Berdasarkan hasil Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2010, prevalensi  kekurangan gizi pada anak balita komposisinya sekitar 13 persen anak  mengalami gizi kurang dan 4,9 persen gizi buruk. Jumlah anak balita saat  ini sekitar 12 persen (sekitar 28,5 juta jiwa) dari total penduduk,  yang berdasarkan Sensus Penduduk 2010 sebanyak 237,6 juta jiwa.
”Jutaan anak balita yang lahir dalam kondisi rawan gizi akan memengaruhi  kualitas sumber daya manusia Indonesia,” kata Wakil Ketua Pengurus  Besar Ikatan Dokter Indonesia Bidang Kependudukan, Keluarga Berencana,  dan Kesehatan Ibu dan Anak sekaligus Ketua Satgas Perlindungan Anak  Ikatan Dokter Anak Indonesia, Rachmat Sentika, Selasa (11/1).
Padahal, kata Sentika, usia balita merupakan peluang terbesar  pembentukan otak. Dampak kekurangan gizi antara lain kurangnya tumbuh  kembang otak yang dapat bersifat permanen dan tidak terpulihkan. ”Dapat  dibayangkan jutaan anak balita tumbuh dengan kualitas rendah dan  kehilangan masa emas. Mereka juga yang kelak harus membangun negara  ini,” ujarnya.
Secara persentase, ada penurunan dibandingkan  dengan Riskesdas 2007, yakni prevalensi kekurangan gizi pada anak balita  18,4 persen (gizi kurang 13 persen dan gizi buruk 5,4 persen). Namun,  penurunan itu tak signifikan, apalagi pertumbuhan penduduk lebih tinggi  dari harapan.
Kondisi gizi buruk terparah antara lain di Sulawesi  Barat, Nusa Tenggara Timur, Maluku, dan Nusa Tenggara Barat. Demikian  juga dengan angka kematian bayi tertinggi di Nusa Tenggara Barat (72 per  1.000 kelahiran hidup), Sulawesi Tengah (60), Maluku (59), dan Nusa  Tenggara Timur (57). Di lokasi-lokasi itu pula angka total kelahiran  terbilang tinggi.
Rachmat Sentika mengatakan, tingginya jumlah  kelahiran bayi tersebut berkonsekuensi pada layanan imunisasi, pemberian  vitamin tambahan, dan pembagian buku Kesehatan Ibu dan Anak yang  ternyata rendah.
Direktur Bina Kesehatan Ibu Kementerian  Kesehatan Ina Hernawati mengatakan, berdasarkan Riskesdas 2010,  permasalahan kesehatan perempuan berawal dari masih tingginya usia  perkawinan pertama di bawah usia 20 tahun, yakni 4,8 persen pada usia  10-14 tahun dan 41,9 persen pada usia 15-19 tahun. (INE) 
Sumber :Kompas Cetak
 
0 komentar:
Posting Komentar