Belakangan ini masyarakat Indonesia sedang disibukkan dengan penantian pemenuhan janji-janji para pimpinan negara yang telah menyatakan akan memberantas korupsi sampai ke akar-akarnya. Partai besar pemenang pemilu dan pilpres dahulu menjanjikan untuk benar-benar konsekuen memerangi korupsi itu, tapi belakangan ia diterpa masalah dari dalam dirinya sendiri. Kadernya diduga melakukan tindakan tercela berkenaan soal fulus (uang) dan “kabur” ke negeri jiran dan belum ingin pulang. Kawan sejawatnya yang semula diisukan sebagai tim penjemput berubah menjadi tim penengok. Bertemu orangnya tapi tidak kuasa mengajaknya pulang ke kampung sendiri. Lalu bermacam alasanpun diluncurkan untuk mengatasi “hutang janji” yang pernah dikeluarkan.
Dalam bahasa Arab, janji disebut al-‘ahd. Menurut syariat Islam, janji merupakan akad (ikatan) yang wajib dipenuhi dan ditepati sesuai dengan kesepakatan kedua pihak yang mengadakan akad perjanjian, baik mengenai waktu maupun batang yang dijanjikan.
Dalam Al Qur’an, di samping terdapat ayat-ayat yang memerintahkan agar memenuhi janji, juga terdapat ayat-ayat yang memberikan sanksi terhadap orang-orang yang mengingkari janji, antara lain. “Sesungguhnya orang-orang yang menukar janjinya (dengan) Allah Swt dan sumpah-sumpah mereka dengan harga yang sedikit, mereka itu tidak mendapat bagian pahala di akhirat, dan Allah tidak akan berkata-kata dengan mereka dan tidak akan melihat mereka pada Hari Kiamat dan tidak pula akan mensucikan mereka. Bagi mereka azab yang pedih.” (Qs. Ali Imran ayat 77)
Dalam hadis ditegaskan, “Dari Abdullah ibn ‘Umar, dari Nabi Saw beliau bersabda, “Barangsiapa yang pada dirinya terdapat empat perangai, maka dia adalah munafik ... sehingga dia meninggalkannya, yaitu (1) apabila berbicara ia berdusta, (2) apabila menjanjikan (sesuatu) ia tidak menepatinya, dan (3) apabila mengadakan perjanjian, ia mengingkarinya, dan (4) apabila bertikai ia berlebih-lebihan.” (HR Al-Bukhariy).
Ada sebuah ungkapan yang menyatakan bahwa janji adalah hutang (al wa’du dainun). Hutang tidak selalu berarti uang atau barang. Realitanya memang hampir selalu demikian. Orang yang berjanji berarti orang itu sedang berhutang sampai janjinya dipenuhi. Makin banyak orang membuat janji, makin banyak pula hutang yang harus dilunasinya. Orang yang banyak janji biasanya tidak terlalu tenang menjalani hidup. Apalagi jika janjinya adalah sesuatu hal yang besar atau berat. Dalam Islam ada sebuah janji yang wajib dipenuhi, yaitu nadzar, sepanjang bukan untuk berbuat maksiat. Nadzar wajib dipenuhi karena ia adalah janji kepada Allah Swt secara suka rela. Karenanya sebaiknya seseorang tidak terlalu mudah membuat nadzar, kecuali untuk meneguhkan niat bagi suatu hal yang besar yang mendatangkan manfaat bagi dirinya atau bagi orang lain.
Pada musim kampanye Pemilukada hampir tak bisa dihindari para kandidat akan membuat janji-janji, baik dinyatakan secara terus terang atau yang berpura-pura menggunakan istilah lain. Semakin banyak janji yang diutarakan berarti makin banyak hutang yang kelak harus dipenuhinya. Konstituen (pendukung) dan audiens umumnya akan mencatat janji apa saja yang dilontarkan dan kelak mereka akan menagih realisasinya.
Nah pengalaman yang terjadi, realisasi tidak sebanyak janji-janji. Akhirnya ada kecenderungan untuk mengelak dari tuntutan (sebagiannya) dengan dusta dan yang jelas ia telah berbuat ingkar. Orang demikian secara tidak sadar menjurus menjadi munafik yang diantara tanda-tandanya adalah bila berkata berdusta dan bila berjanji mengingkari. Karena dalam kampanye janji nyaris tidak bisa dihindari tentu harus dipilih janji yang paling mungkin untuk ditepati. Tidak boleh orang berjanji sekaligus berniat untuk mengingkari. Ia berjanji sekadar untuk gengsi.
