Kejadian ini sangat sering terjadi. Tatkala kita sedang berbincang dengan seseorang, berdering handphone (HP) kita atau lawan bicara kita, lalu serta merta kita mengangkatnya dan menjauh dari kawan berbincang kita. Dalam kondisi ini, terkadang kita tidak sempat meminta maaf kepada kawan bicara kita bahwa kita akan menerima tilpun yang masuk. Lalu kita pun asyik masyuk berbicara lewat hp, dan sesekali mungkin tertawa-tawa sambil melirik kawan bicara kita yang kita tinggalkan tadi.
Jika kawan bicara yang lalu seorang penyabar mungkin ia akan tetap menunggu kawannya selesai bicara lewat hp. Tapi jika ia merasa tersisihkan atau bahkan tersinggung, maka ia akan segera berlalu dengan muka masam. Dalam hal ini mungkin memang ada yang salah. Paling tidak dalam hal etika berbicara dan etika bermasyarakat.
Sebuah hadis Nabi Muhammad Saw menyatakan,
وعن عبد الله بن مسعود قال : قال رسول الله صلى الله عليه وسلم : " إذا كنتم ثلاثة فلا يتناجى اثنان دون الآخر حتى تختلطوا بالناس من أجل أن يحزنه " . متفق عليه
“Dari Abdullah bin Mas’ud ra., ia berkata: Rasulullah Saw bersabda: Apabila kamu bertiga, maka janganlah berbisik hanya dua orang, dengan meninggalkan teman lainnya, sehingga kamu bercampur dengan orang banyak, agar tidak menyinggung perasaan.” (Muttafaqun ‘alaih).
Prof. Sa’ad A. Wahid dalam bukunya “Membersihkan dan Menyembuhkan Berbagai Penyakit Qalbu” menulis, hadis tersebut mengandung pendidikan adab yang sangat tinggi, Islam sangat memperhatikan adab sopan santun, karena adab sopan santun sangat penting dalam memperhatikan masyarakat. Apabila sopan santun dilanggar, sering terjadi ketidakserasian dalam masyarakat, bahkan sering menimbulkan kebencian. Berdasarkan hadis inilah para ulama melarang berbisik dengan dua orang atau lebih, dengan meninggalkan teman lainnya, kecuali atas izinnya, demikian pula bercakap-cakap dengan bahasa yang tidak dapat dipahami oleh sebagian temannya. Sebab yang demikian itu dapat menimbulkan kecurigaan, yang mengakibatkan kebencian.
Dalam kasus saat kita berbincang berdua kemudian salah satu terpaksa harus menerima tilpun lewat hp, maka bisa “dihukumi” dengan hadis di atas. Karena biasanya kita kemudian meninggalkan lawan berbinang tadi dan menanggapi pembicaraan di hp. Tentu saja yang ditinggalkan menjadi tidak enak --- meski bisa bersikap memaklumi --- apalagi jika yang diperbicangkan sebelumnya hal yang cukup serius.
Memang tidak ada kewajiban bagi penerima panggilan lewat hp untuk melibatkan kawannya, bahkan mungkin tidak perlu, namun yang diperlukan adalah ungkapan permisi, baik secara lisan maupun bahasa tubuh bahwa kita akan menghentikan pembicaraan dan melayani tilpun. Dan agar saat menerima tilpun tidak menimbulkan kecurigaan apalagi tambah “sakit hati” bagi kawan bicara kita tadi, perlu diperhatikan bahasa tubuh yang sopan.
Secara sopan santun, setelah kita menerima tilpun tadi ada baiknya secara singkat memberitahu kawan kita, siapa yang menilpun kita tadi dan atau apa yang diperbincangkannya. Meski secara sangat singkat hal itu akan memberikan penghargaan kepada kawan yang terpaksa kita tinggalkan tadi, dan sekaligus memberitahu apakah materi pembicaraan di tilpun tadi ada kaitannya dengan diri kawan kita itu atau tidak. Boleh jadi isi tilpun hanya bergurau, tapi tidak salah jika hal itu pun diinformasikan secara proporsional, agar tidak terjadi kecurigaan apalagi kebencian hanya karena kesalahfahaman.
Seorang narasumber pada sebuah kegiatan pernah mengusir keluar seorang peserta yang menjadi pendengarnya. Apa pasal? Karena sang peserta menerima panggilan lewat hp, kemudian berbincang dan mengabaikan paparan sang narasumber. Sang narasumber terpaksa mengusirnya dengan alasan si peserta ternyata masih mengharapkan hubungan dengan pihak ketiga, yang berada entah di mana, ketimbang mendengarkan dirinya yang sedang berada di hadapan si peserta.
