Kamis, 14 April 2011 By: sanggar bunga padi

Aku Bukan Sekuntum Bunga (bagian 14)

Oleh: TEGUH WINARSHO AS *

 DELAPAN

MESKI hati Salman diliputi perasaan bahagia, tapi ia masih sering merasa cemas. Terutama jika larut malam ketika ia kesulitan memejamkan mata. Bayang-bayang gerombolan orang bertopeng kerap hadir menghantui. Begitu menakutkan. Begitu mengerikan hingga sering terbawa dalam tidur. Dalam mimpi. Entah sudah berapakali dalam tidurnya Salman berteriak-teriak seperti orang kesakitan disiksa.
Diam-diam Salman merasa hidupnya terancam. Memang mulutnya masih  bisa tersenyum, tertawa dan bercanda, tapi sebenarnya hatinya selalu gelisah, tidak tenang. Bahkan jika kebetulan sedang berjalan seorang diri di jalan sepi, mendadak Salman sering merasa seperti ada seseorang atau sekelompok orang yang membuntuti di belakang dengan sorot mata tajam dan sepucuk senapan panjang siap ditembakan di kepalanya. Pada saat seperti itu bisa dipastikan tubuh Salman menggigil tenaganya terhisap lesap. Lemas.
Begitulah, Salman sangat takut dan cepat berkeringat dingin di tempat-tempat sepi. Tempat-tempat yang selalu mengingatkannya pada gerombolan orang bertopeng. Wajar jika Salman kemudian sering menghindari tempat-tempat seperti itu sekalipun jarak yang ditempuh semakin jauh. Atau kalau terpaksa harus lewat, Salman biasanya mengajak teman seorang atau dua orang lagi. Benar-benar menyakitkan. Salman tak pernah lagi bisa merasakan nikmatnya sebuah perjalanan.
Ya, bayang-bayang gerombolan orang bertopeng sangat sulit dihapus dari ingatan Salman meski kondisi kampung kini sudah mulai terlihat aman. Cukup lama Salman disekap gerombolan orang bertopeng yang membuatnya trauma. Masih beruntung Salman tidak sampai gila seperti Khamdin, Simar atau Hikman yang kemudian sering menjadi bahan ejekan dan tertawaan anak-anak kecil jika sedang melenggang di jalan. Bahwa kini ia masih sering dihantui gerombolan orang bertopeng, Salman sadar sepenuhnya itu hanya persoalan waktu saja. Kelak jika kondisi kampung benar-benar sudah pulih, atau dengan menyibukkan diri dengan berbagai macam kegiatan pasti bayang-bayang itu akan hilang dengan sendirinya.
Kedua orang tua Salman rupanya juga punya pikiran sama. Karenanya menurut mereka, yang paling mendesak harus dilakukan Salman ialah cepat-cepat menikah, berkeluarga. Meski kedua orang tua yang sudah mulai pikun itu masih kebingungan mencari gadis mana yang kira-kira cocok untuk mendampingi Salman.
Salman cukup tampan dan gagah. Karenanya sejauh ini kedua orang tuanya tak pernah memikirkan nasib Salman berkaitan dengan jodoh. Tidak saja akan memalukan, tapi juga melecehkan kebebasan Salman sebagai laki-laki dewasa yang mempunyai kebebasan penuh untuk menentukan pilihannya sendiri. Tapi bahwa sekarang mereka ingin mencarikan jodoh untuk Salman, semata-mata karena ada hal lain di luar itu yang lebih mendesak. Salman harus kembali hidup normal! Itu alasan utama kedua orang tua Salman yang diam-diam mulai bosan mendengar jerit kesakitan Salman hampir setiap malam tatkala tidur. Atau mendadak Salman bertingkah aneh di luar kontrol.
Orang tua mana yang tega melihat anaknya hidup kacau? Amburadul? Tidak ada. Kecuali jika si anak memang sudah keterlaluan. Tapi sejauh ini di mata kedua orang tuanya, Salman boleh dibilang termasuk anak yang baik. Kelakuan-kelakuannya yang belakangan kadang aneh, menurut orang tua Salman karena masih trauma diculik gerombolan orang bertopeng. Toh, di saat-saat lain, Salman bersikap normal, masih giat bekerja di sawah atau ladang. Bahkan jauh lebih giat dibanding ketika belum diculik. Entah motivasi apa yang membuat Salman bekerja begitu keras menguras tenaga. Tidak ada orang lain yang tahu kecuali Salman sendiri.
