Minggu, 03 April 2011 By: sanggar bunga padi

Aku Bukan Sekuntum Bunga (bagian 5)

Oleh: TEGUH WINARSHO AS *

 SIANG terik. Angin menerobos semak belukar. Meliuk di antara daun dan ranting. Hati-hati Fatma melangkah di jalan tanah setapak. Fatma memilih jalan ini agar bisa cepat sampai kampung Pegasing. Tapi jalan ini penuh resiko, jika tidak hati-hati Fatma bisa tergelincir masuk ke dalam jurang. Tubuhnya meluncur ke dalam jurang di sisi kiri jalan, melayang menghantam batu atau tersangkut pepohonan, nun di kedalaman jurang.
Tapi Fatma seperti sudah hafal lekuk liku terjal jalan. Kakinya melangkah ringan. Sejak remaja Fatma memang sudah sering melakukan perjalanan melintas kawasan itu. Bahkan kadang sehari bisa dua atau tiga kali. Tapi lima tahun sejak lulus SMU, Fatma jarang melakukannya lagi. Fatma lebih suka lewat jalan kampung yang meski jauh namun aman. Fatma tak mau ambil resiko. Tapi kali ini lain. Kabar yang disampaikan Izah pagi tadi, membuat Fatma tidak sabar ingin segera sampai Pegasing. Semula Abah bermaksud menemani Fatma, tapi Fatma menolak.
Belum terlihat perkampungan penduduk. Hanya pohon-pohon besar dan jurang menganga di kiri jalan. Fatma tahu perjalanan kurang lebih masih satu setengah kilo lagi mendaki bukit. Tapi sejauh ini Fatma tidak merasa lelah. Fatma hanya sedikit mengeluh, udara siang kelewat panas. Fatma terus melangkah hati-hati. Keringat berleleran di wajahnya. Dan, entah, tiba-tiba Fatma merasa sangat takut. Fatma ingat cerita Cut Sari, sepupunya, tiga hari lalu saat datang ke rumah. Kabarnya dua tahun belakangan ini jalan setapak itu sering dilewati gerombolan orang bertopeng untuk latihan perang-perangan. Menurut Cut Sari, gerombolan orang bertopeng itu tidak segan-segan membunuh atau memperkosa penduduk yang ditemui di jalan.
Fatma bergidik ngeri. Menajamkan penglihatan dan pendengaran. Fatma tidak mau lengah lalu disergap gerombolan orang bertopeng. Fatma tidak mau diculik, diperkosa, disiksa atau dibunuh. Tapi, bagaimana jika gerombolan orang bertopeng sudah menguntit dirinya selama perjalanan tadi? Ah, hutan ini begitu sepi. Apa pun bisa terjadi. Batin Fatma melangkah lebih hati-hati. Dalam hati Fatma terus berdoa agar selamat selama dalam perjalanan.
Ya, Allah, aku mohon kepada-Mu.
Engkau maha tahu segala niat jahat.
Engkau maha tahu segala dendam kesumat.
Bentengilah aku dengan kekuatan-Mu.
Seperti selalu Kau lakukan pada Muhammad.
Amin.

