Salah satu keistimewaan ibadah shoum atau puasa adalah banyak orang yang ingin melaksanakannya meski ibadah lain tidak dilaksanakannya. Walupun shoum itu pun nanti pada akhirnya hanya ia laksanakan di awal dan di akhir. Tetapi ada hasrat untuk ikut pada awalnya. Contoh paling mudah, anak-anak kecil ada yang gembira ketika bulan Ramadhan tiba karena ia akan melaksanakan puasa. Padahal di waktu lain, kalau ia disuruh shalat saja sulitnya bukan main. Anak-anak kita, yang merasa sudah kuat menahan lapar dan haus, ikut bangun malam dan bersantap sahur untuk kemudian melaksanakan puasa di siang harinya, semampunya. Tetapi pada waktu Dzuhur atau ‘Ashar, kalau di suruh melaksanakan shalat belum tentu segera dilaksanakan. Padahal pelaksanaan shalat sesungguhnya lebih ringan ketimbang puasa yang haus dan lapar. Mengapa demikian?
Secara psikologis ternyata ada kecenderungan manusia untuk memperlihatkan keperkasaannya. Ketahanan fisiknya. Tetapi belum mentalistasnya. Anak-anak kecil yang ikut berpuasa, ingin mempertontonkan bahwa meski dirinya masih kecil tetapi secara fisik kuat. Ia tidak ingin dunia melihatnya sebagai orang yang lemah. Begitu pula orang-orang yang jarang shalat, pada waktu Ramadhan tiba ada juga yang merasa harus berpuasa – meski kadang tidak sebulan penuh, untuk menunjukkan bahwa ia orang yang kuat. Masak hanya menahan lapar dan haus satu hari saja tidak bisa.
Begitulah, ada orang yang melaksanakan puasa sebatas fisik semata. Bukan karena ia diet, tetapi sekadar untuk menunjukkan bahwa menahan lapar dan haus adalah sesuatu yang ringan baginya. Baginya, shalat, zakat adalah sesuatu yang lain. Sesuatu yang tidak ada kaitannya dengan puasanya. Puasa demikian adalah puasa minimalis. Manfaatnya mungkin hampir tidak ada, apatah lagi pahalanya.
Kini bulan Ramadhan datang lagi. Seperti waktu-waktu yang lalu, kita melaksanakan puasa dan amaliah Ramadhan lainnya. Yang menjadi pertanyaan : apakah puasa kita meningkat dari waktu ke waktu? Kalau puasa kita tahun yang lalu, maaf, masih seperti puasanya anak kecil dalam contoh di atas, apakah tahun ini dapat meningkat menjadi lebih berkualitas? Yakni meningkatkan mental spiritual pribadi kita. Shalat menjadi lebih berat dilaksanakan karena shalat adalah perlambang kepasrahan kita kepada Allah SWT, sebagai Tuhan Yang Menguasai kita. Setiap manusia mengidap suatu kesombongan, karenanya akan menjadi sulit bagi dirinya untuk tunduk dan pasrah kepada orang lain, kepada ”sesuatu yang lain”, meski kepada Tuhan sekalipun. Kesombongan seperti ini memang hanya dapat diruntuhkan dengan kesadaran diri betapa dha’ifnya manusia. Jika kesadaran tiba, maka shalat itu akan mudah baginya. Dan puasa Ramadhan adalah salah satu sarana untuk memberikan penyadaran itu. Karena puasa yang tidak disertai keimanan dan kepasrahan adalah sia-sia belaka.
Orang yang melaksanakan puasa dengan baik, diketahui meningkatkan akal budi dan pikirannya menjadi lebih bijaksana, menjadi lebih filosofis. Dalam keadaan lapar dan haus, pemikiran orang meningkat dari hal-hal yang fisik menjadi lebih abstrak. Ia lebih mampu bertafakkur akan ayat-ayat Allah dibanding hari-hari lain di luar puasa. Maka tidak mengherankan kalau alim ulama dahulu adalah orang-orang yang kuat mengamalkan shoum di luar bulan Ramadhan terlebih lagi di bulan Ramadhan.
Jika sebagian besar orang yang melaksanakan shoum, baik Ramadhan atau di bulan lain dapat meningkatkan kualitas puasanya, dari sekadar fisik menjadi pembentuk mentalitas dan lebih filosofis, insya Allah kedamaian akan kian terasa. Orang tidak akan terbelenggu oleh gemerlap keduniaan, tetapi terpikat oleh enerji ketuhanan.
Puasa demikian hanya akan tercapai jika ia melaksanakan puasa Ramadhan ini berlandaskan keimanan – keterikatan kepada Allah SWT semata (tamassak billah) dengan cara menghindari hal-hal yang membatalkan puasa dan merusak pahalanya (imsak ’an). Hadis Nabi menyatakan, ”Barangsiapa yang melaksanakan puasa Ramadhan dengan sempurna dan berkesinambungan berlandaskan iman dan pengharapan akan ridha Allah semata, maka akan diampuni dosa-dosa (kecil) nya yang telah lalu.”
