Dalam pengertian umum, pemimpin adalah orang yang diberi amanah untuk menjadi yang nomor satu dalam suatu organisasi. Ia akan menjadi anutan bagi orang-orang yang berada di bawah koordinasinya. Ia seperti imam dalam sholat, yang mempunyai seperangkat pengetahuan yang dibutuhkan untuk melaksanakan tugasnya secara baik sehingga layak diikuti. Dalam jiwanya terdapat leadership, jiwa kepemimpinan. Sebagian orang membedakan antara pucuk organisasi/instansi sebagai pemimpin dengan manajer. Seorang pemimpin harus punya kemampuan manajerial yang baik, sedang seorang manajer belum tentu memiliki leadership yang baik. Kepemimpinan lebih merupakan seni (art) meski tetap dapat dipelajari. Tugas seorang pemimpin adalah memberikan arahan, melayani orang-orang dalam koordinasinya yang tidak akan dapat mencapai tujuan tertentu jika dilakukan sendiri-sendiri. Maka kepemimpinan adalah pelayanan, bukan prestise atau gengsi.
Sementara kata prihatin yang berasal dari Bahasa Jawa berarti merasa menderita, atau perasaan yang muncul akibat suatu kekurangan. Contohnya : pengungsi akibat Lumpur Lapindo hidup memprihatinkan berarti para pengungsi yang hidup menderita atau sengsara akibat kekurangan, bisa kekurangan pangan, kekurangan air bersih, juga kekurangan perhatian.
Seorang pemimpin yang prihatin adalah pemimpin yang merasa ikut menderita melihat keadaan rakyatnya. Bahkan mungkin ia sendiri memang hidup memprihatinkan dalam ukuran umum, walau baginya hal tersebut tidak berarti apa-apa, sepanjang misinya dapat dijalankan.
Nabi Muhammad SAW adalah contoh pemimpin yang prihatin. Kemudian para shahabat beliau yang menjadi khalifah sesudah beliau dan para gubernur Islam yang ditugaskan memimpin di tempat-tempat taklukan Islam pada masa-masa awal.
Dalam Qs. At Taubah [9] ayat 128 Allah berfirman yang artinya, “Sungguh telah datang kepadamu seorang Rasul dari kaummu sendiri, berat terasa olehnya penderitaanmu, sangat menginginkan (keimanan dan keselamatan) bagimu, amat belas kasihan lagi penyayang terhadap orang-orang mukmin.” Dalam tafsir dikemukakan bahwa Rasul (Muhammad) itu bukanlah seseorang yang asing bagi masyarakat waktu itu. Ia sudah dikenal sejak lama. Penggunaan kata ‘anfusikum/kaummu sendiri’ menurut Prof. Quraish Shihab adalah untuk menunjukkan bahwa yang berbicara (Muhammad) dengan mitra bicara adalah sejiwa. Tidak ada gap yang lebar diantara dua belah pihak.
Sedang kata ‘datang kepadamu seorang Rasul’ menunjukkan bahwa apa yang dirasa oleh Muhammad itu memang sejak mula telah dirasakannya, dikuatkan lagi dengan datangnya risalah dari Allah.
Apakah yang dirasakan oleh Muhammad? Sebuah keprihatinan yang amat mendalam. Yang dilambangkan dengan ’berat terasa olehnya penderitaanmu’. Sejak sebelum diangkat menjadi Rasul, Muhammad memang amat prihatin dengan keadaan kaumnya yang sengsara. Sengsara ruhaniah dengan bangkrutnya religiusitas mereka sehingga menjadi penyembah berhala, penindas, perangai yang jahat, dan sebagainya. Sengsara jasmaniah bagi para penduduk yang kurang beruntung : menjadi budak, miskin, bodoh, dan sebagainya. Karenanya Muhammad sangat menginginkan keimanan dan keselamatan bagi kaumnya itu. Ia tidak hanya melihat penderitaan itu dari atas Gua Hira (kini istilahnya menara gading) tetapi benar-benar terjun ke masyarakat untuk mendorong dan mengarahkan mereka bangkit menuju keselamatan. Bangkit dari kehilangan religiusitas yang benar dengan ketauhidan dan hidup dengan moralitas yang tinggi. Muhammad sendiri yang kemudian hari juga menjadi pemimpin bagi masyarakatnya, tidak hidup dalam gelimang harta.
