudah parah. Kritis. Beruntung dia sembuh, kalau mati?!"
"Namanya juga usaha, tidak salah, kan?"
"Tapi, usaha juga mesti dipikirkan akibatnya. Jangan asal usaha saja. Bisa gawat!"
"Kau meremehkan Teuku Amar. Bisa kuwalat, kau!"
"Aku tidak meremehkan siapapun. Aku bicara jujur."
"Dari nada bicaramu jelas kau meragukan kemampuan Teuku Amar!"
"Aku tak bilang begitu. Aku hanya bilang, penyakit Khamdin sudah parah tidak mungkin bisa disembuhkan."
"Wah, jangan-jangan kau juga sudah tidak percaya lagi dengan Tuhan."
"Hus! Kenapa kau bisa bilang begitu!"
"Kau sudah tidak percaya dengan usaha yang dilakukan manusia, berarti kau juga sudah tidak percaya adanya Tuhan."
“Jangan bawa-bawa nama Tuhan. Aku muslim sejati. Sehari lima kali aku sujud pada-Nya. Kau masih menyangsikan ke-islamanku?!”
“Islam mengajarkan kita untuk ikhtiar. Berusaha….”
"Hai, diam! Jangan ribut sendiri!"
          Teguran keras itu menyebabkan pertengkaran dua orang yang mulai sengit itu terhenti. Keduanya melengos, lalu pergi.
Sesuatu tiba-tiba bergemuruh di dada Fatma. Membuat Fatma ingin pulang secepatnya. Fatma beranjak meninggalkan rumah Khamdin. Rumah itu, sungguh, membuat dirinya seperti berada di atas tumpukan bara api. Fatma tiba-tiba ingat Hasan. Ingat senyum manis Hasan. Ingat tawa Hasan. Fatma tidak rela jika Hasan mengalami nasib seperti Khamdin, Simar, maupun Hikman. Hasan harus pulang dengan selamat. Tanpa luka. Tanpa cacat. Tapi, ya, tapi, apakah tidak terlalu berlebihan harapan seperti itu? Jangan-jangan Hasan sudah….
Fatma terus melangkah pulang, bergegas. Fatma ingin cepat sampai rumah lalu tidur. Untuk sementara waktu ia tidak mau bertemu dengan orang-orang kampung yang hanya akan melahirkan ketakutan-ketakutan baru. Kengerian-kengerian baru yang sering tanpa dasar. Fatma ingin sendiri. Berdoa dan berdoa. Dan nanti, ketika sampai rumah ia akan katakan pada Hamidah bahwa Hasan masih hidup berkat doa-doanya. Bahwa kelak Hasan pasti pulang lalu menikahinya.
Tapi Fatma terbelalak begitu masuk kamar Hamidah. Di atas ranjang perempuan tua itu terbujur kaku, diam tak bergerak. Fatma meraba pergelangan tangan Hamidah, merasakan dengus nafas Hamidah, dan seketika itu juga Fatma berteriak histeris. Sekian detik pandangan mata Fatma berubah samar, kabur, lalu tubuhnya limbung dan gelap seketika.
Orang-orang yang mendengar teriakan Fatma segera berdatangan. Kabar kematian Hamidah cepat menyebar bagai ditiup angin.
ENAM

