Terpaan gelombang ujian bagi ketahanan sebuah keluarga saat ini kian hebat. Banyak sudah contoh keruntuhan keluarga yang semula disangka harmonis, ternyata rapuh di dalamnya sehingga berakhir dengan perpisahan. Atau pengasuhan anak-anak yang terabaikan sehingga mereka lari keluar rumah mencari “teman” berupa obat-obatan terlarang. Jika dalam teori psikologi perkembangan dikatakan bahwa seorang anak akan mulai keluar rumah tatkala beranjak remaja, kini masih kanak-kanak pun sudah tidak betah di rumah. Seolah ada kehangatan keluarga yang menguap. Hilang.
Prof. Dr. H. Muhammad Djawad Dahlan, guru besar Pasca Sarjana IKIP Bandung (sekarang UPI) dalam sebuah diskusi yang transkripnya disertakan dalam buku “Keluarga Muslim dalam Masyarakat Modern” (1994) mencoba menganalisis hilangnya kehangatan keluarga dengan mencoba mengingat masa lalunya. “Saya ingat masa kecil saya,” katanya. “Dan setelah saya tampilkan kembali tampaknya banyak yang hilang dari kehidupan keluarga kita. Kalau dulu kita selalu melihat ayah tidak pernah beranjak dari sajadah sebelum Isa, ayah dan ibu terlihat masih memegang tasbih sampai azan Isa lalu sholat berjamaah, ini salah satu yang hilang saat ini. Bisa dan tidak bisa itu soal lain, tetapi saya melihat banyak hal yang telah hilang. Sekarang kalau kita berkeliling di kota, sulit rasanya mendengar suara mengaji anak-anak ba’da Masgrib menjelang Isa.”
“Sekarang yang terdengar suara TV,” tandasnya. “Atau radio di kamar masing-masing. Sekarang ini kita sulit mencari anak-anak perempuan yang senang di dapur bersama ibunya, membantunya memasakkan untuk ayah, untuk anggota keluarga seluruhnya, jarang! Apalagi pada bulan Ramadhan, ibunya sibuk sendiri. Anak perempuannya kalau sudah selesai baru dibangunkan.
Dulu, sejak ibu bangun, anak perempuannya sudah diajak ke dapur. Kondisi seperti ini sudah hilang dari kehidupan kita, padahal dulu ayah selalu menjadi komandan, ‘Mari bersyukur kepada Allah atas nikmat yang dilimpahkan oleh Allah kepada keluarga kita, lalu Bismillah,’ makan bersama. Sekarang semuanya lari, segalanya ingin serba cepat. Kalau dulu si anak diberi nasehat oleh ayahnya si anak menundukkan kepala, sekarang membelalak. Bahkan sekarang terbalik, yang selalu memberi nasehat itu si anak kepada ayahnya.”
Kutipan ini agak panjang untuk menunjukkan betapa sesungguhnya banyak yang hilang dalam perjalanan keluarga kita. Memang kita tidak bisa menafikan terjadinya perubahan. Perubahan adalah sunnatullah. Namun perubahan yang mengarah kepada sesuatu yang tidak dikehendaki tidak bisa dibiarkan. Pola pengasuhan mungkin saja berubah, tapi disiplin seharusnya tetap ditegakkan. Entah karena meniru pola pengasuhan yang kebarat-baratan, atau takut dianggap melanggar HAM dan melanggar undang-undang perlindungan anak, banyak orang tua yang justru jerih kepada tingkah anaknya.
Banyak anak-anak keluarga muslim yang tidak lancar mengaji Al-Qur’an lantaran orangtuanya tidak pernah mengajarkan, memaksakan mereka untuk mengaji sejak kecil. Padahal kakek-nenek mereka dulu dengan keras mengajarkan, memaksakan kepada ayah-ibu mereka agar dapat mengaji dengan lancar. Dengan ukuran sekarang, yang lagi-lagi sudah berubah, disiplin mengajarkan dan memaksakan ngaji oleh sang kakek-nenek bisa dianggap sebuah kekerasan, namun justru itulah yang menimbulkan bekas sangat lama. Kelak anak-anak yang suka rewel itu akan mengenang dan berterima kasih kepada mereka karena dengan cara itu mereka bisa mengaji. Sekarang memang ada TPA (Taman Pendidikan Al-Qur’an), tapi nilai kedalamannya tak bisa menandingi pengajaran yang dilakukan oleh orang tua sendiri.
Saya kira pertahanan keluarga yang kuat dapat dibangun dari tradisi mengaji di rumah ini. Kita masih bisa belajar dari para sesepuh, yang meskipun punya anak banyak (kadang lebih dari sepuluh), tapi kehangatan dan keharmonisan keluarga terpancar di sana. Di sini kepala keluarga sangat berperan, terlebih untuk urusan pengajaran dan pembinaan agama bagi anak-anaknya. Inilah yang agaknya semakin hilang dewasa ini. Akibatnya keluarga terasa rapuh, kering dan mudah runtuh. Suami mempunyai WIL (wanita idaman lain), istri membalasnya dengan mencari PIL (pria idaman lain), dan anak-anaknya juga mencari pil: ekstasi atau narkoba.
Prof. Djawad menyatakan bahwa untuk membangun kehangatan keluarga dengan landasan agama harus melalui latihan-latihan yang intensif. Disamping itu harus ada keberanian dari orang tua untuk tegas. Sekarang ayah atau ibu tidak berani mematikan TV, misalnya, ketika anak sedang menontonnya pada saat jam shalat tiba. Kelemahannya, orang tua tidak berani menyatakan sesuatu “inilah yang benar”. Ini merembet kepada hal-hal yang lain.
Kepribadian terbentuk melalui semua pengalaman dan nilai-nilai yang diserap seorang anak dalam pertumbuhannya. Apabila nilai-nilai agama banyak masuk ke dalam pembentukan kepribadiannya, tingkah lakunya akan diarahkan dan dikendalikan oleh nilai-nilai agama itu. Disinilah keharusan orangtua menghidupkan kehangatan keluarga, agar anak-anaknya kerasan di rumah dan selalu rindu untuk pulang.
Kebersamaan telah disanjung sebagai salah satu dari idaman utama keluarga masa kini. Suami didorong untuk berbagi kewajiban rumah tangga dan tanggung jawab mengasuh anak bersama istrinya. Istri dianjurkan untuk mempelajari pekerjaan suami sehingga dapat menjadi pasangan yang mampu memberi bantuan nyata pada saat suaminya membutuhkan. Orang tua perlu mengetahui bahwa bila anak-anaknya beranjak remaja, diberi kesempatan ikut serta dalam pengambilan keputusan, tugas, dan rekreasi keluarga, sehingga keluarga itu akan menjadi keluarga yang hangat, keluarga idaman.
Tantangan keluarga modern saat ini memang dahsyat. Tapi jika kita mau cukup arif mengembangkan nilai-nilai yang baik yang pernah kita terima dari pengalaman orang-orang tua kita yang bersahaja dulu, rasanya keutuhan dan kehangatan keluarga masih dapat kita raih. Dan Gerakan Maghrib Mengaji bagi Masyarakat Indonesia yang digagas Menteri Agama adalah sebuah upaya strategis mengembalikan kehangatan yang nyaris sirna itu. Allahu a’lam.(Zainul Arifin)
1 komentar:
mantaps bro ...
Posting Komentar