Kamis, 21 April 2011 By: sanggar bunga padi

Aku Bukan Sekuntum Bunga (bagian 20)

 Oleh : TEGUH WINARSHO AS *
 Ya, semua orang boleh bahagia. Mengumbar senyum. Mengumbar tawa. Tapi tidak dengan Fatma. Semakin mendekati hari pernikahan Fatma semakin sedih dan cemas. Larut malam Fatma sering terjaga dari tidur dengan tubuh gemetar basah keringat, menggigil ketakutan. Bahwa kini ia bersedia menerima Salman sebagai suami, adalah keterpaksaan yang tak bisa dihindari. Pernyataan cintanya pada Salman, paksaan Umi yang sampai menjatuhkan pilihan sulit; menikah dengan Salman atau pergi dari rumah adalah penjara yang mengurung Fatma. Penjara yang jauh lebih menyeramkan dari sekadar penjara yang dibatasi tembok tebal atau lonjoran-lonjoran besi tua.
Fatma, gadis cantik itu, sebagaimana gadis-gadis lain di Ulegle memang tak cukup bernyali jika sudah berhadapan dengan orang tua. Mereka menganggap kepatuhan pada orang tua adalah kemutlakan yang tak bisa ditawar. Termasuk dalam hal jodoh. Karenanya perlawanan yang dilakukan Fatma hingga menyulut pertengkaran hebat dengan Umi beberapa waktu lalu sudah menjadi nilai lebih bagi Fatma. Bahwa pada akhirnya Fatma kalah, tetap harus menerima keputusan Umi untuk menikah dengan Salman, adalah soal lain.
Hanah, Nuriya, Atimi, Rukisha, dan masih banyak lagi teman sebaya Fatma yang sebagian menamatkan SMP dan sebagian lagi hanya tamat SD, lebih senang bergelut dengan lumpur di sawah atau ladang dan menerima laki-laki siapa saja yang divonis oleh orang tua mereka untuk menjadi suami. Memang, fakta selalu menunjukkan bahwa keluarga yang mereka bina baik-baik saja. Normal-normal saja. Terus beranak setiap tahun. Mungkin ini juga salah satu penyebab kenapa gadis-gadis Ulegle tak suka melawan keinginan orang tua. Toh, pada akhirnya keluarga yang mereka bina bisa bahagia. Sejahtera. Saling mencintai. Mengasihi. Rukun dan damai.
Terdengar langkah kaki semakin banyak di rumah Fatma. Sesekali terdengar gelak tawa membahana. Fatma tidak tahu siapa saja yang datang. Yang ia dengar dengan jelas hanya suara Umi yang berlagak seperti bos, dengan suara nyaring menyuruh orang-orang untuk mengerjakan ini itu. Adakah Cut Hindar di antara mereka? batin Fatma berjalan menghampiri pintu, mengintip lewat lubang kunci. Tapi lubang kunci yang lebarnya tak lebih dari telunjuk jari anak kecil itu, Fatma tak menemukan Cut Hindar. Di mana? Rasanya tidak mungkin jika Cut Hindar tidak datang ke rumah. Batin Fatma.
Tiba-tiba Fatma ingin sekali bertemu dengan janda pemilik warung kopi itu. Ada banyak duka, ada banyak kesedihan, ada banyak kekecewaan yang sudah tidak sanggup ia tanggung sendiri. Catatan harian, bantal, cermin, sudah tidak mampu lagi menampung duka nestapanya. Hari-hari terasa begitu kelam. Ia butuh seseorang yang mau mendengar keluh kesahnya. Tapi siapa? Kadang Fatma merasa dirinya hidup hanya seorang diri di dunia ini.
Fatma bangkit dari ranjang menghampiri jendela kamarnya. Ia merasa udara di dalam kamar terlalu sumpek, gerah. Sejak pagi jendela kamar itu memang belum dibuka. Fatma ingin menghirup udara segar. Siapa tahu udara segar yang masuk ke lubang hidungnya bisa membuat pikiran kusut menjadi jernih. Tapi saat tangannya menyentuh daun jendela, tiba-tiba ia ragu. Gamang. Ya, Fatma tidak ingin gadis-gadis di kampungnya mengintip ke dalam kamar begitu jendela dibuka.
Fatma kembali duduk di tepi ranjang. Mengedar pandang ke seluruh ruang kamar. Hatinya tiba-tiba merintih perih. Tidak lama lagi ia harus meninggalkan kamar itu. Kamar yang sekian puluh tahun ia tempati. Kamar yang telah menjadi saksi perjalanan hidupnya. Fatma tidak tahu siapa nanti yang akan menempati kamar itu. Abah lebih suka tidur di ruang tengah sambil mendengarkan radio. Umi susah tidur jika tidak berada di kamarnya sendiri. Mungkin kamar itu akan dibiarkan kosong. Dulu ia sering berangan-angan bisa menempati kamar itu bersama Hasan. Melewati hari-hari yang indah. Penuh cinta dan ibadah. Kini angan-angan itu pupus. Seorang laki-laki yang tidak ia cintai akan membawanya terbang. Entah kemana….