HASAN tidak tahu sudah berapakali sinar matahari menyentuh bumi dan berapa kali gelap malam merayap mendaki puncak kelam (adakah sesekali terlihat purnama yang sahdu di sana?). Waktu mengalir begitu hampa. Begitu lamban, pelan, gemetar, serupa pedati sarat beban. Serupa uban yang terus tumbuh di kepala. Tak ada kalender, penunjuk waktu, atau sekadar bayang-bayang pohon yang bisa menjadi tengara datangnya waktu shalat. Malam atau siang nyaris tidak ada beda. Gelap atau terang hanya ditentukan seberkas lampu 15 watt di atas kamar. Dhuhur dan Isya’ hanya beda pada niat. Subhanallah. Allahu akbar. Maha besar Allah sang pemilik waktu. 
Hasan tidak sabar mengakhiri shalat dhuha, lantaran perutnya kembali terasa mual, mulas, seperti diremas-remas. Semalam berkali-kali Hasan mondar-mandir buang air di wc, kadang disertai muntah-muntah. Makanan yang disodorkan gerombolan orang bertopeng belakangan ini semakin buruk. Sangat buruk. Malah kadang seharian ia tidak diberi makan. Apa boleh buat sesekali Hasan terpaksa menyantap nasi dan sayur setengah basi agar tubuhnya tidak lemas. Agar perutnya tidak kosong.
Diam-diam Hasan heran tempat di mana ia disekap saat ini tampak sepi dari biasanya. Jarang terdengar derap langkah sepatu di lorong jauh yang sering membuat jantungnya berdebar. Juga suara tawa ngakak yang kerap muncul dari gedung sebelah. Hasan tidak tahu apa yang terjadi di tempat ini. Kenapa begitu sepi. Kenapa nyaris tidak pernah terdengar suara orang bercakap-cakap seperti dulu. Kenapa juga makanan yang diberikan semakin buruk seperti memberi makan binatang. Jika kondisi seperti ini terus berlarut, Hasan kawatir dengan kesehatannya. Kini rasa sakit yang terus menggerayangi perutnya sudah tak tertahankan. Belum lagi pusing yang sering datang tiba-tiba.
Sedang Salman, sejak dipanggil menghadap pimpinan gerombolan orang bertopeng beberapa waktu lalu lebih banyak diam. Melamun. Hasan tidak tahu apa yang dilamunkan Salman. Salman sendiri tidak pernah mau menceritakan hasil pertemuannya dengan pimpian gerombolan orang bertopeng. Berkali-kali Hasan mendesak, bahkan setengah memaksa, tapi Salman tetap bungkam. Malah pernah  suatu kali Salman marah-marah dan membentak: "Kalau kau mau keluar dari sini, jangan ganggu aku! Aku lagi pusing! Pusing!!" Baru kali itu Hasan melihat Salman marah besar. Sejak itu Salman sering uring-uringan sendiri. Dan,  Hasan selalu kedapatan salah. Serba salah. Akhirnya Hasan ikut-ikutan diam. Menjawab seperlunya hanya jika ditanya. (bersambung)
 
* Teguh Winarsho AS, cerpenis/novelis kelahiran Kulon Progo tahun 1973. Pernah mendapat kehormatan sebagai cerpenis terbaik se-Jawa Tengah versi Universitas Jenderal Sudirman Purwokerto. Cerpen-cerpennya banyak menghiasi media massa, seperti Republika, Kompas, Horison, Media Indonesia, Koran Tempo, The Jakarta Post, Matra, Suara Karya, Sinar Harapan, Suara Pembaruan, Kedaulatan Rakyat, Bernas, Lampung Post, Bisnis Indonesia, Warta Kota, Pikiran Rakyat, Trans Sumatera, Jawa Pos, Surabaya Post, Minggu Pagi, Suara Merdeka, Wawasan, Solo Pos, Annida, Sabili, Nova, Citra dll. 

Tulisan-tulisannya dalam bentuk antologi bersama adalah Tamansari (Pustaka Pelajar, 1998), Aceh Mendesah dalam Nafasku (Kasuha, 1999), Embun Tajalli (Aksara, 2000), Bunga-Bunga Cinta (Senayan Abadi, 2003), Wajah di Balik Jendela (Lazuardi, 2003), Jika Cinta (Senayan Abadi, 2003), Pipit Tak Selamanya Luka (Senayan Abadi, 2003), Jalan Tuhan (Lazuardi 2004), dll. Kumpulan cerpen tunggalnya yang telah terbit, Bidadari Bersayap Belati (Gama Media, 2002), Perempuan Semua Orang (Arruzz, 2004). Salah satu cerpennya masuk dalam kumpulan cerpen pilihan Kompas tahun 2003. Sementara novelnya Di Bawah Hujan dimuat bersambung di harian Suara Pembaruan, edisi 10 April - 07 Juni 2000. Novel Orang-Orang Bertopeng dimuat bersambung di harian Sinar Harapan, edisi 27 Maret-10 Mei 2002.

(Cerita ini pernah dimuat bersambung di harian Sinar Harapan dengan judul Orang-Orang Bertopeng)

0 komentar:

Posting Komentar

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...