Tiba-tiba Fatma mendengar suara langkah kaki di belakang. Langkah kaki beberapa orang. Fatma kian takut melangkah lebih cepat. Tapi suara langkah kaki di belakang terdengar semakin keras seperti mengejar. Membuat nyali Fatma ciut. Keringat dingin membasahi sekujur tubuhnya. Fatma ingin menoleh, melihat siapa sebenarnya yang sedang berjalan di belakang. Tapi Fatma tak memiliki keberanian untuk itu. Ah, benarkah mereka gerombolan orang bertopeng yang terkenal sadis itu? Atau, hanya penduduk kampung yang baru pulang dari ladang?
TIGA
PEREMPUAN tua itu, Hamidah, terbaring di atas ranjang. Wajahnya pucat berlinang airmata. Disekelilingnya beberapa perempuan berusaha menenangkan. Seseorang dengan tangan gesit terus memijit-mijit kaki Hamidah, sementara yang lain sibuk menggosok-gosokkan minyak angin atau sekadar mondar-mandir saja. Tapi usaha-usaha semacam itu ternyata tak membuahkan hasil. Butiran bening terus mengalir dari sudut mata Hamidah mengikuti lekuk keriput wajahnya. Sesekali nafasnya terlihat sengal, sesak.
Kampung Pegasing, di mana Hamidah tinggal belakangan ini memang terlihat rusuh. Hampir setiap malam selalu terdengar letusan senjata. Sesekali disertai lengking jerit dari dalam hutan. Rumah digedor, didobrak mulai menjadi hal biasa bagi warga. Karenanya begitu sore tiba warga memilih tinggal di rumah mengunci pintu dan jendela. Membuat malam yang sunyi kian terasa mencekam. Tapi, tidak semua warga tahu apa yang membuat keadaan kampung berubah menjadi begitu buruk, mengingatkan mereka pada peristiwa beberapa tahun silam ketika Keucik Ibrahim diseret sepanjang jalan kampung lalu digantung di pohon beringin.
Akankan kondisi seperti ini terus berlanjut? Sampai kapan? Tak ada warga Pegasing yang tahu.
Menyusul Hasan dan Salman, kini giliran Haji Marli, Khamdin dan Simar diculik gerobolan orang bertopeng dari rumahnya pada tengah malam buta ketika semua penghuni rumah terlelap tidur. Khusus Haji Marli, seorang pensiunan guru SD, peristiwa penculikan itu sempat disaksikan oleh istri dan dua anaknya yang tidak berkutik di bawah ancaman senjata. Mereka juga mengancam akan membakar rumah berikut isinya.
Dua hari kemudian warga menemukan mayat Haji Marli mengapung di tepi sungai dekat tumpukan batu dan pasir dengan kondisi tubuh sangat mengenaskan. Untung di saku celana terdapat kartu identitas, jika tidak, pastilah penduduk akan kesulitan mengidentifikasi. Orang-orang sangat sedih kehilangan Haji Marli yang selama ini banyak menyumbangkan pikiran dan tenaganya untuk kemajuan Pegasing. Tentu, Hamidah kawatir jika anaknya mengalami nasib serupa Haji Marli. Meski sampai saat ini Hamidah percaya anak semata wayangnya masih hidup.
Tapi bagaimana pun kekawatiran terus menguntit Hamidah. Jika saja suaminya masih hidup, tentu ia bisa berbagi duka. Berbagi cerita. Tapi suaminya sudah meninggal beberapa puluh tahun lalu. Kepada siapa lagi ia harus berbagi duka? Belum lama rasanya Hamidah berkumpul bersama anak semata wayangnya, setelah  lima belas tahun lebih pergi merantau. Kini Hamidah harus berpisah lagi. Perpisahan yang menyakitkan. Tak ada kabar, tak ada berita, tak ada salam yang datang padanya seperti dulu. Hari-hari Hamidah menjadi kelam. Suram. Hamidah tidak tahu siapa kelak yang akan menghidupinya. Siapa yang merawat jika dirinya jatuh sakit. Siapa yang mengubur jika mati. Padahal batuknya semakin hari semakin parah sesekali mengeluarkan darah dan lendir kental.
Mestinya Hamidah harus dibawa ke dokter atau rumah sakit. Tapi siapa yang bersedia mengantar? Kadang terlintas di benak Hamidah maut akan segera datang menjemput. Tapi Hamidah terus berdoa agar diberi umur panjang, paling tidak sampai ia bisa ketemu lagi dengan anak semata wayangnya. Hanya itu satu-satunya harapan Hamidah. Harapan sederhana yang terus ia latunkan dalam doa usai shalat lima waktu.
Beberapa perempuan tua dan muda datang silih berganti menjenguk  Hamidah. Mereka turut prihatin atas peristiwa yang menimpa Hasan, anak semata wayang Hamidah. Mereka terus berusaha menghibur Hamidah. Bilang bahwa Hasan pasti selamat. Bilang bahwa Hasan mungkin hanya menginap di rumah temannya. Bilang bahwa Hasan masih terlalu kecil untuk ditangkap gerombolan orang bertopeng. Bilang bahwa Hasan orang baik, alim, pendiam, karenanya tak mungkin disakiti orang.
Tapi begitulah, begitu sampai di luar, di teras depan, diam-diam mereka membicarakan kejadian-kejadian mengerikan yang baru terjadi di kampung. Kadang saking asyiknya sampai lupa pulang. Rumah Hamidah akhirnya menjadi semacam tempat mangkal para ibu-ibu. Segala macam informasi bisa didapat di situ. Entah hanya sekadar gosip atau benar-benar fakta.
