Minggu, 04 Desember 2011 By: sanggar bunga padi

Negeri Para Pemburu

Oleh: TEGUH WINARSHO AS
“AKU TAKUT melihat perang, darah dan kematian,” katanya pada suatu hari saat jalan raya menjelma hujan batu dan kobaran api. Langit menjadi lebih merah. Udara pengap meruap anyir darah. Ia lari tunggang langgang menyelamatkan diri. Mencari tempat untuk bersembunyi. Tapi para serdadu itu terus memburu sembari menggenggam senapan dan pentungan kayu. Melempar gas air mata dan juga batu. Mata mereka nyalang, berkilat, seperti menyimpan belati. Membuat ia ketakutan setengah mati seperti dikejar-kejar sekelompok mummi.

“Apakah yang salah dengan sejarah?” ia menggumam satu pertanyaan saat berhasil menyelinap masuk ke dalam sebuah rumah kosong mirip gudang dekat jembatan. Rumah tua dengan jendela-jendela lebar berjeruji besi hitam berkarat dan lantai cokelat. Atapnya kereopos penuh sarang laba-laba. Juga puluhan tikus saling berkejaran, berdenyit-denyit meruap bau selokan. Membuat perutnya mual mau muntah. Tapi ia sangat letih, menyandarkan punggungnya yang ringkih pada tembok kusam. Wajahnya sayu oleh debu. Matanya kuyu. Rambutnya kusut terburai acak-acakan.

“Sejarah perlu dicatat bukan cuma diingat. Tapi kenapa kalian memburu, memukul dan menembak?!” lagi ia mendesah lirih. Mengusap wajah pasi. Mencoba menenangkan diri. Di luar matahari hampir terbenam dan gelap mulai merayap. Sebentar lagi malam akan segera tiba. Malam yang nyaman untuk istirahat dan barangkali juga sedikit bercinta — sekadar memberi kecupan mesra pada orang-orang tercinta. Tapi suara-suara tembakan ke udara itu masih terdengar keras. Berdentum-dentum memekak telinga. Juga deru panser yang sesekali melintas. Membuat setiap orang merasa was-was. Merasa hidup tak pernah bebas.

“Mungkinkah aku datang di kota yang salah?” merinding ia mengusap sepercik noda darah di lengannya. Sedikit anyir seperti damir busuk. Tapi jelas itu bukan darah miliknya. Lengannya tidak luka. Juga anggota tubuh lainnya. Entah darah milik siapa. Mungkin darah orang-orang yang kepalanya tertimpuk batu saat ingin menyelamatkan diri. Atau darah Jane, temannya yang baru datang dari Perancis dua hari lalu saat jatuh menabrak tiang listrik, lututnya sobek. Atau darah Bram, pemuda asal Aceh yang hobi fotografi dan suka mengenakan rompi.

Pelipis Bram retak dipukul tongkat kayu. Darah segar berleleran memenuhi wajah Bram hingga wajah cokelat itu tampak memerah. Bram tak sempat melolong. Dengan cepat tubuhnya terhempas di jalan aspal. Ia sebenarnya ingin menolong Bram tapi para serdadu itu keburu datang menyerang. Mereka persis kawanan serigala liar yang baru lepas dari kandang. Ia tinggalkan Bram yang terkapar di pinggir jalan, lari sekuat tenaga menyelinap di antara orang-orang.

“Bram hanya mencatat, tapi kenapa kalian pukul?!” tiba-tiba ia mendengus. Lalu meludah. Sejak tadi mulutnya memang terasa pahit seperti habis menelan kaos kaki. Kepalanya sedikit nyeri.

Bosan berdiri, ia berjalan menghampiri jendela mengintip jalan raya. Jantungnya mendadak berdebar. Jalan raya selalu mengingatkannya pada kehidupan yang hiruk pikuk, keras dan kejam. Dalam remang tampak para serdadu masih berjaga-jaga. Memanggul senapan menenteng pentungan kayu.

“Bram mungkin mati…” desisnya. Nafasnya longsor. Tenaganya raib. Ia terduduk lemas menatap langit-langit atas. Ada lentik api pada bola matanya saat menatap lurus ke atas. Tapi lentik api itu tiba-tiba meredup kembali. Sesekali tubuhnya menggigil gemetar persis seorang pengidap busung lapar. “Tapi aku tak butuh makan!” ia membatin mengencangkan ikat pinggang. “Aku hanya ingin hidup dengan tenang!”