Sikap Budaya yang Tepat
Letjend. Sayidiman Suryohadiprojo, mantan Gubernur Lemhanas, dalam bukunya ’Menghadapi Tantangan Masa Depan’ mengungkapkan tentang kondisi masyarakat dan kepemimpinan yang dibutuhkan dewasa ini. Bahwa dalam masyarakat perlu ditegakkan sikap budaya yang tepat yakni : (1). Adanya sikap hidup yang kuat, yang penuh prakarsa dan komitmen terhadap kehidupan, (2). Kepemimpinan masyarakat yang mempunyai keyakinan yang teguh tentang perlunya perjuangan, dan (3). Pemimpin yang mempunyai kemampuan untuk mempersatukan lingkungannya, ia bertindak sebagai motivator, mampu berkomunikasi dengan efektif, dan mempunyai daya persuasi yang meyakinkan. Yang tidak kalah penting adalah ada wahana yang digunakan untuk menimbulkan sikap yang diperlukan, melalui pendidikan dan politik yang demokratis.
Sikap hidup yang kuat dan penuh prakarsa sangat diperlukan dewasa ini mengingat kompetisi global yang tidak dapat dielakkan. Jika negara kita, wilayah kita, menginginkan keselamatan masa depan, maka kecengengan dan ketergantungan yang amat sangat harus dihentikan. Sang pemimpinnya sendiri harus benar-benar seseorang yang teguh bahwa untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat dan menjamin masa depan yang gemilang harus diraih dengan perjuangan.
Mencontoh Nabi Muhammad, sang pemimpin harus terus menerus ikut merasa prihatin atas kondisi masyarakatnya sehingga elan perjuangannya tidak akan kendor. Untuk itu ia selalu berupaya mempersatukan lingkungannya, menjadi motivator yang baik bagi kemajuan seluruh masyarakatnya dan karenanya ia harus mampu berkomunikasi secara efektif dan mempunyai daya persuasi yang meyakinkan. Karena tidak semua elemen masyarakat mudah diajak maju. Tidak semua elemen masyarakat mudah diajak berbagi. Dan tidak semua investor mudah diajak masuk ke sini.
Semoga kita mendapat pemimpin yang tepat. Allahu a'lam.(Zainul Arifin/Pontianak)
Sementara kata prihatin yang berasal dari Bahasa Jawa berarti merasa menderita, atau perasaan yang muncul akibat suatu kekurangan. Contohnya : pengungsi akibat Lumpur Lapindo hidup memprihatinkan berarti para pengungsi yang hidup menderita atau sengsara akibat kekurangan, bisa kekurangan pangan, kekurangan air bersih, juga kekurangan perhatian.
Seorang pemimpin yang prihatin adalah pemimpin yang merasa ikut menderita melihat keadaan rakyatnya. Bahkan mungkin ia sendiri memang hidup memprihatinkan dalam ukuran umum, walau baginya hal tersebut tidak berarti apa-apa, sepanjang misinya dapat dijalankan.
Nabi Muhammad SAW adalah contoh pemimpin yang prihatin. Kemudian para shahabat beliau yang menjadi khalifah sesudah beliau dan para gubernur Islam yang ditugaskan memimpin di tempat-tempat taklukan Islam pada masa-masa awal.
Dalam Qs. At Taubah [9] ayat 128 Allah berfirman yang artinya, “Sungguh telah datang kepadamu seorang Rasul dari kaummu sendiri, berat terasa olehnya penderitaanmu, sangat menginginkan (keimanan dan keselamatan) bagimu, amat belas kasihan lagi penyayang terhadap orang-orang mukmin.” Dalam tafsir dikemukakan bahwa Rasul (Muhammad) itu bukanlah seseorang yang asing bagi masyarakat waktu itu. Ia sudah dikenal sejak lama. Penggunaan kata ‘anfusikum/kaummu sendiri’ menurut Prof. Quraish Shihab adalah untuk menunjukkan bahwa yang berbicara (Muhammad) dengan mitra bicara adalah sejiwa. Tidak ada gap yang lebar diantara dua belah pihak.