Apakah aku bisa bahagia seperti Hanah, Nuriya, Atimi dan Rukhisa? Batin Fatma gelisah. Janah, Nuriya, Atimi dan Rukhisa sebelumnya tidak kenal dengan calon suami mereka. Tapi konon mereka bisa menemukan kebahagiaan setelah menikah. Setelah berulangkali ketemu dan tatap muka. Setelah selembar tikar dan kasur menyatukan mereka dalam gigil udara malam. Kebahagiaan itu semakin sempurna tatkala anak-anak lahir dan terus lahir, celotehnya mengisi pagi, siang, sore dan malam. Lalu akan ada mulut-mulut mungil yang kemudian memanggil dengan suara nyaring; Bapak, Mamak, Umi, Abah atau Ine dan Ayah. Lalu, hari-hari bergulir dalam geliat kerja mencari sesuap nasi di ladang atau sawah. Begitu seterusnya.
Tapi benarkah mereka bahagia? Tahukah mereka arti bahagia? Kebahagiaan seperti apa yang pernah mereka rasakan? Bagaimana jika sesungguhnya mereka menderita? Penderitaan yang dibungkus senyum bahagia? Penderitaan yang disembunyikan di balik kerudung dan mukena? Penderitaan yang coba terus diendapkan di dasar hati? Anak-anak boleh terus lahir ke dunia, tapi siapa yang bisa menjamin kelahiran mereka atas dasar cinta yang tulus? Bukan sahwat syaitan yang buncah meregang dari balik sarung? Astagfirullah!
Tiba-tiba Fatma merasa perutnya lapar. Tapi suara di luar kamar terdengar semakin gemuruh seperti suasana pasar malam. Membuat Fatma enggan keluar dan memilih menahan lapar. Tapi biasanya jika ia terus mengurung diri di kamar, Abah akan datang membawa makanan. Karena itu ia tak perlu lagi keluar kamar dan cukup membuka pintu sedikit untuk menerima sepiring nasi berikut lauk-pauk yang disodorkan Abah dari balik pintu. Tapi sudah sekian menit berlalu, Abah tidak kunjung datang membawa sepiring makanan. Perut Fatma kian melilit perih seperti ada ratusan semut menggigit.
Sementara di tempat lain, di rumah Salman, kebahagiaan tercermin di wajah orang-orang yang hadir dalam rapat keluarga menyambut pesta pernikahan Salman. Ada lima belas orang yang hadir dalam rapat itu yang kesemuanya masih ada hubungan famili. Mereka duduk beralas tikar di ruang tamu dengan jamuan makan ala kadarnya.
Sebagai anak bungsu, anak kesayangan, pernikahan Salman memang harus berbeda dengan Jakfar, Ali atau Umar, tiga orang kakaknya yang lebih dulu menikah dan sudah dikaruniai beberapa anak. Pesta perkawinan Salman harus lebih besar dan mewah dibanding ketiga kakaknya. Karena itulah diadakan rapat keluarga yang melibatkan kerabat dari pihak keluarga Mamak maupun Bapak. Tapi Salman sendiri justru tidak kelihatan batang hidungnya. Padahal kehadiran Salman dalam rapat itu sangat penting.
Jakfar, kakak tertua Salman yang sejak menikah menetap di Sidikalang menjadi pegawai KUA, seharian mencari Salman di rumah teman-teman Salman, tapi hasilnya nihil. Diam-diam Jakfar kawatir dengan keselamatan Salman. Jakfar tahu sejak ditangkap gerombolan orang bertopeng, Salman sedikit mengalami gangguan kejiwaan. Jakfar sebenarnya ingin mengajak Salman menemui seorang psikiater sebelum melangsungkan pernikahan.
Sebagai pegawai KUA yang kerap mengurus pernikahan maupun perceraian, Jakfar tahu pentingnya kesehatan jasmani dan rohani bagi pasangan suami istri. Hingga kini sudah tidak terhitung lagi kasus perceraian yang ia tangani akibat salah seorang suami atau istri mengalami gangguan kejiwaan. Umumnya mereka mengalami gangguan jiwa setelah ditangkap gerombolan orang bertopeng. Jakfar tidak ingin kelak Salman mengalami hal serupa.
Hingga rapat keluarga selesai Salman belum pulang. Hal ini membuat Jakfar semakin cemas. Terpaksa Jakfar menunda kepulangannya ke Sidikalang. Jakfar ingin ketemu Salman dan bicara empat mata.
Berbeda dengan Jakfar yang terus didera cemas, Ali dan Umar terlihat tenang dan santai. Sedikit pun tidak terlihat kecemasan di wajah mereka berdua. Ali bahkan pulang sebelum rapat keluarga selesai karena di rumah istrinya sedang hamil tua. Sedang Umar yang datang bersama istri dan ketiga anaknya, sejak awal memang berencana menginap di rumah orang tuanya.
Satu per satu para kerabat yang rapat di rumah Salman pulang. Rumah besar itu kini mulai lengang. Di halaman hanya terlihat anak-anak Umar sedang main petak umpet. Juga Jakfar yang terus dicekam gelisah berjalan mondar-mandir di teras rumah.(bersambung)


