Minggu, 11 Desember 2011 By: sanggar bunga padi

Malam Seribu Bulan

Sungguh saya menyesal tidak memberi uang recehan pada laki-laki tua yang menengadahkan tangannya sembari menatap saya dengan sorot mata iba ketika mobil yang dikendarai istri saya berhenti di traffic light, sepulang kami dari mengambil uang di Bank. Padahal di dalam mobil ada banyak uang recehan yang memang khusus disediakan istri saya untuk dibagi-bagi pada para pengemis di perempatan jalan. Rasa sesal itu terus menghantui selama perjalanan sampai saya tiba di rumah.

Malamnya saya tidak bisa tidur meski telah menelan beberapa pil tidur yang tentu saja sudah over dosis. Saya juga sudah mempraktekkan beberapa teori untuk mempercepat jatuh tidur; menarik nafas dalam-dalam lantas mengeluarkannya perlahan-lahan. Atau memejamkan mata rapat-rapat dan mengosongkan pikiran. Tapi semua itu ternyata tak membuahkan hasil. Bayangan laki-laki tua itu tak mau pergi dari benak saya. Terus berkelebat-kelebat di kepala saya sambil menengadahkan tangannya seperti memaksa saya agar segera menyerahkan sesuatu kepadanya.

Selama tiga malam berturut-turut saya sangat tersiksa oleh bayangan itu hingga keesokan harinya saya memutuskan untuk mencari laki-laki tua itu ke tempat di mana saya pernah ketemu dia dengan diantar istri saya. Meski begitu istri saya tetap tidak tahu maksud saya yang sebenarnya. Sejak mengalami kelumpuhan pada dua kaki saya empat tahun lalu, nyaris setiap bepergian, kemana pun saja, saya selalu diantar istri saya. Hanya sesekali saya menyuruh sopir pribadi. Saya merasa lebih aman jika yang mengemudi istri saya sendiri.

Tapi sampai di traffic light, saya tak menemukan laki-laki tua yang saya maksud. Mungkin laki-laki tua itu sudah pindah ke tempat lain. Karenanya saya menyuruh istri saya untuk keliling kota dengan alasan sekalian menunggu buka puasa. Istri saya tidak keberatan, malah tersenyum dan bilang, “Sejak kapan Papa suka jalan-jalan sore. Kayak anak muda saja.” Lalu tertawa. Saya ikut tertawa meski tidak sungguh-sungguh tertawa. Mata saya terus mengawasi setiap traffic light, setiap perempatan, setiap pertigaan bahkan setiap pinggir jalan.

Berpuluh-puluh bahkan mungkin beratus-ratus traffic light sudah saya lewati, tapi saya belum menjumpai laki-laki tua itu. Istri saya mulai curiga dan bertanya macam-macam. Dari pertanyaan yang nadanya cemburu sampai pertanyaan serius. Tapi saya tetap bungkam. Saya kemudian menyuruh istri saya memutar mobilnya, pulang.

Sampai di rumah, baru saya ceritakan maksud saya yang sebenarnya. Saya ceritakan juga bagaimana tersiksanya saya setiap malam oleh bayangan laki-laki tua itu. Bagaimana perasaan berdosa itu terus menghantui saya setiap malam. Mengejar-ngejar saya. Menguntit di setiap celah tarikan napas saya ke mana dan di mana pun saya berada. Istri saya kaget bukan main. Dari mulutnya terdengar desahan istighfar berkali-kali. Suaranya lirih namun menggetarkan. Saya yang berada di dekatnya ikut tergetar.
“Kalau begitu besok kita cari lagi,” kata istri saya kemudian sambil masuk ruang makan ketika terdengar adzan maghrib dari masjid. Langkahnya lesu tidak bersemangat. Sorot matanya redup seperti kehabisan tenaga.

Saya mendorong kursi roda mengikuti langkah istri saya dengan perasaan kosong. Hampa. Sampai di meja makan istri saya lebih banyak diam, seperti tak berselera menghadapi hidangan makanan ada di atas meja. Tangannya selalu gemetar ketika mengangkat sendok.

Keesokan harinya, pagi-pagi sekali, saya dan istri kembali mencari laki-laki tua itu. Kali ini istri saya turun di setiap perempatan atau pertigaan jalan, bertanya pada orang-orang yang ada di sekitar situ tentang laki-laki tua yang sebelumnya sudah saya gambarkan ciri-cirinya. Tapi dari sekian orang yang ditanya, tak ada seorang pun yang mengenali laki-laki tua itu. Bahkan sebagian mengatakan belum pernah melihat laki-laki dengan ciri-ciri seperti yang disebutkan istri saya. Tapi kami tidak kecewa. Kami terus keliling kota mencari laki-laki tua itu. Bahkan istri saya sampai keluar masuk kampung-kampung kumuh.

Sepuluh jam lebih kami mencari tanpa henti, tanpa istirahat barang sejenak pun kecuali untuk shalat dzuhur dan ashar. Tahu-tahu hari sudah gelap. Lamat-lamat dari kejauhan terdengar adzan maghrib. Kami kemudian mencari masjid terdekat untuk buka puasa sekaligus shalat maghrib. Selesai shalat istri saya masih ingin terus mencari laki-laki tua itu, tapi saya menolak. Saya bilang pada istri saya bahwa pencarian bisa dilanjutkan besok pagi. Semula istri saya tidak setuju. Tapi ketika kemudian saya ingatkan bahwa di rumah ada seorang gadis cilik, yang tentu saja sedang menunggu kedatangan kami, baru istri saya mau pulang. Gadis cilik itu adalah Putri, buah hati kami satu-satunya.