Malam kelam tapi deru panser masih terdengar menderu-deru di jalan. Juga raungan sirine melengking-lengking membuat malam tambah mencekam. Ia sebenarnya ingin keluar mencari Bram atau menemui Jane, tapi ia takut jika dihadang moncong senapan. Ia tak ingin mati di tangan para serdadu yang pongah dan congkak, — merasa bangga jika berhasil menghantam kepala orang. Puh! Ia tak ingin mati di tangan mereka.

“Apakah Jane juga dipukul?” Pertanyaan itu membuat kepalanya semakin nyeri. Bagaimana pun ia merasa bertanggungjawab atas keselamatan Jane karena ia yang menyuruh Jane datang. Selain itu, ia juga merasa berdosa karena terlalu berlebih-lebihan. “Datanglah ke negeriku dan kau akan melihat orang-orang yang ramah dan pemurah! Ini negeri ajaib, Jane. Tanahnya subur penduduknya makmur. Bahkan tongkat ditanam pun bisa tumbuh dan berbuah. Kau pernah dengar negeri seperti itu, Jane? Tak ada lain itu hanyalah negeriku. Datanglah, Jane. Datanglah…” Ya, ya, ya, ia ingat, lewat telepon, kalimat-kalimat itu meluncur deras dari mulutnya satu minggu sebelum kedatangan Jane. Tapi Jane kelihatan masih ragu dan ia terus meyakinkan.

“Tenanglah, Jane. Sudah tidak ada lagi kerusuhan sejak penguasa diktator itu tumbang. Kerusuhan hanya omong kosong masa lalu belaka. Orang-orang di sini kembali ramah dan pemurah seperti dulu. Kau tak perlu takut mati kelaparan sebab orang-orang dengan senang hati akan memberi makan. Kau cukup membawa tiga ribu franc dan kau bebas melenggang. Harga-harga di sini sangat murah dengan kualitas terjaga. Apakah ada negeri yang lebih indah selain negeriku, Jane? Jawablah?”

Dan mulut Jane bungkam tak mampu menjawab. Jane justru menutup teleponnya lalu sibuk menekan angka-angka menghubungi maskapai penerbangan, memesan tiket. Satu minggu kemudian Jane datang dengan senyum mengembang. Matanya kuntum-kuntum mawar merekah. Rambutnya berkibar-kibar merah. Dan ia masih ingat kalimat apa yang pertama kali keluar dari mulut Jane saat menuruni tangga pesawat. “Ini benar-benar luar biasa. Seperti di surga…”

Malam kian larut. Dingin memeluk. Ia tak kuasa menahan kantuk. Tertidur dalam posisi duduk. Sementara jalan raya mulai lengang. Hanya gelap membentang. Hanya sunyi meradang. Tak terdengar lagi deru panser memburu setiap kerumunan orang. Atau sirene meraung-raung memekakkan gendang telinga.
***

IA BARU bangun saat cahaya matahari menampar mukanya lewat celah atap rumah yang bolong. Matanya mengerjat silau. Wajahnya berkelopak hangat. Ia menggeliat resah, menggosok-gosok mata, meraba sekujur tubuhnya, sekadar memastikan bahwa semalam para serdadu itu tidak memergoki dirinya lalu memperkosa. Tidak. Pakaiannya masih tertutup rapat meski sedikit kusut lesai. Juga tas ransel warna abu-abu masih teronggok di lantai.

Ia berdiri ingin meninggalkan rumah itu. Tapi pada saat bersamaan terdengar derap langkah kaki puluhan orang mendekat. Semakin dekat. Ia menggigil merapat tembok. Ia tahu siapa pemilik derap langkah kaki itu. Dan telinganya masih cukup jernih untuk menangkap percakapan-percakapan itu.

“Kemarin ia masuk ke dalam rumah ini. Menurut Sertu Tumijo dan Serka Ngadirin sampai pagi ini belum keluar.”

“Belum keluar?”

“Ya. Mungkin tertidur di dalam. Atau…”

“Kenapa ?”

