Selasa, 19 April 2011 By: sanggar bunga padi

Aku Bukan Sekuntum Bunga (bagian 19)

Oleh: TEGUH WINARSHO AS *
Begitulah, malang tak dapat ditolak, untung pun tak dapat diraih. Umi telah menjatuhkan vonis; Fatma harus menikah dengan Salman. Harus! Kecuali Fatma  punya nyali besar pergi meninggalkan rumah. Menggagalkan semua rencana Umi. Memudarkan semua ambisi Umi. Semalam pikiran semacam itu memang sempat mengganggu Fatma. Tapi Fatma masih meragukan keberanian yang ia miliki. Tak ada tempat atau orang yang bisa dijadikan perlindungan. Satu-satunya orang yang paling mungkin adalah Cut Hindar. Tapi Fatma juga masih meragukan keberanian Cut Hindar menerima dirinya mengingat keadaan sudah demikian gawat. Paling-paling Cut Hindar hanya akan memberinya ongkos untuk pergi sejauh mungkin. Tapi ke mana?
Ke mana? Ke kota? Di kota ia memang masih punya beberapa teman yang tentu saja tidak keberatan untuk sekadar menampung dirinya. Tapi persoalannya, berapa hari ia akan numpang di sana? Berapa lama? Seminggu, dua minggu, tiga minggu bolehlah, tapi kalau sudah lebih dari itu tentu tidak enak. Apalagi menurut cerita yang belakangan ini ia dengar, keadaan kota justru sedang rusuh. Banyak orang kampung yang tinggal di sana pulang mencari selamat. Kenapa dirinya justru datang ke kota? Apakah ini namanya bukan mencari celaka saja?
Ya, malang tak dapat ditolak, untung pun tak dapat diraih. Nanti sore keluarga Salman akan datang ke rumah untuk melamar. Fatma bisa saja tetap berada di kamar dan mengunci pintu jendela. Tapi Umi juga bisa menemui keluarga Salman dan menyatakan menerima lamaran mereka. Ya, kini Umi bisa melakukan segala hal sesuai kehendaknya. Umi menjadi orang yang paling berkuasa di rumah. Kearifan dan kelembutan Umi, belakangan ini tidak terlihat lagi. Hati Umi keras seperti batu.
Pertengkaran dengan Umi masih menyisakan perih di hati Fatma. Perih yang menghunjam dalam. Perih yang mungkin akan susah disembuhkan. Kini Fatma tidak tahu harus berbuat apa lagi.
Turun dari ranjang, Fatma berjalan menghampiri cermin. Di situ seolah ia ingin menyaksikan dirinya secara utuh. Menyakini penderitaannya. Kedukaannya. Kesedihannya. Kekecewaan hatinya. Lama Fatma menatap wajahnya di cermin ketika tiba-tiba terdengar suara berat dan serak memanggil.
"Fatma, keluarlah. Sejak semalam kau belum makan. Nanti kau sakit." Itu adalah suara Abah.
Fatma menggeleng. Tapi mulutnya tak bersuara. Masih ada mendung tipis mengambang di mata Fatma.
"Ayolah, Fatma, tak baik di kamar terus," Abah membujuk. Di banding Umi, Abah jarang marah. Tapi sekali marah semua orang akan takut.
"Aku belum lapar," jawab Fatma bohong. Sudah sejak pagi tadi ia belum makan. Perutnya melilit-lilit perih. Tapi Fatma malas keluar. Fatma malas ketemu Umi.
“Hari ini Umi masak makanan kesukaanmu…”
“Aku masih kenyang.”
Abah entah pergi ke mana. Sudah tak terdengar lagi suara dari luar. Sepi. Kembali Fatma menatap dirinya di cermin. Garis-garis air mata masih membekas di wajahnya.
Tiba-tiba kembali terdengar suara berat dan serak memanggil. Fatma yang masih asyik bercengkerama dengan kesedihannya di depan cermin terkejut. Fatma mundur menghampiri pintu.
“Fatma, buka pintu kamarmu. Abah bawakan makanan…”
Ragu-ragu Fatma membuka pintu kamarnya. Abah kemudian mengangsurkan sepiring nasi lewat celah pintu yang hanya dibuka sedikit oleh Fatma.
 