Benar. Sampai di rumah, Putri memang sedang menunggu kedatangan kami di meja makan. Biasanya Putri akan cemberut atau malah marah-marah menyambut kedatangan kami karena tidak menemaninya buka puasa. Ternyata tidak. Putri tidak cemberut atau marah, sebaliknya justru tersenyum ceria. Wajahnya segar, matanya berbinar-binar.

“Sudah buka puasa, Put?” tanya istri saya sambil mendorong kursi roda saya.
“Sudah, tapi baru sedikit,” jawab Putri malu-malu.
“Kenapa baru sedikit?”
“Habis makanan Putri tadi sudah Putri berikan sama Pak tua.”
“Pak tua? Pak tua siapa?” saya penasaran.

Putri kemudian cerita bahwa sore tadi ketika sedang buka puasa mendengar suara ribut-ribut dari rumah sebelah. Iseng-iseng Putri keluar mengintip lewat lubang pagar. Di halaman rumah sebelah ia melihat seorang laki-laki tua berpakaian kumal, compang-camping, mengenakan kopiah hitam yang sudah pudar warnanya, dibentak-bentak dan dicaci-maki oleh pemilik rumah sebelah saat laki-laki tua itu minta segelas air putih.

Dan, ketika laki-laki tua itu melintas di depan rumah kami, Putri memanggilnya. Putri kemudian memberinya segelas susu miliknya berikut sepiring nasi lengkap dengan lauk-pauk. “Kata ustadz memberi buka puasa pada orang lain pahalanya besar. Seperti pahala orang berpuasa,” kata Putri saat mengakhiri ceritanya.

Saya dan istri mengangguk-angguk. Hati saya tiba-tiba bergetar hebat. Ciri-ciri laki-laki tua yang diceritakan Putri persis dengan laki-laki tua yang pernah saya jumpai di traffic light beberapa waktu lalu. Saya benar-benar terharu. Diam-diam saya bangga pada Putri.

Larut malam, entah jam berapa, saya dibangunkan oleh suara tangis keras dari rumah sebelah. Semula saya tidak ingin keluar karena badan saya capek sekali. Tapi setelah mendengar suara tangis yang semakin lama semakin bertambah keras disertai jerit histeris susul menyusul itu, akhirnya saya turun juga dari ranjang, lari keluar. Sampai di luar saya melihat tetangga kanan-kiri sudah berdatangan ke rumah sebelah.

“Ada apa, Pak?” tanya saya pada Pak Imron yang baru saja pulang dari rumah sebelah.
“Baru saja Pak Kosim kecelakan,” jawab Pak Imron pelan.
“Mobilnya menabrak pohon. Hancur.”

Saya terkejut. Tiba-tiba saya teringat cerita Putri tadi sore.
“Tapi ngomong-ngomong, kapan Pak Anwar sembuh?” tanya Pak Imron tiba-tiba berjalan menghampiri saya.
Saya bingung, meraba-raba tubuh saya. Tapi buru-buru saya sadar ternyata saya sudah bisa berdiri tegak dengan dua kaki saya sendiri. Dan ketika saya menengok ke belakang, ingin memberitahukan kabar gembira ini pada istri saya, saya lihat istri dan Putri sudah bersujud terlebih dulu di lantai ruang tamu.

“Oya, tetangga sebelah meninggal, Pak,” lagi ucap Pak Imron mengejutkan.
“Meninggal?” Saya kaget. “Innalillahi wa inna illaihi rojiuun…..”
Tiba-tiba mata saya berkaca-kaca. Tapi saya tidak tahu apakah saya sedih atau bahagia. Sebab kini saya sudah bisa berjalan.
Sementara suara tangis dari rumah sebelah kian terdengar histeris…

* Depok, 2006

Teguh Winarsho AS, lahir di Kulonprogo (Yogyakarta), 27 Desember 1973. Pernah mendapat kehormatan sebagai cerpenis terbaik se-Jawa Tengah versi Universitas Jenderal Sudirman Purwokerto. Cerpen-cerpennya banyak menghiasi media massa, seperti Republika, Kompas, Horison, Media Indonesia, Koran Tempo, The Jakarta Post, Matra, Suara Karya, Sinar Harapan, Suara Pembaruan, Kedaulatan Rakyat, Bernas, Lampung Post,Bisnis Indonesia, Warta Kota, Pikiran Rakyat, Trans Sumatera, Jawa Pos,Surabaya Post, Minggu Pagi, Suara Merdeka, Wawasan, Solo Pos, Annida, Sabili, Nova, Citra dll.
Tulisan-tulisannya dalam bentuk antologi bersama adalah Tamansari (Pustaka Pelajar, 1998), Aceh Mendesah dalam Nafasku (Kasuha, 1999), Embun Tajalli (Aksara, 2000), Bunga-Bunga Cinta (Senayan Abadi, 2003), Wajah di Balik Jendela (Lazuardi, 2003), Jika Cinta (Senayan Abadi, 2003), Pipit Tak Selamanya Luka (Senayan Abadi, 2003), Jalan Tuhan (Lazuardi 2004), dll. Kumpulan cerpen tunggalnya yang telah terbit, Bidadari Bersayap Belati (Gama Media, 2002), Perempuan Semua Orang (Arruzz, 2004). Kabar dari Langit (2004), Tato Naga (2005) dan novel Tunggu Aku di Ulegle, roman dan tragedi di bumi serambi Mekah (2005). Salah satu cerpennya masuk dalam kumpulan cerpen pilihan Kompas tahun 2003. Sementara novelnya Di Bawah Hujan dimuat bersambung di harian Suara Pembaruan, edisi 10 April - 07 Juni 2000.

0 komentar:

Posting Komentar

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...