Anak-anak kecil biarlah berpuasa semampunya. Yang penting, pemahaman keagamaannya kita tingkatkan. Bagi kita yang dewasa, puasa membuat hati dan pikiran kita lebih jernih. Enerji ketuhanan melimpah dalam sanubari kita. Kepekaan terhadap kehidupan kemanusiaan dan segala problematikanya lebih sensitif, sehingga kita tidak tega melihat banyak orang menderita kelaparan, kehausan, kedinginan, kepanasan. Inilah puasa yang meningkat dari waktu ke waktu. Puasa yag tidak sekadar menjadikan kita lapar dan haus belaka.Insya Allah.(Zainul Arifin/Pontianak)
Secara psikologis ternyata ada kecenderungan manusia untuk memperlihatkan keperkasaannya. Ketahanan fisiknya. Tetapi belum mentalistasnya. Anak-anak kecil yang ikut berpuasa, ingin mempertontonkan bahwa meski dirinya masih kecil tetapi secara fisik kuat. Ia tidak ingin dunia melihatnya sebagai orang yang lemah. Begitu pula orang-orang yang jarang shalat, pada waktu Ramadhan tiba ada juga yang merasa harus berpuasa – meski kadang tidak sebulan penuh, untuk menunjukkan bahwa ia orang yang kuat. Masak hanya menahan lapar dan haus satu hari saja tidak bisa.
Begitulah, ada orang yang melaksanakan puasa sebatas fisik semata. Bukan karena ia diet, tetapi sekadar untuk menunjukkan bahwa menahan lapar dan haus adalah sesuatu yang ringan baginya. Baginya, shalat, zakat adalah sesuatu yang lain. Sesuatu yang tidak ada kaitannya dengan puasanya. Puasa demikian adalah puasa minimalis. Manfaatnya mungkin hampir tidak ada, apatah lagi pahalanya.
Kini bulan Ramadhan datang lagi. Seperti waktu-waktu yang lalu, kita melaksanakan puasa dan amaliah Ramadhan lainnya. Yang menjadi pertanyaan : apakah puasa kita meningkat dari waktu ke waktu? Kalau puasa kita tahun yang lalu, maaf, masih seperti puasanya anak kecil dalam contoh di atas, apakah tahun ini dapat meningkat menjadi lebih berkualitas? Yakni meningkatkan mental spiritual pribadi kita. Shalat menjadi lebih berat dilaksanakan karena shalat adalah perlambang kepasrahan kita kepada Allah SWT, sebagai Tuhan Yang Menguasai kita. Setiap manusia mengidap suatu kesombongan, karenanya akan menjadi sulit bagi dirinya untuk tunduk dan pasrah kepada orang lain, kepada ”sesuatu yang lain”, meski kepada Tuhan sekalipun. Kesombongan seperti ini memang hanya dapat diruntuhkan dengan kesadaran diri betapa dha’ifnya manusia. Jika kesadaran tiba, maka shalat itu akan mudah baginya. Dan puasa Ramadhan adalah salah satu sarana untuk memberikan penyadaran itu. Karena puasa yang tidak disertai keimanan dan kepasrahan adalah sia-sia belaka.
Orang yang melaksanakan puasa dengan baik, diketahui meningkatkan akal budi dan pikirannya menjadi lebih bijaksana, menjadi lebih filosofis. Dalam keadaan lapar dan haus, pemikiran orang meningkat dari hal-hal yang fisik menjadi lebih abstrak. Ia lebih mampu bertafakkur akan ayat-ayat Allah dibanding hari-hari lain di luar puasa. Maka tidak mengherankan kalau alim ulama dahulu adalah orang-orang yang kuat mengamalkan shoum di luar bulan Ramadhan terlebih lagi di bulan Ramadhan.
Jika sebagian besar orang yang melaksanakan shoum, baik Ramadhan atau di bulan lain dapat meningkatkan kualitas puasanya, dari sekadar fisik menjadi pembentuk mentalitas dan lebih filosofis, insya Allah kedamaian akan kian terasa. Orang tidak akan terbelenggu oleh gemerlap keduniaan, tetapi terpikat oleh enerji ketuhanan.
Puasa demikian hanya akan tercapai jika ia melaksanakan puasa Ramadhan ini berlandaskan keimanan – keterikatan kepada Allah SWT semata (tamassak billah) dengan cara menghindari hal-hal yang membatalkan puasa dan merusak pahalanya (imsak ’an). Hadis Nabi menyatakan, ”Barangsiapa yang melaksanakan puasa Ramadhan dengan sempurna dan berkesinambungan berlandaskan iman dan pengharapan akan ridha Allah semata, maka akan diampuni dosa-dosa (kecil) nya yang telah lalu.”
Anak-anak kecil biarlah berpuasa semampunya. Yang penting, pemahaman keagamaannya kita tingkatkan. Bagi kita yang dewasa, puasa membuat hati dan pikiran kita lebih jernih. Enerji ketuhanan melimpah dalam sanubari kita. Kepekaan terhadap kehidupan kemanusiaan dan segala problematikanya lebih sensitif, sehingga kita tidak tega melihat banyak orang menderita kelaparan, kehausan, kedinginan, kepanasan. Inilah puasa yang meningkat dari waktu ke waktu. Puasa yag tidak sekadar menjadikan kita lapar dan haus belaka.Insya Allah.(Zainul Arifin/Pontianak)
0 komentar:
Posting Komentar