Kamis, 08 Desember 2011 By: sanggar bunga padi

Karena Uang Mengalir Sampai Jauh

Negeri kita tak pernah reda oleh persoalan silang sengkarut uang yang nyangkut dimana-mana. Banyak institusi baik milik pemerintah atau swasta yang ambruk lantaran aliran uang yang tak jelas ke mana perginya. Bagai air, yang ditulis Gesang dalam lagu Bengawan Solo-nya, ternyata uang juga dapat mengalir sampai jauh. Bedanya, kalau air Bengawan Solo-nya Gesang jelas berakhir di laut, maka uang skandal BLBI atau Bank Century sekarang ini, belum jelas berakhir di mana. Mengapa persoalan uang ini menjadi persoalan yang senantiasa berulang?

Oya, tentu karena secara manusiawi setiap orang memerlukan uang. Bedanya, ada orang yang secara serakah mengumpulkan uang dari celah manapun. Dan ada orang yang sangat berhati-hati dengan perjalanan uang yang sampai di tangannya dan ke mana uang itu akan ia belanjakan.

Dalam buku “Renungan Tarikh” karya KHE Abdurrahman, dituliskan fragmen kehidupan Thawus yang kembali menjadi aktual sekarang ini.

Maa lii bihaa min haajatun’. “Bawa pergi dariku, tak ada keperluanku kepadanya,” kata Thawus. Kata-kata itu keluar dari Thawus bin Kaisan kepada utusan yang datang membawa bingkisan hadiah dari seorang penguasa yang memerintah negeri pada masa itu. Thawus menyuruh utusan itu untuk membawa kembali bingkisan yang dibawanya karena ia tidak mau menerimanya.

Thawus bin Kaisan adalah seorang ulama tabi’in yang pernah bertemu dan belajar kepada lima puluh orang sahabat. Ia seroang ulama yang teguh pendirian dan kuat imannya.

Bingkisan yang dibawa oleh utusan itu berupa 700 dinar uang emas, tidak kurang dari setengah kilogram beratnya.

Sekalipun sudah jelas-jelas Thawus menolak, tetapi utusan itu masih terus mencoba memaksanya agar mau neberima hadiah itu. Thawus tetap berkeras hati, tidak mau menerimanya. Utusan pun bersikeras, ia tidak mau membawanya kembali, ia minta agar Thawus tetap menerimanya. Akhirnya bingkisan itu dilemparkan oleh utusan tersebut ke suatu lubang yang terdapat di dalam rumah Thawus, kemudian barulah utusan itu pulang.

Thawus tidak mengambilnya, melainkan dibiarkan begitu saja. Dan ia tetap tajam lidah, bebas, tidak terikat, yang haq tetap dikatakannya haq, yang batil tetap dikatakan batil, tidak pernah berubah. Ia tidak dipengaruhi orang atau terpengaruh oleh situasi dan kondisi.

Sang penguasa heran melihat kelakuan Thawus tidak berubah. Bukankah hadiah sudah dikirim cukup memadai? Maka sang penguasa mengirim utusan lain untuk meminta Thawus mengembalikan uang yang pernah diberikannya. Akan tetapi alangkah terkejutnya utusan itu, sebab ketika diminta Thawus menjawab bahwa ia belum pernah menerimanya, menjamahnya dan membelanjakannya.

Utusan itu merasa tidak yakin sebab utusan yang terdahulu melaporkan bahwa uang telah disampaikan dengan baik. Tetapi Thawus tetap membantahnya. Singkat cerita, uang itu ditemukan di lubang dalam keadaan utuh. Tak sekepingpun yang hilang.

Jika diteliti sedikit cermat, cerita sogokan kepada Thawus agar tidak bersuara keras terhadap penguasa ini mirip cerita Anggodo Wijoyo yang mencoba menyuap pimpinan KPK melalui Ari Muladi dan kemudian uang lenyap di ‘tangan’ Yulianto yang masih misterius. Penyuap berkeinginan agar perkaranya berhenti dengan menyuruh seseorang memberi segepok uang yang diduga sebagai suap (risywah dalam istilah Islam). Namun uang itu juga akhirnya tidak sampai ke tujuan. Mengalir jauh entah berakhir di mana. Kasusnya terlanjur merebak menjadi pertikaian “Cicak versus Buaya”.

Kekisruhan soal uang biasanya memang tak jauh dari suap, gratifikasi, korupsi, dan manipulasi. Tatkala ‘tahta’ dunia dipandang sebagai kebutuhan yang mengungguli integritas pribadi, maka banyak jalan ditempuh orang bahkan jalan yang tidak sah sekalipun.

Sogokan, suap, hadiah kepada pejabat publik ataupun pada pihak yang berwenang dalam Bahasa Arab disebut dengan risywah. Al Jurjani, sebagaimana dikutip DR. Setiawan Budi Utomo dalam bukunya ”Fiqih Aktual”, melihatnya sebagai pemberian yang diberikan kepada seseorang untuk membatalkan sesuatu yang haq atau membenarkan yang batil. Jika perkara risywah sudah merebak di masyarakat, maka tidak heran jika tatanan kehidupan hukum dan sosial pun menjadi berantakan.

Padahal banyak hadis yang melarang orang terlibat dalam perkara suap menyuap ini. Dan sebagai negara dengan mayoritas penduduk beragama Islam, seharusnya perkara suap ini dapat dieliminasi sedemikian rupa menuju pelenyapan yang permanen. Nabi mengatakan, “Sebaik-baik harta yang halal, berada pada tangan seorang yang saleh.” (HR Al Bukhari)

Kerusakan negara akibat suap karena menimbulkan perasaan suka yang tidak pada tempatnya, yakni dari seseorang yang semula tidak membutuhkan menjadi membutuhkan bahkan seringkali menjadi sangat tergantung kepadanya. Masing-masing bisa saling menjebak dalam perkawanan yang dipenuhi tipu muslihat. Maka Nabi mengajarkan do’a, ‘Ya Allah! Janganlah Engkau jadikan orang yang zalim mengutangkan budi atasku, sehingga aku mencintainya.” (HR Ad Dailami, dari Mu’adz dan Abu Musa).

Orang yang zalim adalah orang yang berbuat tidak sesuai tempatnya. Tidak selalu orang yang keji dan kejam dengan bersenjatakan pedang atau parang. Tetapi juga orang yang bersenjatakan uang, dan dengan sengaja mengelabui orang lain untuk keuntungan dirinya. Karena uang dapat mengalir sampai jauh dan mempengaruhi dengan halus ataupun kasar.

Ali bin Abi Thalib pernah berkata kepada uang yang menggodanya, “Ghirri ghairiy. Ma li bika haajatun!” Wahai harta haram, godalah yang lain, aku tidak membutuhkanmu!
Allahu a’lam.(Zainul Arifin)

0 komentar:

Posting Komentar

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...