Sedang kata ‘datang kepadamu seorang Rasul’ menunjukkan bahwa apa yang dirasa oleh Muhammad itu memang sejak mula telah dirasakannya, dikuatkan lagi dengan datangnya risalah dari Allah.
Apakah yang dirasakan oleh Muhammad? Sebuah keprihatinan yang amat mendalam. Yang dilambangkan dengan ’berat terasa olehnya penderitaanmu’. Sejak sebelum diangkat menjadi Rasul, Muhammad memang amat prihatin dengan keadaan kaumnya yang sengsara. Sengsara ruhaniah dengan bangkrutnya religiusitas mereka sehingga menjadi penyembah berhala, penindas, perangai yang jahat, dan sebagainya. Sengsara jasmaniah bagi para penduduk yang kurang beruntung : menjadi budak, miskin, bodoh, dan sebagainya. Karenanya Muhammad sangat menginginkan keimanan dan keselamatan bagi kaumnya itu. Ia tidak hanya melihat penderitaan itu dari atas Gua Hira (kini istilahnya menara gading) tetapi benar-benar terjun ke masyarakat untuk mendorong dan mengarahkan mereka bangkit menuju keselamatan. Bangkit dari kehilangan religiusitas yang benar dengan ketauhidan dan hidup dengan moralitas yang tinggi. Muhammad sendiri yang kemudian hari juga menjadi pemimpin bagi masyarakatnya, tidak hidup dalam gelimang harta.
Sikap Budaya yang Tepat
Letjend. Sayidiman Suryohadiprojo, mantan Gubernur Lemhanas, dalam bukunya ’Menghadapi Tantangan Masa Depan’ mengungkapkan tentang kondisi masyarakat dan kepemimpinan yang dibutuhkan dewasa ini. Bahwa dalam masyarakat perlu ditegakkan sikap budaya yang tepat yakni : (1). Adanya sikap hidup yang kuat, yang penuh prakarsa dan komitmen terhadap kehidupan, (2). Kepemimpinan masyarakat yang mempunyai keyakinan yang teguh tentang perlunya perjuangan, dan (3). Pemimpin yang mempunyai kemampuan untuk mempersatukan lingkungannya, ia bertindak sebagai motivator, mampu berkomunikasi dengan efektif, dan mempunyai daya persuasi yang meyakinkan. Yang tidak kalah penting adalah ada wahana yang digunakan untuk menimbulkan sikap yang diperlukan, melalui pendidikan dan politik yang demokratis.
Sikap hidup yang kuat dan penuh prakarsa sangat diperlukan dewasa ini mengingat kompetisi global yang tidak dapat dielakkan. Jika negara kita, wilayah kita, menginginkan keselamatan masa depan, maka kecengengan dan ketergantungan yang amat sangat harus dihentikan. Sang pemimpinnya sendiri harus benar-benar seseorang yang teguh bahwa untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat dan menjamin masa depan yang gemilang harus diraih dengan perjuangan.
Mencontoh Nabi Muhammad, sang pemimpin harus terus menerus ikut merasa prihatin atas kondisi masyarakatnya sehingga elan perjuangannya tidak akan kendor. Untuk itu ia selalu berupaya mempersatukan lingkungannya, menjadi motivator yang baik bagi kemajuan seluruh masyarakatnya dan karenanya ia harus mampu berkomunikasi secara efektif dan mempunyai daya persuasi yang meyakinkan. Karena tidak semua elemen masyarakat mudah diajak maju. Tidak semua elemen masyarakat mudah diajak berbagi. Dan tidak semua investor mudah diajak masuk ke sini.
Semoga kita mendapat pemimpin yang tepat. Allahu a'lam.(Zainul Arifin/Pontianak)
0 komentar:
Posting Komentar