Sabtu, 04 Juni 2011 By: sanggar bunga padi

Pegawai Negeri

Oleh: TEGUH WINARSHO AS
AKU dan Annisa memutuskan menikah di usia muda. Aku, duapuluh tahun; sedang Annisa, sembilanbelas tahun. Awalnya keputusan ini ditentang ayah. Ayah menghendaki agar kami selesai kuliah, baru menikah. Tapi setelah mendengar penjelasanku, akhirnya ayah maklum dan mau menerima. Begitulah, aku dan Annisa sudah saling menyinta. Kami tak ingin terjebak pada perbuatan yang dilarang agama. Dan, menikah adalah jalan keluar yang terbaik.

Tapi sembilan tahun lebih menjalani hidup berumah tangga, hingga dikaruniai seorang gadis kecil cantik dan seorang laki-laki ganteng, aku masih belum mampu membawa ekonomi keluarga ke arah yang lebih baik. Kami hidup sederhana bahkan cenderung pas-pasan. Hingga kadang bantuan dari orang tua masih mengalir. Tapi ini bukan berarti aku dan istriku tidak berusaha untuk maju. Kami sudah berusaha semampu kami. Tapi, ah, mungkin hanya nasib baik saja yang masih belum mau berpihak pada kami.

Istriku dengan bekal ijazah yang ia miliki sudah berulang kali mendaftar masuk pegawai negeri. Tapi ternyata tidak pernah berhasil. Ia tetap menjadi tenaga pengajar honorer di beberapa SMP yang gajinya sangat sedikit, setelah dipotong ongkos naik angkutan dari sekolah yang satu ke sekolah lainnya. Benar-benar sebuah perjuangan.

Dan, seperti pesan ayah yang selalu didengung-dengungkan sejak aku lulus kuliah, aku juga tak pernah melewatkan setiap kali ada pendaftaran calon pegawai negeri. Ayah sangat berharap agar aku bisa menjadi pegawai negeri. Tapi rupanya tidak mudah memenuhi harapan ayah. Hingga kini aku masih kerja sebagai seorang penulis cerita dengan penghasilan tidak tetap.

Aku tahu ayah kecewa melihat nasibku. Masih kuingat pertemuan dengan ayah, beberapa waktu lalu. Tidak seperti biasanya ayah menyambut kedatanganku dengan sikap dingin, datar. Aku jadi serba salah. Malamnya aku baru tahu apa penyebabnya. Lagi-lagi, soal nasib. Soal kerja. Dengan menyebut-nyebut nama Anwar, anak tetangga sebelah yang belum lama diterima menjadi pegawai negeri, ayah berusaha membanding-bandingkan aku dengannya. Ayah bilang bahwa Anwar orangnya tekun dan rajin, ketika kuliah tidak pernah ikut kegiatan aneh-aneh, karenanya wajar begitu lulus kuliah langsung mendapat pekerjaan.

Aku tahu, ayah sedang menyindirku. Dulu ketika kuliah aku memang sempat ikut banyak kegiatan. Puncaknya ketika aku bergabung dengan sebuah organisasi mahasiswa yang kemudian mengantarkan aku menjadi penghuni tahanan polda selama beberapa hari bersama beberapa teman aktivis lain usai unjuk rasa di depan halaman kampus.

Berkali-kali ayah menyebut nama Anwar. Mengatakan bahwa Anwar adalah anak yang baik, mau mengerti bagaimana keinginan orang tua. Tahu bagaimana cara membalas budi pada orang tua, dan lain-lain. Padahal aku tahu siapa Anwar sebenarnya. Bagaimana sepak terjang dan reputasinya ketika kuliah. Dan, rasa-rasanya ayah juga tahu, Anwar bisa diterima menjadi pegawai negeri karena telah menyuap petugas dengan jumlah uang yang tidak sedikit.

Ya, orang sekampung rasanya juga tahu, ayah Anwar telah menjual dua ekor kerbau dan beberapa petak sawah agar Anwar bisa diterima menjadi pegawai negeri. Aku heran, kenapa ayah seolah menutup mata di balik keberhasilan Anwar diterima menjadi pegawai negeri. Padahal dulu ayah tidak suka dengan praktik-praktik seperti itu. Aku masih ingat, ayah pernah bilang di pengajian masjid bahwa suap menyuap hukumnya haram. Baik orang yang menyuap atau yang menerima suap sama-sama berdosa. Tapi kenapa sekarang justru berbalik? Ada apa dengan ayah? Apakah ayah sudah lupa dengan apa yang pernah dia katakan dulu?

