Selasa, 05 April 2011 By: sanggar bunga padi

Aku Bukan Sekuntum Bunga (bagian 7)

Oleh: TEGUH WINARSHO AS * 
Malam lebih sunyi dan mencekam dari biasanya. Fatma tidur di kamar Hasan. Kamar sempit ukuran empat kali tiga. Tapi sudah dua jam lebih Fatma belum bisa tidur. Matanya sulit dipejamkan.
Fatma bangkit dari ranjang duduk gelisah di ruang tengah. Dalam hati Fatma berharap malam ini Hasan pulang. Fatma akan menunggu kepulangan Hasan. Membukakan pintu dan menyambut dengan senyum hangat. Tapi malam terus merambat larut, Hasan tidak kunjung datang. Berkali-kali Fatma melongok jam di dinding, kesal, seolah waktu bergerak lamban. Apakah malam ini Hasan benar-benar tidak pulang? Kenapa? Ada apa? Fatma disergap berbagai tanya. Pertanyaan yang membuat dirinya semakin tersuruk dalam gelisah panjang. Dalam resah menikam.
Malam terus mengirim udara dingin. Di tempat duduknya Fatma semakin gelisah. Berkali-kali melongok jam dinding. Berkali-kali itu pula gelisahnya semakin bertumpuk dan bertumpuk. Bayangan buruk masa depan hubungannya dengan Hasan terus menari-nari di pelupuk mata. Bayangan itu serupa belati tajam menikam ulu hati.
Tiba-tiba terdengar ketukan pintu. Fatma tergeragap. Wajahnya berubah cerah. Buru-buru Fatma bangkit dari tempat duduk berjalan menghampiri pintu. Fatma yakin orang yang mengetuk pintu adalah Hasan. Ya, siapa lagi kalau bukan Hasan? Fatma merasa doanya telah dikabulkan. Malam ini Hasan pulang! Tapi baru beberapa langkah, tiba-tiba Fatma ragu, bimbang. Benarkah orang yang mengetuk pintu Hasan? Bagaimana jika bukan Hasan, tapi gerombolan orang bertopeng? Bukankah gerombolan orang bertopeng senang keluyuran malam hari? Fatma buru-buru menghentikan langkahnya, menimbang-nimbang apakah perlu membuka pintu atau tidak. Sementara di luar ketukan pintu terdengar semakin keras…