DUA BELAS

MESKI hanya sederhana, tapi kesibukan tetap saja membelit Umi dan Abah menjelang hari pernikahan Fatma. Dari mengecat ruang tamu, pagar rumah, merapikan dapur, mengganti genting bocor, sampai menyiapkan segala macam keperluan konsumsi. Seekor sapi dan kambing gemuk sudah dipersiapkan untuk disembelih pada hari H nanti. Berkarung-karung padi hasil panen sudah digiling menjadi beras. Tetangga kanan kiri semua diundang untuk turut menyaksikan hari istimewa itu. Tapi rasanya semua orang kampung sudah tahu. Apalagi sudah cukup lama di Ulegle tidak ada hajat pernikahan. Pernikahan Fatma dan Salman beritanya langsung menyebar.
Pernikahan Fatma menjadi sejarah kemenangan Umi. Mengingatkan Umi pada peristiwa duapuluh enam tahun lalu ketika harus menerima lamaran seorang laki-laki yang rupanya jauh hari sebelumnya sudah ‘direstui’ oleh ayahnya. Laki-laki santun dan alim yang pada suatu malam di bawah derai gerimis datang ke rumah melamar dirinya. Laki-laki asing bagi Umi karena baru pertama kalinya Umi bertatap muka dan laki-laki itu langsung melamar dirinya.
Di bawah tatapan ayah yang penuh pesona dan wibawa, Umi tak bisa menolak lamaran laki-laki santun itu meski sesungguhnya hatinya remuk redam karena sudah ada laki-laki lain yang lebih dulu singgah di hati. Laki-laki tampan yang sering menjadi aneuk cahi dalam setiap pertunjukan seudati dan selalu menjadi pusat perhatian para remaja putri karena suaranya yang merdu dan khas. Ya, Umi terpaksa meninggalkan laki-laki pujaan hatinya dan menikah dengan laki-laki santun pilihan ayah.
Kini, telah berpuluh tahun laki-laki itu resmi menjadi suaminya dan sudah memberinya seorang anak gadis cantik rupawan. Telah berpuluh tahun laki-laki itu hidup dalam satu atap membagi segala suka dan duka. Telah berpuluh tahun laki-laki itu tidur satu ranjang menghayati sepi dan dingin malam dengan sejuta gairah sepanas bara. Apakah akhirnya Umi bisa mencintai laki-laki itu dengan sepenuh hati? Pasrah memberikan segenap jiwa raganya pada laki-laki itu? Ataukah sebagian hati Umi masih terbagi pada laki-laki yang dulu dipujanya? Laki-laki yang pandai membaca syair? Laki-laki seorang penyair?
Lalu, di manakah sesungguhnya letak cinta? Apakah pada secuil hati yang tak terlihat? Ataukah pada kerling indah bola mata yang sering dusta?
Umi masih sibuk di dapur. Sementara Fatma lebih banyak berada di kamar, malas melayani pembicaraan tetangga kanan kiri yang mulai hilir mudik di rumah, seperti suasana stasiun kereta. Bahkan ada satu dua gadis remaja yang selalu mengawasi gerak-geriknya seolah mereka ingin tahu seperti apa perilaku seorang wanita menjelang hari pernikahan, karena mungkin sebentar lagi mereka akan menikah.
Kalau toh terpaksa Fatma harus keluar, makan, mandi, misalnya, paling ia hanya melempar senyum pada para tetangga itu, sekadar untuk basa-basi dan langsung pergi menghindar. Menghindar jauh lebih baik dari pada harus menjawab sederet pertanyaan yang akan membuat dirinya semakin tersiksa.
Berbeda dengan Fatma, Umi berubah menjadi makhluk paling ramah dan cerewet sedunia. Sambil terus mengawasi orang-orang yang bekerja di dapur, sesekali Umi melempar gurauan-gurauan yang membuat suasana kerja menjadi hangat dan meriah. Beberapa orang diam-diam heran melihat perubahan pada diri Umi. Tapi mereka akhirnya paham. Sebelum ini Umi sangat merisaukan keadaan Fatma. Kerisauan Umi bisa dimaklumi. Di Ulegle, sebuah kampung terpencil dengan tophografis wilayah dikelilingi perbukitan dan karenanya menjadi satu komunitas masyarakat yang memiliki kekerabatan kuat, gadis yang sudah cukup berumur tapi belum menikah sering menjadi bahan gunjing yang kurang enak. Umi mengerti itu. Karenanya kini pastilah Umi sangat bahagia karena anak gadisnya akan segera menikah. (bersambung)

* Teguh Winarsho AS, cerpenis/novelis kelahiran Kulon Progo tahun 1973. Pernah mendapat kehormatan sebagai cerpenis terbaik se-Jawa Tengah versi Universitas Jenderal Sudirman Purwokerto. Cerpen-cerpennya banyak menghiasi media massa, seperti Republika, Kompas, Horison, Media Indonesia, Koran Tempo, The Jakarta Post, Matra, Suara Karya, Sinar Harapan, Suara Pembaruan, Kedaulatan Rakyat, Bernas, Lampung Post, Bisnis Indonesia, Warta Kota, Pikiran Rakyat, Trans Sumatera, Jawa Pos, Surabaya Post, Minggu Pagi, Suara Merdeka, Wawasan, Solo Pos, Annida, Sabili, Nova, Citra dll. 

Tulisan-tulisannya dalam bentuk antologi bersama adalah Tamansari (Pustaka Pelajar, 1998), Aceh Mendesah dalam Nafasku (Kasuha, 1999), Embun Tajalli (Aksara, 2000), Bunga-Bunga Cinta (Senayan Abadi, 2003), Wajah di Balik Jendela (Lazuardi, 2003), Jika Cinta (Senayan Abadi, 2003), Pipit Tak Selamanya Luka (Senayan Abadi, 2003), Jalan Tuhan (Lazuardi 2004), dll. Kumpulan cerpen tunggalnya yang telah terbit, Bidadari Bersayap Belati (Gama Media, 2002), Perempuan Semua Orang (Arruzz, 2004). Salah satu cerpennya masuk dalam kumpulan cerpen pilihan Kompas tahun 2003. Sementara novelnya Di Bawah Hujan dimuat bersambung di harian Suara Pembaruan, edisi 10 April - 07 Juni 2000. Novel Orang-Orang Bertopeng dimuat bersambung di harian Sinar Harapan, edisi 27 Maret-10 Mei 2002.

(Cerita ini pernah dimuat bersambung di harian Sinar Harapan dengan judul Orang-Orang Bertopeng)

0 komentar:

Posting Komentar

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...