“Kamu sudah tahu tahun ini ada pendaftaran calon pegawai negeri?” tanya ayah acuh tak acuh.

Aku mengangguk. Beberapa teman sudah mengabarkan berita itu. Dan, berita seperti itu tentu cepat sekali menyebar. Mungkin puluhan ribu orang di pelosok negeri ini pun sudah tahu.
“Kamu sudah mendaftar?”
“Sudah.”
“Istrimu?”
“Sudah.”
Sejenak ayah terbatuk. Matanya menerawang.

“Sekarang ini susah untuk mendapat pekerjaan. Tidak seperti lima belas atau dua puluh tahun lalu….” suara ayah pelan, bergetar. Wajahnya tegang, seperti ada sesuatu yang berat untuk diucapkan. “Begitu pula dengan cara-caranya. Sudah berbeda sekali….”
“Maksud ayah?” tanyaku merasa kurang paham.

Ayah tak segera menjawab. Meraih sesuatu dari laci meja. Lalu, “Kali ini jangan kamu tolak!” kata ayah kemudian, sambil meletakkan setumpuk uang masih terikat rapi.

Aku hampir melonjak kaget. Aku belum pernah melihat uang sebanyak itu. Dari mana ayah mendapatkan uang sebanyak itu?

“Ini uang hasil penjualan sawah. Kamu seorang sarjana. Sudah bukan masanya lagi kamu bertani dan mencangkul. Sawahmu adalah pegawai negeri. Gunakan uang ini untuk kamu dan istrimu. Kalau masih kurang ayah rela menjual satu sawah lagi. Yang penting, kamu dan istrimu bisa diterima menjadi pegawai negeri….” kata ayah samar-samar, seolah aku harus mengerti apa maksudnya.

Ya, aku memang mengerti. Uang itu maksudnya bisa digunakan untuk menyuap. Tapi kenapa ayah tidak langsung bilang saja? Ataukah sebenarnya ayah masih berat mengucapkan kata-kata itu?

“Ini bukan penyuapan. Tapi memang beginilah prosedur yang ada sekarang…” kata ayah seperti memahami pikiranku.

Aku terdiam dan seperti masih tak percaya dengan apa yang kulihat di depan mataku. Perubahan sikap ayah? Setumpuk uang di atas meja? Memang, satu tahun yang lalu, ayah pernah menawarkan hal serupa, tapi tidak langsung menunjukkan uang di depan mata. Dulu aku menolaknya.

“Aku tidak mau tahu. Sekarang juga kamu harus bawa uang ini. Aku tidak ingin melihat kamu gagal dan gagal lagi. Pikirkan baik-baik!” kata ayah langsung bergegas masuk kamar.

Sesaat lamanya aku bingung tidak tahu apa yang harus kulakukan. Dan, entah oleh dorongan apa, tanganku telah meraih tumpukan uang di atas meja. Tapi begitu sampai di rumah, uang pemberian ayah kusimpan di tempat yang aman. Di samping jumlahnya sangat banyak, aku juga tak mau bertengkar dengan istriku gara-gara uang itu. Aku tahu, istriku pasti akan marah besar jika tahu aku membawa uang untuk digunakan menyuap.
* * *

Dua bulan kemudian aku kembali ke rumah ayah. Hasil seleksi calon pegawai negeri sudah diumumkan. Seperti tahun-tahun lalu, aku kembali gagal, tidak diterima. Tapi, alhamdulillah, Annisa, istriku, bisa diterima. Paling tidak, cukuplah di antara kami ada yang menjadi pegawai negeri, seperti keinginan ayah.

“Duduk!” kata ayah dingin, saat aku masuk ruang tamu. Aku menurut. Tapi aku sengaja mengambil duduk sedikit jauh, menjaga jarak untuk menghindari puncak kemarahan ayah. Ya, tentu ayah akan marah besar melihat kegagalanku yang entah untuk ke berapa kalinya ini. Tapi sungguh, sedikit pun aku tidak menyesal atau kecewa. Aku sudah berusaha semaksimal mungkin lewat prosedur yang benar. Bahwa aku gagal, itu memang sudah nasib.

Mungkin sepanjang hidup aku akan dihantui persaan berdosa jika akhirnya aku diterima menjadi pegawai negeri karena telah menyuap petugas seperti keinginan ayah. Aku tidak bisa menari-nari di atas penderitaan orang lain. Bagaimana tidak, orang-orang yang sebenarnya punya potensi justru tersingkir karena tidak punya uang untuk menyuap. Sebaliknya orang-orang yang tidak memiliki potensi justru berhasil karena berani menyuap. Lebih dari itu, aku tak ingin memberi makan keluargaku dengan cara-cara yang tidak halal.

