Kamis, 03 Maret 2011 By: sanggar bunga padi

Rajiman Pergi Ke Kota

Sudah bukan rahasia lagi bahwa Rajiman begitu terobsesi dengan lampu-lampu yang gemerlap yang biasa dilihatnya di layar teve tetangga yang memiliki genset sendiri. Sebagai warga transmigran, ia memang belum pernah ke kota. Sejak kecil ia di besarkan di wilayah perairan. Begitu keluar dari kelas empat sekolah dasar, ia langsung turun ke sawah membantu simbok[1]nya yang telah renta. Rajiman, memang tidak pernah memiliki kesempatan untuk pergi ke kota, walau hanya sekedar untuk jalan-jalan saja. Bagi Rajiman, membantu simboknya di sawah adalah segala-galanya. Sawah adalah sumber penghidupan mereka.

Namun, sejak tetangganya mengganti teve hitam putih menjadi teve berwarna dua bulan yang lalu, pandangan Rajiman tentang sawahnya berubah total. Melalui layar teve berwarna, Rajiman jadi tahu betapa gemerlapnya kota. Sementara sawah, baginya saat ini, merupakan sesuatu yang kotor dan menjijikkan. Ia menjadi enggan ke sawah.

Rajiman menjadi murung dan gampang uring-uringan. Ia begitu ingin ke kota. Ia ingin ke Palembang dan melihat lampu-lampu di bundaran air mancur. Ia juga ingin melihat lampu-lampu di Taman Kambang Iwak. Singkat cerita, ia ingin ke tempat-tempat yang banyak lampunya.

Satu hal yang juga sangat ingin dilihatnya adalah kendaraan roda empat yang dinamakan dengan mobil. Sejak lahir hingga usianya sudah mencapai lebih dari 25 tahun, belum sekalipun ia melihat mobil. Di Kampungnya yang nun jauh di sana, mobil memang belum ada. Ia tahu mobil hanya melalui sinetron yang sering ditontonnya di teve. Rajiman juga terobsesi dengan mobil. Di benaknya mobil adalah benda mewah yang begitu ingin dicobanya. Ia sudah bosan nunggang sepeda kumbangnya. Ia sebel dan tidak mau mengayuh pedal sepeda lagi. Baginya, sepeda adalah benda yang memalukan dan harus ditinggalkan.

”Mbok, aku pengen ke kota,” kata Rajiman pelan kepada simboknya di sore itu.

Simboknya hanya diam dan menghela napas dalam. Ada bulir-bulir air mata di pelupuk matanya yang sudah mulai rabun tersebut. Ingin ditahannya perasaannya yang ngilu mendengar keinginan anak lelaki semata wayangnya itu. Ia ingin kelihatan tegar. Namun, ia terlalu sedih. Akhirnya, ia menangis tanpa bersuara.

Rajiman bukannya tidak tahu bahwa simboknya menangis. Baginya, tangisan simboknya tak ada artinya bila dibandingkan dengan keinginannya yang sangat kuat untuk pergi ke kota. Ia sudah membulatkan tekadnya. Ia harus ke kota, apapun resikonya.

”Mbok, aku pengen ke kota!” ulang Rajiman. Kali ini dengan intonasi yang tegas. Ada kesan bahwa ia tidak mau dihalangi.

Simboknya tetap diam dan tetap menangis tanpa bersuara. Matanya yang rabun itu semakin meredup. Ia ingin berkata tapi tak mampu. Ia terlalu sayang dengan Rajiman sehingga tak sanggup untuk melepaskan kepergian Rajiman ke kota.

”Mbok, aku pengen ke kota besok!” tegas Rajiman dengan berapi-api. Sementara air mata simboknya sudah tak dapat ditahan-tahan lagi. Pertahanannya jebol. Ia menangis meraung-raung dan berguling-guling di lantai rumah panggungnya.

Melihat kondisi simboknya yang begitu histeris, Rajiman cuma tersenyum aneh. Ia berdiri dari duduknya dan menuju ke belakang. Ia ingin mandi dan menyegarkan badannya yang terasa letih. Ia ingin cepat-cepat tidur sebab besok pagi ia akan pergi ke kota.

Esoknya, subuh-subuh Rajiman sudah bangun. Dilihatnya simboknya sudah di dapur menjerang air. Setelah selesai mandi dan berpakaian, ia sarapan semangkuk mi instan dan secangkir wedang jahe yang dibuatkan simboknya.

”Mbok, aku mau pamit ke kota!” ucap Rajiman acuh tak acuh.

Simboknya cuma diam.

”Mbok.....!”

Tak ada jawaban

”Mbok....!”

Simboknya tetap diam.

Rajiman dongkol dan tanpa berkata-kata lagi ia segera menenteng tasnya dan pergi menuju dermaga speedboat di muara sungai. Cuaca sebenarnya kurang mendukung. Langit terlihat gelap, pertanda akan turun hujan lebat. Namun, Rajiman tak peduli. Ia naik speedboat dan meninggalkan dermaga yang sudah terlihat mulai reot.

Hujan lebat akhirnya benar-benar turun. Angin bertiup kencang. Petir sambar menyambar. Ombak di Sungai Musi meninggi. Akhirnya, speedboat yang dinaiki Rajiman karam. Rajiman tenggelam dan hilang terbawa arus Sungai Musi yang deras. Hingga saat ini, jasadnya belum juga ditemukan. Sementara simboknya cuma bisa terdiam dan menangis tanpa bersuara ketika dikabari bahwa Rajiman mengalami kecelakaan dan jasadnya belum ditemukan. Irwan P. Ratu Bangsawan

1 komentar:

M. Irwan P. Ratu Bangsawan mengatakan...

tks bro atas dimuatnya cerpen ini. Semoga Sanggar Bunga Padi makin sukses....

Posting Komentar

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...