Kamis, 07 Juli 2011 By: sanggar bunga padi

Siapa Bersedia Mengubur Kami?

Oleh: TEGUH WINARSHO AS
RUMAH kami telah menjadi puing dan tumpukan sampah. Kami tak tahu dari mana sampah sebanyak itu datang ke rumah kami. Lihatlah, batu, kayu, besi, bongkah dinding bertumpuk seperti bukit gersang. Serupa gunung sehabis meletus. Tapi aku dan Cut Putri tetap memutuskan tinggal di rumah. Kami hanya berdua sebab Abah dan Umi belum pulang menjenguk kami. Sejak hari pertama, ketika gelombang tsunami datang. Padahal biasanya mereka tak pernah pergi lama. Paling ke rumah Paman Hasan di Sidikalang atau mengunjungi Tengku Sadin di Lhoksukon yang sudah dua tahun sakit. Menginap semalam dua malam lalu pulang. Tapi kini, sudah hampir dua minggu mereka belum pulang.

Cut Putri kerap menangis menanyakan Abah dan Umi. Sebagai kakak, aku sedih tak bisa berbuat banyak. Kami sama-sama perempuan yang kini tak berdaya. Ke mana kami mesti mencari Abah dan Umi? Meulaboh terlalu luas untuk kedua kaki kami yang kecil tak berdaya. Apalagi cuaca sering tak bersahabat. Kami ragu bisa menemukan Abah dan Umi. Yang bisa kami lakukan hanya menunggu dan menunggu. Menunggu keajaiban datang mempertemukan kami dengan Abah dan Umi.

Tapi entahlah, kami tiba-tiba sering disergap cemas setiap ingat Abah dan Umi. Kami takut sesuatu buruk menimpa mereka. Dua minggu bukan waktu yang pendek untuk menunggu datangnya kabar baik. Tak pernah habis cerita di sini: seseorang tiba-tiba raib selama beberapa hari kemudian ditemukan tewas mengenaskan di tepi hutan atau di tengah jalan layaknya bangkai anjing. Seolah kematiannya dijadikan peringatan bagi kami yang masih hidup agar selalu berhati-hati. Ya, ya, kalian boleh tak percaya, ini memang cerita lama, tapi sesekali masih berlangsung di tengah kehidupan kami, seperti kaset video yang selalu diputar ulang. Membuat jantung kami berdebar kencang setiap kali menginjakkan kaki di luar rumah. Membuat napas kami begitu sesak oleh bayangan kematian.

Ya, ya, siapa yang bisa menjamin keselamatan kami saat berada di luar rumah? Sedang di dalam rumah pun kadang kami masih merasa takut. Sekelompok orang bisa saja mendobrak pintu rumah seraya menodongkan senapan. Berkali-kali kami mendengar bunyi senapan mengoyak malam dan peluru-peluru itu seolah berdesing hanya beberapa senti di telinga kami. Membuat malam-malam kami begitu mencekam meniupkan aroma kematian. Membuat tidur kami tak pernah bisa nyenyak seolah di luar banyak setan berkeliaran. Dan Geuchik Ibrahim tentu bukan orang pertama yang diseret dan digantung di pojok kampung sehabis santap sahur. Jauh sebelumnya Tengku Amar telah merasakan bagaimana ujung pisau menyayat leher dan perutnya.

Lalu, Abah dan Umi? Apa yang terjadi menimpa Abah dan Umi? Kenapa sudah dua minggu belum pulang? Kami masih ingat, pagi itu, pagi yang cerah itu, Abah dan Umi memang sedang berkemas-kemas hendak pergi. Kami tak tahu mereka akan pergi ke mana. Kami tak sempat bertanya, karena toh biasanya Umi akan memberitahu kami jika saatnya sudah tiba.

Dan, pagi cerah itu, kami berdua masih asyik nonton tv di ruang tengah sambil bercanda, sementara Abah shalat dhuha dan Umi di kamar sibuk memasukkan beberapa pakaian ke dalam tas ketika tiba-tiba kami merasakan rumah kami bergetar. Awalnya kami tak menduga bahwa itu adalah gempa. Semakin lama getaran itu semakin keras. Kami panik ketakutan. Belum pernah kami mengalami gempa sekuat ini. Abah yang baru selesai shalat dhuha segera datang menenangkan kami. Abah terus berdoa. Mulutnya komat-kamit.

Getaran itu berangsur-angsur reda. Kami mulai tenang. Abah mengusap wajahnya dengan kedua telapak tangan, lalu beringsut ke kamar Umi. Tentu mereka akan segera pergi. Cukup lama Abah berada di kamar Umi hingga tiba-tiba kami dikejutkan oleh gemuruh ombak laut yang begitu dahsyat menerjang rumah kami. Sejak itu kami tak pernah melihat Abah dan Umi. Berkali-kali kami berteriak memanggil Abah dan Umi, tapi tak ada jawaban. Sejurus kemudian kami merasakan udara begitu gelap dan senyap menyergap berkepanjangan.