EMPAT
HARI ke lima belas. Tapi Hasan dan Salman masih belum tahu di mana sebenarnya mereka berada. Apakah masih di sekitar Aceh atau sudah pindah di Pulau Jawa. Setiap kali mengedar pandang yang terlihat hanya tembok tebal dan lonjoran-lonjoran besi tua. Tapi tidak seperti ketika pertama kali datang, ruangan yang mereka huni kali ini sedikit lebih enak; luas dan lumayan bersih. Tidak ada bau anyir darah, bangkai tikus, atau onggokkan sampah sisa makan. Suatu malam dengan menggunakan truk, lima orang bertopeng membawa Hasan dan Salman pergi ke tempat ini.
Dua buah almari kecil, dua tikar, dua bantal dan dua selimut berada dalam ruang ini. Di bagian belakang terdapat kamar mandi dan wc dengan persediaan air sangat terbatas. Setiap hari seseorang menyodorkan bungkusan nasi lewat sela jeruji besi. Memang, makanan yang disuguhkan tetap tidak enak. Tapi cukuplah untuk sekadar mengganjal perut. Luka di kepala Hasan berangsur mulai kering. Sementara goresan kaca di lengan dan kaki Salman sudah tak berbekas lagi. Tak ada penyiksaan atau pertanyaan-pertanyaan membingungkan diajukan kepada Hasan maupun Salman. Mereka dikurung begitu saja dalam ruangan.
Tapi inilah yang justru membuat mereka sangat tersiksa. Mereka ingin menghadap dan menjelaskan pada pimpinan, ketua atau apalah namanya --- gerombolan orang bertopeng itu duduk perkara sebenarnya sekaligus mohon agar dibebaskan. Tapi mereka tak pernah diberi kesempatan untuk bertemu. Seseorang yang menyodorkan makan setiap siang dan malam diam seribu bahasa ketika diajak bicara. Seolah hubungan sengaja diputus di situ. Pernah Hasan dan Salman merengek-rengek minta agar dipertemukan dengan pimpinan gerombolan orang bertopeng. Tapi jawaban yang di dapat justru menyakitkan; "Apakah kalian mau mati, hah!" Melotot sambil menghunus senapan. Hasan dan Salman takut. Sejak itu Hasan dan Salman memilih diam. Ya, diam mungkin lebih baik dari pada harus berhadapan dengan moncong senapan.
Begitulah, hari-hari berlalu dengan kesunyian panjang. Hasan selalu ingat pada Ibu di rumah. Juga Fatma. Juga orang-orang di kampung. Bagaimana kabar mereka? Berulangkali Hasan mencoba membunuh ingatannya pada orang-orang tercinta itu karena hanya membuat dirinya hancur. Luka. Tapi sulit. Semakin ia ingin melupakan, semakin dalam ingatan itu membayang.
Salman sejak awal memang tampak tenang. Entah apa yang ada dalam batok kepala Salman. Batok kepala itu seperti terbuat dari batu.
"Sampai kapan kita dikurung di sini, Man?” tanya Hasan pada suatu malam.
Salman menghela nafas berat. Menggeliat pelan di atas tikar. Beberapa hari belakangan ini Salman memang terlihat malas-malasan, jarang mandi, sering melamun dan enggan diajak bicara. "Entahlah…. Aku tidak tahu…" malas Salman menjawab pertanyaan Hasan. Salman menggerak-gerakan tubuhnya lebih keras hingga terdengar bunyi bergeretak mirip tumpukan kayu terbakar.
Hasan membuang pandang menembus lonjoran-lonjoran besi didepannya. Hanya di situ pandangan matanya bisa sedikit leluasa. "Hmm, seperti apa nasib kita nanti....." Hasan mendesah, menggeleng-gelengkan kepala.
"Apakah kamu rindu dengan Fatma?" kata Salman sambil memutar-mutar kepalanya.
"Tiga bulan lagi kami akan menikah. Aku sudah berjanji akan membelikan gaun pengantin," Hasan mengeluarkan dompet dari saku celana, lalu mengambil sesuatu dari situ. Foto Fatma.
"Apa itu, San?"
Hasan tidak menjawab. Menatap foto Fatma lekat-lekat. Ada kerinduan menghentak dada Hasan. Berdesir dan berkelindan. Salman penasaran dengan kertas kecil yang dipegang Hasan. Salman ikut nimbrung. Tapi Hasan sudah keburu memasukkan foto itu ke dalam dompet.
"Boleh aku lihat?"
Hasan diam. Salman terus mendesak.
"Foto, ya? Foto siapa? Coba aku lihat," Salman merengek. Wajahnya memelas.
Hasan tidak tega melihat raut muka Salman. Hasan kembali mengeluarkan foto dari dompet disodorkan pada Salman. Salman terkesima menatap foto itu. Di mata Salman, Fatma tampak begitu cantik, anggun, seperti bidadari turun dari surga. Jantung Salman mendadak berdetak kencang. Darahnya berkelupuk seperti air mendidih. Sudah lama Salman tidak bertemu dengan Fatma, kini Fatma telah berubah menjadi gadis cantik menawan. Salman benar-benar terkesima. Bayangan masa lalu kemudian datang silih berganti memenuhi kepala Salman. Semakin lama semakin menggumpal, kental.
Salman ingat bagaimana dulu ia juga pernah jatuh hati pada Fatma. Bahkan pernah mengutarakan perasaan cintanya. Tentu, tentu, bukan cuma dirinya saja, tapi banyak pemuda lain yang melakukan hal sama. Ah, siapa pemuda yang tidak kenal Fatma? Sejak masih remaja Fatma sudah menampakan kecantikan luar biasa. Ibarat bunga, harumnya semerbak ke mana-mana. Dalam setiap pertemuan Fatma selalu menjadi perbincangan anak-anak muda. Diam-diam mereka saling berlomba merebut simpati Fatma.
Tapi setelah sekian lama waktu berlalu, setelah Fatma bekerja di kota Kabupaten, yang mengharuskannya tinggal di kota, justru Hasan-lah orang yang beruntung itu. Hasan, pemuda lugu, polos, yang selepas SMP pergi merantau ke Jakarta. Salman tidak tahu bagaimana awal mula hubungan asmara Hasan dan Fatma bisa terjalin. Tapi, konon, Hasan dan Fatma memang sudah dijodohkan sejak kecil.
Salman mengembalikan foto itu pada Hasan. Meski begitu, bayangan seraut wajah cantik itu terus berkelebat-kelebat dalam benaknya. Jatuh cinta? Hmm. Tegakah mengkhianati teman sendiri? Kadang terlitas di benak Salman bahwa sebenarnya dirinya jauh lebih pantas mendapat Fatma. Tapi kenapa Fatma justru memilih Hasan?
          Hasan dan Salman larut dalam diam. Hasan menyandarkan punggungnya di tembok. Letih. Pernikahannya dengan Fatma tinggal empat bulan lagi. Ya, empat bulan. Waktu yang singkat untuk menyiapkan segala sesuatunya. Padahal Hasan ingin pernikahannya nanti dibuat meriah. Sudah lama ia mengumpulkan uang untuk tujuan itu. Tapi, ah, tiba-tiba Hasan disadarkan oleh sesuatu, tepat ketika tangannya meraba tembok tebal di belakang. Bagaimana mungkin aku bisa menikah dengan Fatma jika aku masih mendekam di sini? Pertanyaan itu serta-merta meredupkan semangat Hasan. Tubuhnya lemas tak bertenaga.
Hasan terpekur menatap lantai kusam. Kenangan demi kenangan masa silam tiba-tiba kembali membayang. Wajah Ayah, Ibu, Fatma, saudara, tetangga, teman, terus membawanya dalam kenangan panjang tak berkesudahan.....(bersambung)