Kasus sang narasumber mungkin menunjukkan temperamental dirinya. Namun dalam hubungan bermasyarakat, kita harus memperhatikan hal-hal yang kelihatannya sepele tapi potensial memunculkan kecurigaan, kebencian dan permusuhan. Jangan sampai berlaku kata pepatah "HAPEMU HARIMAUMU". Allahu a’lam.(Zainul Arifin/Pontianak)
Sebuah hadis Nabi Muhammad Saw menyatakan,
وعن عبد الله بن مسعود قال : قال رسول الله صلى الله عليه وسلم : " إذا كنتم ثلاثة فلا يتناجى اثنان دون الآخر حتى تختلطوا بالناس من أجل أن يحزنه " . متفق عليه
“Dari Abdullah bin Mas’ud ra., ia berkata: Rasulullah Saw bersabda: Apabila kamu bertiga, maka janganlah berbisik hanya dua orang, dengan meninggalkan teman lainnya, sehingga kamu bercampur dengan orang banyak, agar tidak menyinggung perasaan.” (Muttafaqun ‘alaih).
Prof. Sa’ad A. Wahid dalam bukunya “Membersihkan dan Menyembuhkan Berbagai Penyakit Qalbu” menulis, hadis tersebut mengandung pendidikan adab yang sangat tinggi, Islam sangat memperhatikan adab sopan santun, karena adab sopan santun sangat penting dalam memperhatikan masyarakat. Apabila sopan santun dilanggar, sering terjadi ketidakserasian dalam masyarakat, bahkan sering menimbulkan kebencian. Berdasarkan hadis inilah para ulama melarang berbisik dengan dua orang atau lebih, dengan meninggalkan teman lainnya, kecuali atas izinnya, demikian pula bercakap-cakap dengan bahasa yang tidak dapat dipahami oleh sebagian temannya. Sebab yang demikian itu dapat menimbulkan kecurigaan, yang mengakibatkan kebencian.
Dalam kasus saat kita berbincang berdua kemudian salah satu terpaksa harus menerima tilpun lewat hp, maka bisa “dihukumi” dengan hadis di atas. Karena biasanya kita kemudian meninggalkan lawan berbinang tadi dan menanggapi pembicaraan di hp. Tentu saja yang ditinggalkan menjadi tidak enak --- meski bisa bersikap memaklumi --- apalagi jika yang diperbicangkan sebelumnya hal yang cukup serius.
Memang tidak ada kewajiban bagi penerima panggilan lewat hp untuk melibatkan kawannya, bahkan mungkin tidak perlu, namun yang diperlukan adalah ungkapan permisi, baik secara lisan maupun bahasa tubuh bahwa kita akan menghentikan pembicaraan dan melayani tilpun. Dan agar saat menerima tilpun tidak menimbulkan kecurigaan apalagi tambah “sakit hati” bagi kawan bicara kita tadi, perlu diperhatikan bahasa tubuh yang sopan.
Secara sopan santun, setelah kita menerima tilpun tadi ada baiknya secara singkat memberitahu kawan kita, siapa yang menilpun kita tadi dan atau apa yang diperbincangkannya. Meski secara sangat singkat hal itu akan memberikan penghargaan kepada kawan yang terpaksa kita tinggalkan tadi, dan sekaligus memberitahu apakah materi pembicaraan di tilpun tadi ada kaitannya dengan diri kawan kita itu atau tidak. Boleh jadi isi tilpun hanya bergurau, tapi tidak salah jika hal itu pun diinformasikan secara proporsional, agar tidak terjadi kecurigaan apalagi kebencian hanya karena kesalahfahaman.
Seorang narasumber pada sebuah kegiatan pernah mengusir keluar seorang peserta yang menjadi pendengarnya. Apa pasal? Karena sang peserta menerima panggilan lewat hp, kemudian berbincang dan mengabaikan paparan sang narasumber. Sang narasumber terpaksa mengusirnya dengan alasan si peserta ternyata masih mengharapkan hubungan dengan pihak ketiga, yang berada entah di mana, ketimbang mendengarkan dirinya yang sedang berada di hadapan si peserta.
Kasus sang narasumber mungkin menunjukkan temperamental dirinya. Namun dalam hubungan bermasyarakat, kita harus memperhatikan hal-hal yang kelihatannya sepele tapi potensial memunculkan kecurigaan, kebencian dan permusuhan. Jangan sampai berlaku kata pepatah "HAPEMU HARIMAUMU". Allahu a’lam.(Zainul Arifin/Pontianak)
1 komentar:
fotone apik, kuwi lagi nyervis komputer opo dolanan game?
Posting Komentar