***
SALMAN tergeragap bangun. Rambutnya acak-acakan persis kain seprei dibawahnya. Untuk beberapa saat lamanya Salman masih termangu di atas tempat tidur. Salman ingat mimpinya semalam. Mimpi yang mengerikan. Dalam mimpi tersebut Salman didatangi pimpinan gerombolan orang bertopeng yang bertanya macam-macam perihal laki-laki bernama Zaini Paleun. Anehnya mulut Salman mendadak kaku tidak bisa dibuka untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan itu. Membuat pimpinan gerombolan orang bertopeng itu marah besar. Berkali-kali kepala Salman dihantam dengan lonjoron besi sebesar lengan orang dewasa. Salman merintih kesakitan.
Ah, lagi-lagi mimpi buruk! Batin Salman jengah. Dengan perasaan tidak enak Salman bangkit membuka jendela. Cahaya matahari dengan leluasa masuk ke dalam kamar. Sesaat kedua bola mata Salman yang masih sipit mengerjit, silau, oleh bulatan putih keperak-perakan yang begitu menyengat. Lalu dikucek-kucek matanya sembari menghirup segar udara pagi. Kali ini Salman merasa sedikit lebih enak. Tubuhnya ringan. Dan, ketika Salman membuka matanya lebih lebar, tampak dikejauhan pohon-pohon jati yang menguning daunnya. Sebagian rontok ke tanah. Tapi tiba-tiba ada sesuatu yang mengganggu pikiran Salman; seraut wajah cantik Fatma! Karena itu Salman segera beringsut mengambil langkah-langkah panjang menuju kamar mandi.
Sampai di dapur, Salman melihat Mamak sedang menyiapkan sarapan pagi. Di atas meja sudah terhidang dua cangkir kopi masih panas, mengepul.
"Baru bangun?" tanya Mamak sambil mengiris kacang panjang.
"He-eh," Salman mengangguk, meneruskan langkah menuju kamar mandi.
Tidak lebih dari lima menit Salman sudah keluar dari kamar mandi dengan handuk dililitkan di leher. Sebagian rambutnya basah. Sebelum melangkah jauh, Salman sempatkan mencicipi kopi buatan Mamak.
"Hmmm, enak sekali....." gumam Salman menghirup aroma kopi dalam-dalam.
"Siapa dulu yang bikin," sahut Mamak di depan tungku.
Salman tertawa. Tapi tawanya terdengar aneh, ganjil.
Mamak merasa aneh mendengar tawa Salman yang lain dari biasanya. Ada sesuatu yang kemudian ingin ditanyakan Mamak pada Salman. Tapi ketika dilihatnya Salman masih menikmati kopi dengan begitu berselera, Mamak mengurungkan niatnya. Mamak kemudian justru membetulkan letak sanggulnya yang turun, membuat rambutnya sedikit acak-acakan, lantas berkata: "Setelah pekerjaan ini selesai aku akan menyusul Ayahmu ke ladang. Apa kamu mau ikut?"
Salman kurang mendengar pertanyaan Mamak sehingga perempuan tua itu merasa perlu mengulang lagi, "Aku akan menyusul Ayahmu ke ladang. Apakah kamu mau ikut?"
Salman menatap Mamak. Lalu menggeleng pelan.
Hari ini Salman punya rencana sendiri. Ia akan berkunjung ke rumah Fatma. Sudah hampir satu minggu ia tak melihat wajah cantik itu. Salman rindu sekali. Salman ingin menikmati kecantikan Fatma.
Hampir sepuluh menit Salman mematut-matut diri di depan cermin. Sesekali tersenyum dan bicara-bicara sendiri. Untung Mamak tidak dengar, jika dengar pasti Mamak semakin penasaran. Mamak pasti menduga anaknya sudah gila.
Setelah merasa puas dengan penampilannya, Salman berjalan menghampiri meja di sudut kamar. Lalu, dengan hati-hati dibukanya laci meja dan diraihnya bungkusan plastik kecil berikut amplop surat berwarna merah hati bergambar dua ekor kupu-kupu bercumbu. Sesaat diciumnya sampul amplop itu seperti mencium minyak wangi.
"Aku ke ladang dulu," suara Mamak mengejutkan Salman. Bungkusan plastik kecil di tangannya nyaris jatuh.
"Iii-ya," Tergagap Salman menjawab. Disembunyikannya bungkusan plastik kecil itu di bawah bantal, kawatir jika tiba-tiba Mamak masuk kamar.
"Jangan lupa, kunci semua pintu rumah jika kamu mau pergi!"
"Ya." Salman menarik nafas lega Mamak tidak masuk ke kamarnya.
Dan, sebelum benar-benar keluar kamar, untuk kesekian kalinya Salman memuaskan diri mematut di depan cermin seolah takut penampilannya berubah tidak menarik. Lalu, dengan jantung berdebar Salman mulai membuka pintu depan dan melangkah keluar. Perasaan bahagia dan haru campur aduk jadi satu membuat langkah Salman terlihat aneh. Keanehan itu semakin terlihat jelas saat bertemu dengan beberapa penduduk kampung yang menyapanya dengan hangat, tapi ia balas dengan senyum masam.(bersambung)
 