* Teguh Winarsho AS, cerpenis/novelis kelahiran Kulon Progo tahun 1973. Pernah mendapat kehormatan sebagai cerpenis terbaik se-Jawa Tengah versi Universitas Jenderal Sudirman Purwokerto. Cerpen-cerpennya banyak menghiasi media massa, seperti Republika, Kompas, Horison, Media Indonesia, Koran Tempo, The Jakarta Post, Matra, Suara Karya, Sinar Harapan, Suara Pembaruan, Kedaulatan Rakyat, Bernas, Lampung Post, Bisnis Indonesia, Warta Kota, Pikiran Rakyat, Trans Sumatera, Jawa Pos, Surabaya Post, Minggu Pagi, Suara Merdeka, Wawasan, Solo Pos, Annida, Sabili, Nova, Citra dll. 

Tulisan-tulisannya dalam bentuk antologi bersama adalah Tamansari (Pustaka Pelajar, 1998), Aceh Mendesah dalam Nafasku (Kasuha, 1999), Embun Tajalli (Aksara, 2000), Bunga-Bunga Cinta (Senayan Abadi, 2003), Wajah di Balik Jendela (Lazuardi, 2003), Jika Cinta (Senayan Abadi, 2003), Pipit Tak Selamanya Luka (Senayan Abadi, 2003), Jalan Tuhan (Lazuardi 2004), dll. Kumpulan cerpen tunggalnya yang telah terbit, Bidadari Bersayap Belati (Gama Media, 2002), Perempuan Semua Orang (Arruzz, 2004). Salah satu cerpennya masuk dalam kumpulan cerpen pilihan Kompas tahun 2003. Sementara novelnya Di Bawah Hujan dimuat bersambung di harian Suara Pembaruan, edisi 10 April - 07 Juni 2000. Novel Orang-Orang Bertopeng dimuat bersambung di harian Sinar Harapan, edisi 27 Maret-10 Mei 2002.

(Cerita ini pernah dimuat bersambung di harian Sinar Harapan dengan judul Orang-Orang Bertopeng)

0 komentar:

Posting Komentar

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...