Padahal ayat dan hadis yang disebutkan di atas dengan tegas memberikan sanksi kepada orang-orang yang mengingkari janji, baik janji kepada Allah maupun janji kepada sesama manusia, sanksi azab di akhirat maupun sanksi di dunia.
Maka sungguh aneh jika para politisi, para pemimpin negara ini, yang mengaku taat beragama tetapi begitu mudah mengingkari janji. Allahu a’lam. (Zainul Arifin/Pontianak)
Dalam Al Qur’an, di samping terdapat ayat-ayat yang memerintahkan agar memenuhi janji, juga terdapat ayat-ayat yang memberikan sanksi terhadap orang-orang yang mengingkari janji, antara lain. “Sesungguhnya orang-orang yang menukar janjinya (dengan) Allah Swt dan sumpah-sumpah mereka dengan harga yang sedikit, mereka itu tidak mendapat bagian pahala di akhirat, dan Allah tidak akan berkata-kata dengan mereka dan tidak akan melihat mereka pada Hari Kiamat dan tidak pula akan mensucikan mereka. Bagi mereka azab yang pedih.” (Qs. Ali Imran ayat 77)
Dalam hadis ditegaskan, “Dari Abdullah ibn ‘Umar, dari Nabi Saw beliau bersabda, “Barangsiapa yang pada dirinya terdapat empat perangai, maka dia adalah munafik ... sehingga dia meninggalkannya, yaitu (1) apabila berbicara ia berdusta, (2) apabila menjanjikan (sesuatu) ia tidak menepatinya, dan (3) apabila mengadakan perjanjian, ia mengingkarinya, dan (4) apabila bertikai ia berlebih-lebihan.” (HR Al-Bukhariy).
Ada sebuah ungkapan yang menyatakan bahwa janji adalah hutang (al wa’du dainun). Hutang tidak selalu berarti uang atau barang. Realitanya memang hampir selalu demikian. Orang yang berjanji berarti orang itu sedang berhutang sampai janjinya dipenuhi. Makin banyak orang membuat janji, makin banyak pula hutang yang harus dilunasinya. Orang yang banyak janji biasanya tidak terlalu tenang menjalani hidup. Apalagi jika janjinya adalah sesuatu hal yang besar atau berat. Dalam Islam ada sebuah janji yang wajib dipenuhi, yaitu nadzar, sepanjang bukan untuk berbuat maksiat. Nadzar wajib dipenuhi karena ia adalah janji kepada Allah Swt secara suka rela. Karenanya sebaiknya seseorang tidak terlalu mudah membuat nadzar, kecuali untuk meneguhkan niat bagi suatu hal yang besar yang mendatangkan manfaat bagi dirinya atau bagi orang lain.
Pada musim kampanye Pemilukada hampir tak bisa dihindari para kandidat akan membuat janji-janji, baik dinyatakan secara terus terang atau yang berpura-pura menggunakan istilah lain. Semakin banyak janji yang diutarakan berarti makin banyak hutang yang kelak harus dipenuhinya. Konstituen (pendukung) dan audiens umumnya akan mencatat janji apa saja yang dilontarkan dan kelak mereka akan menagih realisasinya.
Nah pengalaman yang terjadi, realisasi tidak sebanyak janji-janji. Akhirnya ada kecenderungan untuk mengelak dari tuntutan (sebagiannya) dengan dusta dan yang jelas ia telah berbuat ingkar. Orang demikian secara tidak sadar menjurus menjadi munafik yang diantara tanda-tandanya adalah bila berkata berdusta dan bila berjanji mengingkari. Karena dalam kampanye janji nyaris tidak bisa dihindari tentu harus dipilih janji yang paling mungkin untuk ditepati. Tidak boleh orang berjanji sekaligus berniat untuk mengingkari. Ia berjanji sekadar untuk gengsi.
Padahal ayat dan hadis yang disebutkan di atas dengan tegas memberikan sanksi kepada orang-orang yang mengingkari janji, baik janji kepada Allah maupun janji kepada sesama manusia, sanksi azab di akhirat maupun sanksi di dunia.
Maka sungguh aneh jika para politisi, para pemimpin negara ini, yang mengaku taat beragama tetapi begitu mudah mengingkari janji. Allahu a’lam. (Zainul Arifin/Pontianak)
0 komentar:
Posting Komentar