 
* Teguh Winarsho AS, cerpenis/novelis kelahiran Kulon Progo tahun 1973. Pernah mendapat kehormatan sebagai cerpenis terbaik se-Jawa Tengah versi Universitas Jenderal Sudirman Purwokerto. Cerpen-cerpennya banyak menghiasi media massa, seperti Republika, Kompas, Horison, Media Indonesia, Koran Tempo, The Jakarta Post, Matra, Suara Karya, Sinar Harapan, Suara Pembaruan, Kedaulatan Rakyat, Bernas, Lampung Post, Bisnis Indonesia, Warta Kota, Pikiran Rakyat, Trans Sumatera, Jawa Pos, Surabaya Post, Minggu Pagi, Suara Merdeka, Wawasan, Solo Pos, Annida, Sabili, Nova, Citra dll. 

Tulisan-tulisannya dalam bentuk antologi bersama adalah Tamansari (Pustaka Pelajar, 1998), Aceh Mendesah dalam Nafasku (Kasuha, 1999), Embun Tajalli (Aksara, 2000), Bunga-Bunga Cinta (Senayan Abadi, 2003), Wajah di Balik Jendela (Lazuardi, 2003), Jika Cinta (Senayan Abadi, 2003), Pipit Tak Selamanya Luka (Senayan Abadi, 2003), Jalan Tuhan (Lazuardi 2004), dll. Kumpulan cerpen tunggalnya yang telah terbit, Bidadari Bersayap Belati (Gama Media, 2002), Perempuan Semua Orang (Arruzz, 2004). Salah satu cerpennya masuk dalam kumpulan cerpen pilihan Kompas tahun 2003. Sementara novelnya Di Bawah Hujan dimuat bersambung di harian Suara Pembaruan, edisi 10 April - 07 Juni 2000. Novel Orang-Orang Bertopeng dimuat bersambung di harian Sinar Harapan, edisi 27 Maret-10 Mei 2002.

(Cerita ini pernah dimuat bersambung di harian Sinar Harapan dengan judul Orang-Orang Bertopeng)

0 komentar:

Posting Komentar

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...