* Teguh Winarsho AS, cerpenis/novelis kelahiran Kulon Progo tahun 1973. Pernah mendapat kehormatan sebagai cerpenis terbaik se-Jawa Tengah versi Universitas Jenderal Sudirman Purwokerto. Cerpen-cerpennya banyak menghiasi media massa, seperti Republika, Kompas, Horison, Media Indonesia, Koran Tempo, The Jakarta Post, Matra, Suara Karya, Sinar Harapan, Suara Pembaruan, Kedaulatan Rakyat, Bernas, Lampung Post, Bisnis Indonesia, Warta Kota, Pikiran Rakyat, Trans Sumatera, Jawa Pos, Surabaya Post, Minggu Pagi, Suara Merdeka, Wawasan, Solo Pos, Annida, Sabili, Nova, Citra dll. 

Tulisan-tulisannya dalam bentuk antologi bersama adalah Tamansari (Pustaka Pelajar, 1998), Aceh Mendesah dalam Nafasku (Kasuha, 1999), Embun Tajalli (Aksara, 2000), Bunga-Bunga Cinta (Senayan Abadi, 2003), Wajah di Balik Jendela (Lazuardi, 2003), Jika Cinta (Senayan Abadi, 2003), Pipit Tak Selamanya Luka (Senayan Abadi, 2003), Jalan Tuhan (Lazuardi 2004), dll. Kumpulan cerpen tunggalnya yang telah terbit, Bidadari Bersayap Belati (Gama Media, 2002), Perempuan Semua Orang (Arruzz, 2004). Salah satu cerpennya masuk dalam kumpulan cerpen pilihan Kompas tahun 2003. Sementara novelnya Di Bawah Hujan dimuat bersambung di harian Suara Pembaruan, edisi 10 April - 07 Juni 2000. Novel Orang-Orang Bertopeng dimuat bersambung di harian Sinar Harapan, edisi 27 Maret-10 Mei 2002.

(Cerita ini pernah dimuat bersambung di harian Sinar Harapan dengan judul Orang-Orang Bertopeng)

0 komentar:

Posting Komentar

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...