Apakah Anda pernah makan bakso dalam keadaan sudah dingin? Bagaimana rasanya? Jika pertanyaan ini dijawab dengan jujur, maka tentu rasanya kurang lezat. Jamaknya orang makan bakso dalam keadaan masih mengepulkan asap karena kuahnya baru saja diambil dari panci yang selalu berada di atas kompor yang “membara”. Di rumah makan hampir tidak ada makanan yang disajikan dalam keadaan dingin, kecuali minuman yang dicampur es. Tidak hanya bakso, makanan lain berupa nasi pun biasanya disajikan paling tidak dalam keadaan hangat. Sementara lauknya ada saja yang masih panas menyengat lidah.
Dikisahkan bahwa gigi kakek-nenek, bapak-ibu kita pada masa-masa yang lalu lebih kuat dibandingkan gigi kita atau anak-anak kita sekarang ini. Salah satu penyebabnya adalah pola makan kita yang berbeda dengan mereka. Pada masanya dulu, mereka tidak terbiasa makan-minum yang panas-panas sehingga gigi geligi mereka cukup terjaga dengan baik. Tidak mudah sakit dan tidak mudah rusak. Sedangkan masa kita sekarang adalah masa di mana sebagian makanan dan minuman kita santap dalam keadaan masih cukup panas. Bahkan ada yang disajikan dalam hotplate (piring panas) yang begitu kita campurkan sausnya akan keluar asap berkepul-kepul dan suara bak di atas penggorengan. Sementara makanan yang kita santap dalam kondisi panas, teman minumnya adalah es yang dingin. Bagaimana gigi geligi kita tidak mudah rontok dalam peran panas-dingin seperti itu?
Inilah salah satu paradoks dalam kehidupan manusia. Dia tahu dan sudah diingatkan akan sesuatu yang baik, namun yang dilaksanakan adalah hal yang buruk. Misalnya, bapak-ibu guru di sekolah dan dokter gigi sudah menasehatkan bahwa tidak baik makan-minum yang panas-panas apalagi disusul yang dingin-dingin, tapi dalam kehidupan sehari-hari justru yang dilarang itulah yang kita lakukan. Anak-anak kita yang kecil pun mengikuti perilaku makan kita, main santap saja yang panas dan yang dingin. Akibatnya banyak anak-anak yang sering sakit gigi, atau giginya menjadi cepat rusak.
Inilah mungkin salah satu hal yang disebut sebagai makanan yang kehilangan berkah. Seperti disinggung dalam sabda Nabi Muhamamd Saw, menurut hadis yang diriwayatkan Al Hakim dalam “Al Mustadrak ‘ala As-Shahihain”, riwayat At-Thabrani dalam “Al-Mu’jam Al-Ausath” dan perkataan Al-Albany dalam “Al-Silsilah As-Shahihah”, Nabi bersabda, “Dinginkanlah makanan yang panas, sesungguhnya makanan yang panas-panas tidak ada berkahnya.”
Nabi Muhammad sebagai uswah hasanah bagi ummat Islam diriwayatkan tidak pernah meniup-niup makanan yang dihidangkan kepada beliau. Hendaknya tidak meniup pada makanan yang masih panas dan tidak memakannya hingga menjadi lebih dingin, hal ini berlaku pula pada minuman. Apabila hendak bernafas maka lakukanlah di luar gelas, dan ketika minum hendaknya menjadikan tiga kali tegukan. Sebagaimana hadits dari Ibnu Abbas Radhiyallahu’anhu: “Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam telah melarang untuk menghirup udara di dalam gelas (ketika minum) dan meniup di dalamnya.” (HR. At Tirmidzi)
Makanan yang panas menjadi kehilangan berkah karena dia menzalimi organ pencernaan yang ada dalam tubuh kita. Di mulut seringkali ia terasa membakar lidah kita sehingga kelezatannya menjadi tidak terasa. Dalam kerongkongan akan terasa panas dan ketika turun ke perut, perut kita akan menjadi tidak nyaman. Belum lagi hal itu adalah siksaan bagi gigi geligi kita yang menyebabkannya menjadi mudah rusak, berlobang atau bahkan tanggal.
Inilah diantara perkara yang banyak dilalaikan oleh mayoritas orang sehingga menyebabkan luputnya barakah karena memakan makanan atau minuman dalam keadaan sangat panas. Asma’ bintu Abu Bakr radhiyallahu ‘anhuma apabila dibawakan tsarid kepada beliau, beliau menyuruh menutupnya sehingga hilang panasnya yang sangat dan asapnya. Dia berkata: “Aku mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Hal ini akan menyebabkan barakah lebih banyak.”
Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu berkata: “Makanan tidak boleh dimakan melainkan setelah hilang asap panasnya.” Sungguh para ulama telah mengecam orang-orang yang memakan makanan dalam keadaan yafur, yaitu mereka makan makanan dalam keadaan panas sekali dan dia tidak bersabar menunggu sampai dingin. Akibatnya, bila dia makan dalam keadaan panas akan terbakar mulutnya dan matanya menangis, yang terkadang menyebabkan dia mengeluarkan makanan tersebut dari dalam mulutnya atau dengan segera mengiringinya dengan meminum air dingin dikarenakan ususnya terbakar.
Bahkan ada yang menyatakan bahwa Rasulullah Saw diriwayatkan telah mengemukakan beberapa bahaya yang muncul dari memakan makanan yang masih panas. Yaitu: (1). Pelupa, (2). Keringnya lidah, (3) Hilangnya kekuatan dari tubuh, (4). Berkurangnya pendengaran, (5). Berkurangnya cahaya mata, (6). Memucatkan wajah, dan (7). Hilangnya berkah dari makanan.
Karena demikian maka kebiasaan memakan makanan saat masih panas patut kita kurangi. Menunggu makanan sampai sedikit mendingin juga menunjukkan akhlak yang baik sebagai bentuk kesabaran dalam bertindak. Sungguh tidak elok ungkapan yang populer dalam masyarakat kita, ’orang Indonesia berkeringat ketika makan, tidak berkeringat ketika bekerja’. Allahu a’lam.Zainul Arifin
0 komentar:
Posting Komentar