Di mana Abah dan Umi?
***

HARI-HARI tanpa Abah dan Umi terasa sangat sepi. Sehabis maghrib kami tak pernah lagi mendengar Abah dan Umi mengaji di meunasah. Kami sangat rindu Abah dan Umi melantunkan ayat-ayat suci, membuat hati kami tenang dan damai. Membuat perasaan kami nyaman seolah para malaikat turun melindungi kami. Kami masih ingat, suara Abah serak-serak basah sedang suara Umi yang bekas penari seudati itu, sangat merdu tak ada duanya di kampung kami. Tapi kerinduan kami tak pernah terobati. Abah dan Umi belum kembali.

Setiap hari kami menunggu Abah dan Umi pulang. Menunggu dengan perasaan perih dan jantung berdebar-debar. Tapi angin yang datang pun tak pernah membawa kabar kepulangan Abah dan Umi. Hujan dan gerimis berlalu begitu saja seperti tak peduli. Malam menjadi saat-saat membosankan karena udara begitu dingin menampar, membuat tubuh kami menggigil gemetar, perut kami berkerucuk lapar. Sedang siang hari terik matahari tak terperi memanggang, membuat tubuh kami seperti terbakar.

Kami terus di rumah, di antara puing bangunan dan sampah, menunggu Abah dan Umi pulang. Kami tak tahu sampai kapan harus menunggu. Segalanya menjadi tak pasti kini, seperti warna langit yang tiba-tiba pudar berubah kelam. Seperti kematian yang tiba-tiba datang menemuimu di tikungan jalan. Kami telah melewati hari-hari meletihkan setelah gelombang laut yang dahsyat itu datang. Setelah siang dan malam, panas dan dingin, haus dan lapar tak henti-henti mendera tubuh kami. Di sini kami terus menunggu Abah dan Umi pulang. Terus menunggu….

Tapi kampung kami telah menjadi kampung mati. Kami tak pernah melihat orang melintas di jalan apalagi menghampiri rumah kami. Sesekali kami hanya melihat beberapa helikopter berputar-putar di atas ketinggian. Kami berharap helikoter itu turun menghampiri kami. Kami membayangkan Abah dan Umi ada di dalam helikoter itu untuk menjemput kami. Tapi burung besi itu hanya berputar-putar di udara. Sesekali memang terbang rendah, tapi tak sampai menyentuh tanah. Suaranya meraung-raung memekakkan telinga membuat kami kadang justru ketakutan. Mengingatkan gemuruh gelombang laut yang membuat rumah kami hancur.

Kami sudah tak sekolah lagi. Seragam dan buku-buku kami hilang entah ke mana. Tapi, ah, kami juga tak yakin apakah sekolah kami masih berdiri sedang semua bangunan rata tanah kecuali sebuah masjid dikejauhan sana. Lalu, di mana teman-teman sekolah kami? Hana, Fitri, Lina, Rieska, Fatma? Di mana para guru? Di mana ustadz Jakfar dan Haji Ali yang selalu mengumandangkan adzan di masjid? Di mana tetangga kanan kiri? Di mana Abah dan Umi? Di mana mereka semua sekarang ini? Kenapa hanya kami berdua di sini?

Oh, tidak! Tidak! Kali ini kami tidak berdua lagi. Ya, ya, di depan sana kami melihat beberapa orang datang, berjalan tergesa-gesa menghampiri kami. Pakaian mereka dekil dan kotor. Kami gembira sekali. Siapa tahu di antara mereka ada Abah dan Umi. Ya, ya, siapa tahu Abah dan Umi sedang mencari-cari kami. Tapi, ah, apa yang sedang mereka lakukan? Kenapa mereka membawa karung dan tongkat seperti pemulung? Kenapa sesekali mereka berhenti? Apa yang sedang mereka cari? Di mana Abah dan Umi?

Tiba-tiba kami merasa cemas dan takut. Orang-orang itu kini sudah sampai di rumah kami. Membongkar puing bangunan dan tumpukan kayu. Menyingkirkan sampah dan batu-batu. Mata mereka tajam mencari-cari sesuatu. Lalu saat tubuh kami mereka temukan, mereka segera berebut mengambil cincin, anting dan gelang yang masih melekat di tubuh kami. Begitu cepat mereka bergerak hingga tak ada lagi benda berharga tersisa di rumah kami. Mereka kemudian pergi dengan langkah gegas, tergesa, seperti kawanan pencuri.
***

RUMAH kami telah menjadi puing dan tumpukan sampah. Kami tak tahu dari mana sampah sebanyak itu datang ke rumah kami. Lihatlah, batu, kayu, besi, bongkah dinding bertumpuk seperti bukit gersang. Seperti gunung sehabis meletus. Tapi aku dan Cut Putri tetap memutuskan tinggal di rumah. Kami hanya berdua sebab Abah dan Umi belum pulang menjenguk kami. Sejak hari pertama, ketika gelombang tsunami datang menghancurkan rumah kami, sampai hari ini saat sekelompok orang mengambil paksa cincin, kalung dan gelang yang masih melekat di tulang-tulang kami yang telah kering dan kaku seperti batu.

Ya, ya, kami masih di sini menunggu Abah dan Umi. Atau, ah, siapa saja yang bersedia datang untuk mengubur tulang-tulang kami sebelum seseorang atau sekelompok orang datang membakar rumah kami yang telah menjadi puing dan tumpukan sampah….

Tolonglah! Please…

Depok, 2005

0 komentar:

Posting Komentar

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...