“Maaf, aku tidak bisa memenuhi keinginan ayah,” kataku sambil meletakkan uang pemberian ayah di atas meja. Uang itu masih utuh. Jangankan mengambil, menyentuh pun aku merasa takut.

Ayah menatapku tajam. Urat-urat di sekitar matanya bergetar. “Dasar keras kepala!” kata ayah pelan, tapi penuh kemarahan. Aku menunduk tak berani menatap ayah.

“Aku sudah bilang berkali-kali tak ingin melihat kamu gagal. Nyatanya? Kamu gagal lagi! Gagal lagi! Lihat, itu Anwar!” kata ayah, suaranya lebih keras.
“Aku tidak gagal….” jawabku parau.
“Tidak gagal?” potong ayah sinis.
“Ya, tidak gagal. Paling tidak aku tidak gagal mempertahankan nuraniku,” kataku lebih tegas.

“Di zaman seperti ini kamu masih menyebut-nyebut nurani? Ingat, zaman sudah berubah. Kamu harus mau mengikuti arus perubahan jika kamu tak ingin digilas!”
“Tapi bagaimana pun menyuap adalah….”

“Cukup!” Ayah memotong. Wajahnya berubah merah. “Contoh Annisa, istrimu. Dia mau mengikuti apa kata ayah. Dan, seperti yang kamu lihat, Annisa berhasil!” lanjut ayah.

“Apa? Annisa menyuap agar bisa diterima menjadi pegawai negeri?” tanyaku terkejut luar biasa. Sedikit pun aku tak menduga Annisa akan menempuh jalan pintas seperti itu.

Ayah tersenyum. “Ya, sebulan lalu istrimu datang kemari. Katanya uang pemberian ayah tidak kamu berikan padanya. Ketika itu ayah pikir uang itu akan kamu gunakan sendiri. Karenanya ayah menjual satu sawah lagi untuk istrimu.” Suara ayah terdengar nyaring penuh kemenangan.

Aku tak tahan lagi di rumah ayah. Aku buru-buru pulang. Sampai rumah, kulihat Annisa sedang duduk di teras rumah. Sikapnya biasa-biasa saja. Sedikit pun tak menunjukkan perasaan bersalah.

“Aku senang kamu bisa diterima menjadi pegawai negeri. Tapi jika untuk semua itu ternyata kamu harus menyuap petugas, aku sangat marah!”

Sesaat Annisa terkejut, tapi kemudian tersenyum. “Ayah yang terus mendesak agar aku menyuap. Setiap kali aku datang ke rumah ayah, beliau selalu membujukku. Lama-lama aku merasa tidak enak….”
“Dan, kamu merasa bangga dengan semua itu?!”
“Tunggu dulu….”
“Kamu benar-benar sudah berubah, Annisa. Kamu mengkhianati kebenaran. Kamu tega merampas hak orang lain.”
“Tenang, tunggu dulu. Beri kesempatan aku bicara..

“Apa lagi yang ingin kamu bicarakan? Semuanya sudah jelas. Kamu menyuap petugas. Demi Allah aku tidak ikhlas!” Aku tak bisa menguasai amarahku.

Sejenak Annisa menatapku. Lembut. “Sudah selesai? Sekarang giliran aku yang bicara,” Annisa mencoba mengatur napas, berusaha tenang. “Ayah memang memberiku uang. Tapi uang itu tidak kugunakan untuk menyuap. Uang pemberian ayah kusimpan di bank. Aku bisa diterima menjadi pegawai negeri adalah murni usahaku sendiri.”

“Benarkah?” Aku tergagap merasa tak percaya. Kutatap bola mata Annisa yang tetap lembut dan dalam.

“Ya. Mungkin ini berkah Allah atas keteguhan hati kita dalam memegang kebenaran. Tahun ini aku berhasil, mudah-mudahan tahun depan, kamu….”

Aku menunduk tak bisa berkata-kata. Berbagai macam perasaan campur aduk di hatiku. Tapi satu hal yang pasti, aku semakin merasa bangga memiliki istri cantik, tabah dan amanah, seperti Annisa.

***

2 komentar:

Anonim mengatakan...

nice story...usaha sendiri lebih nikmat dari pada jlan pintas yang ujungnya bisa celaka

Organik Aceh mengatakan...

Memang sudah jadi rahasia umum bila ingin jadi PNS harus ada uang pelicin, cerita yang menarik sob..

Posting Komentar

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...