“Mungkin ia sekarat atau malah sudah mati. Sebab Lettu Koprik sangat yakin bahwa ayunan tongkatnya masih cukup keras meski sudah tiga bulan tidak bertugas karena indisipliner; mengganggu istri orang. Hanya Lettu Koprik kurang begitu yakin apakah ia yang masuk ke dalam rumah ini.”

“Apakah ia membawa kamera?”

“Tidak hanya kamera tapi juga tape kecil dan buku catatan.”

“Laki-laki?”

“Bukan. Perempuan.”

Ia gemetar mendengar percakapan itu. Mendadak wajahnya pucat seperti mayat. Keringat dingin membasahi sekujur tubuhnya. Lututnya bergetar bagai ada gempa. Langit runtuh menimpa kepalanya. Tanpa pikir panjang ia meraih tas ransel lalu lari lewat pintu belakang. Tapi sial, sebutir peluru lebih cepat melesat dari sebuah moncong senapan menembus tengkuknya. Tubuhnya terhempas menghantam tembok lalu roboh bersimbah darah…
***

“Mereka hanya berkumpul dan berdoa, tapi kenapa kalian pukul dan tembak? Mereka mengutuk segala macam bentuk terorisme sekaligus mengutuk segala macam bentuk penyerangan terhadap warga sipil yang tidak berdosa. Apa salahnya?” Tulisnya pada selembar kertas yang tercecer di jalan raya. “Sedang aku, kenapa terus kalian buru? Padahal aku cuma seorang wartawati bergaji rendah dari sebuah koran daerah yang ingin ikut andil mencatat sejarah…”

Seorang pemulung menemukan catatan itu. Mula-mula hanya ditumpuk bersama barang-barang rongsokan yang akan dijual ke tukang loak. Tapi beberapa hari kemudian entah kenapa tiba-tiba ia memendam hasrat ingin mengirimkan catatan yang sudah lusuh itu pada Ibu Presiden. Pemulung itu yakin Ibu Presiden dengan legawa pasti akan menerima dan membaca catatan itu sebagaimana dari dulu ia sangat yakin dengan pilihan tanda gambar untuk Ibu Presiden tercinta. Tetapi sebelumnya ia akan menjual barang-barang rongsokan lainnya terlebih dulu untuk beli prangko dan amplop.

Mudah-mudahan tidak lupa…

Kulonprogo, 2001-2002

Teguh Winarsho AS, lahir di Kulonprogo (Yogyakarta), 27 Desember 1973. Pernah mendapat kehormatan sebagai cerpenis terbaik se-Jawa Tengah versi Universitas Jenderal Sudirman Purwokerto. Cerpen-cerpennya banyak menghiasi media massa, seperti Republika, Kompas, Horison, Media Indonesia, Koran Tempo, The Jakarta Post, Matra, Suara Karya, Sinar Harapan, Suara Pembaruan, Kedaulatan Rakyat, Bernas, Lampung Post,Bisnis Indonesia, Warta Kota, Pikiran Rakyat, Trans Sumatera, Jawa Pos,Surabaya Post, Minggu Pagi, Suara Merdeka, Wawasan, Solo Pos, Annida, Sabili, Nova, Citra dll.
Tulisan-tulisannya dalam bentuk antologi bersama adalah Tamansari (Pustaka Pelajar, 1998), Aceh Mendesah dalam Nafasku (Kasuha, 1999), Embun Tajalli (Aksara, 2000), Bunga-Bunga Cinta (Senayan Abadi, 2003), Wajah di Balik Jendela (Lazuardi, 2003), Jika Cinta (Senayan Abadi, 2003), Pipit Tak Selamanya Luka (Senayan Abadi, 2003), Jalan Tuhan (Lazuardi 2004), dll. Kumpulan cerpen tunggalnya yang telah terbit, Bidadari Bersayap Belati (Gama Media, 2002), Perempuan Semua Orang (Arruzz, 2004). Kabar dari Langit (2004), Tato Naga (2005) dan novel Tunggu Aku di Ulegle, roman dan tragedi di bumi serambi Mekah (2005). Salah satu cerpennya masuk dalam kumpulan cerpen pilihan Kompas tahun 2003. Sementara novelnya Di Bawah Hujan dimuat bersambung di harian Suara Pembaruan, edisi 10 April - 07 Juni 2000.

0 komentar:

Posting Komentar

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...