"Sudahlah, Idah, bek mo, (tidak usah menangis). Kita berdoa saja semoga Hasan selamat dan segera pulang. Hasan anak baik tak mungkin dicelakai orang. Idah harus meyakinkan pada diri Idah sendiri bahwa Hasan baik-baik saja. Sehat-sehat saja. Jangan terlalu sedih," kata seseorang sambil memijit-mijit kaki Hamidah.
"Betul, Idah. Nanti sakit Idah malah semakin parah. Siapa tahu Hasan menginap di rumah temannya. Bukankah banyak teman Hasan di kota? Hasan belum lama pulang dari rantau, tentu dia merasa kesepian di sini dan ingin ketemu lagi dengan teman-temannya…." seseorang lain menyambung, pelan.
Hamidah hanya mengangguk-angguk, mengusap leleran air mata dipipinya. Wajahnya kian pucat tampak jauh lebih tua dari usia seharusnya.
"Ya, siapa tahu Hasan berada di sana, Idah. Dulu aku pernah dengar Hasan mau cari kerja lagi di kota. Katanya menganggur terlalu lama tidak enak.  Apakah Hasan tidak pernah bilang sama Idah?"
Hamidah terdiam beberapa sesaat seperti mengingat-ingat sesuatu, lalu menggelengkan kepala. "Tidak," suara Hamidah lirih. "Tapi, ketika Hasan pergi aku memang sedang tidak di rumah. Aku mencari kayu bakar di hutan. Sampai di rumah Hasan sudah tidak ada. Biasanya kalau pergi lama dia selalu meninggalkan pesan, tapi entah kenapa kali ini....."
"Nah, mungkin Hasan terburu-buru sehingga tidak sempat berpamitan pada Idah," sahut seseorang sambil membenahi gelungan rambutnya.
"Mungkin, mungkin....." lagi, Hamidah mengangguk-angguk. Berangsur-angsur tangisnya reda. Nafasnya kembali teratur. 
Seseorang menyodorkan segelas air putih. Hamidah langsung menerima pemberian gelas itu dan menyruput sedikit.
Sejurus kemudian tiba-tiba terdengar ketukan pintu beberapakali. Para perempuan yang ada di dalam rumah terkejut saling berpandangan. Tak ada yang berani buka suara. Sinar ketakutan memancar dari sorot mata mereka. Tapi tidak dengan Hamidah. Karena Hamidah berharap yang mengetuk pintu adalah Hasan, anaknya.
"Siapa?" Hamidah bangkit dari ranjang menggelung rambutnya yang putih, kusut masai. Berjalan tertatih menghampiri pintu. Ibu-ibu yang ada di situ diam-diam saling merapat, berpegangan tangan.
Sepi. Tidak ada jawaban dari luar. Mungkin orang yang mengetuk pintu tidak mendengar suara Hamidah. Pintu terus diketuk. Semakin lama semakin bertambah keras membuat para Ibu yang ada di dalam rumah menahan nafas, takut.
"So di lua? Siapa di luar?" Hamidah mengulang pertanyaannya.
"Saya. Fatma…"  jawab suara dari luar melegakan orang-orang yang ada di dalam rumah itu.
"Do sidro menteng? Kamu sendiri saja, Fatma?" Suara Hamidah serak, batuk-batuk, membuka pintu.
Fatma mengangguk. Wajahnya berleleran keringat. “Aku dengar sudah dua hari Hasan belum pulang, apa betul, Ine? (Ibu)."
"Duduklah dulu. Nanti ceritanya."
Fatma menuruti kata-kata Hamidah, duduk di kursi kayu reot ruang tamu. Beberapa perempuan yang semula duduk di situ buru-buru menyingkir keluar. Fatma menyeka keringat di wajah dan seputar leher. Sebuah foto ukuran 5R milik Hasan terpampang di dinding ruang tamu bersebelahan dengan foto almarhum Ayah Hasan. Hasan terlihat gagah dan tampan dalam foto itu. Fatma menatap foto itu, lama, lama sekali. Tapi mendadak jantung Fatma berdebar kencang. Entah kenapa tiba-tiba Fatma merasa seperti sudah tidak akan pernah  bertemu lagi dengan Hasan. Garis-garis senyum dan juga sorot mata dalam foto itu, seolah mengabarkan perpisahan. (bersambung)
* Teguh Winarsho AS, cerpenis/novelis kelahiran Kulon Progo tahun 1973. Pernah mendapat kehormatan sebagai cerpenis terbaik se-Jawa Tengah versi Universitas Jenderal Sudirman Purwokerto. Cerpen-cerpennya banyak menghiasi media massa, seperti Republika, Kompas, Horison, Media Indonesia, Koran Tempo, The Jakarta Post, Matra, Suara Karya, Sinar Harapan, Suara Pembaruan, Kedaulatan Rakyat, Bernas, Lampung Post, Bisnis Indonesia, Warta Kota, Pikiran Rakyat, Trans Sumatera, Jawa Pos, Surabaya Post, Minggu Pagi, Suara Merdeka, Wawasan, Solo Pos, Annida, Sabili, Nova, Citra dll. 

Tulisan-tulisannya dalam bentuk antologi bersama adalah Tamansari (Pustaka Pelajar, 1998), Aceh Mendesah dalam Nafasku (Kasuha, 1999), Embun Tajalli (Aksara, 2000), Bunga-Bunga Cinta (Senayan Abadi, 2003), Wajah di Balik Jendela (Lazuardi, 2003), Jika Cinta (Senayan Abadi, 2003), Pipit Tak Selamanya Luka (Senayan Abadi, 2003), Jalan Tuhan (Lazuardi 2004), dll. Kumpulan cerpen tunggalnya yang telah terbit, Bidadari Bersayap Belati (Gama Media, 2002), Perempuan Semua Orang (Arruzz, 2004). Salah satu cerpennya masuk dalam kumpulan cerpen pilihan Kompas tahun 2003. Sementara novelnya Di Bawah Hujan dimuat bersambung di harian Suara Pembaruan, edisi 10 April - 07 Juni 2000. Novel Orang-Orang Bertopeng dimuat bersambung di harian Sinar Harapan, edisi 27 Maret-10 Mei 2002.

(Cerita ini pernah dimuat bersambung di harian Sinar Harapan dengan judul Orang-Orang Bertopeng)

0 komentar:

Posting Komentar

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...