Salah satu tradisi bagus yang berkembang di masyarakat Muslim menjelang datangnya bulan Ramadhan adalah saling meminta maaf atas segala khilaf dan salah yang mungkin terjadi selama setahun ini. Tradisi ini nantinya juga akan berlanjut tatkala Idul Fitri atau Lebaran tiba.
Meski puasa Ramadhan tidak mensyaratkan bersihnya seseorang dari salah dan khilaf kepada orang lain namun orang akan merasa tenteran dan nyaman jika sewaktu melaksanakan ibadah shoum tidak terusik oleh perasaan bersalah. Terlebih bahwa di waktu Ramadhan, dosa-dosa kecil kita yang telah lalu dijanjikan akan diampuni Allah Swt. Dalam konteks ini, ampunan Allah akan datang jika kesalahan kita yang berhubungan dengan orang lain telah dapat dimaafkan oleh orang lain tersebut. Bukankah kesalahan kepada Allah akan berhubungan langsung dengan Allah sedang kesalahan kepada sesama manusia harus diselesaikan terlebih dahulu dengan yang bersangkutan?
Ada tiga kesulitan yang seringkali dihadapi seseorang berkaitan dengan kesalahan yang pernah diperbuat : pertama, kita serigkali sulit meminta maaf, kedua seringkali kita sulit memaafkan kesalahan orang lain dan ketiga, seringkali kita sulit bergaul dengan orang yang pernah membuat kesalahan kepada kita.
Pertama, kita sering sulit meminta maaf kepada orang lain atas kesalahan yang mungkin sekali kita perbuat, entah sengaja atau tidak sengaja. Kita kadang merasa kesalahan itu bukan murni karena perbuatan kita, tapi hanya ikutan dari perbuatan orang lain, sehingga kita merasa tidak bersalah. Atau kita merasa bahwa kesalahan yang kita perbuat kecil saja jadi tidak perlu minta maaf. Padahal yang namanya kesalahan, entah kecil atau besar tetaplah sebuah kesalahan dan haruslah minta maaf kepada yang tertimpa kesalahan kita itu. Mungkin juga kita tidak mau minta maaf karena gengsi. Takut gengsi atau prestise kita turun di mata orang lain. Apalagi jika orang kaya harus meminta maaf kepada orang miskin, seringkali yang terjadi justru sebaliknya.
Kedua, kita seringkali sulit memaafkan kesalahan orang lain. Entah mengapa, di masyarakat kita ada saja orang-orang yang sangat sulit memaafkan kesalahan orang lain. Menjadi pendendam dan mengintai waktu untuk membalasnya. Seringkali permaafan yang diberikan tidak tulus, hanya berada di lapis tipis bibirnya. Sehingga tatkala ada saat yang tepat untuk melampiaskan kemarahan, ia akan memanfaatkan kesalahan yang telah lalu sebagai amunisinya. Bukan hanya individual, tapi juga komunal.
Di sebagian daerah negeri kita, beberapa waktu lalu sering sekali diwarnai bentrokan berdarah antar warga masyarakat disebabkan oleh hal-hal sepele. Namun karena hal-hal sepele itu merupakan akumulasi dari dendam yang lama terpendam dan tak kunjung disiram permaafan yang tulus, maka konflik pun mudah sekali tersulut.
Ketiga, ikutan dari sifat kurang bagus yang kedua tadi adalah kemudian kita sering menjadi sulit untuk mau bergaul kembali dengan orang-orang yang pernah berbuat salah kepada kita. Kita lebih suka memilih teman lain daripada kepada orang tersebut. Ini sebuah pikiran yang tentu saja salah, karena setiap orang dapat berubah. Mungkin saja seseorang pernah berbuat salah kepada kita, membuat kejengkelan pada hati kita, tapi mungkin sekali ia sudah berubah. Menjadi baik. Apalagi jika diantara kita dan dia telah saling memaafkan.
Puasa Ramadhan yang diawali dengan saling maaf memaafkan dimaksudkan agar ketika masuk waktu puasa, jiwa kita bersih. Kalaupun kita punya salah, maka kita telah berusaha untuk meminta maaf. Apakah permintaan maaf kita diterima dengan tulus atau tidak oleh orang lain, itu sudah bukan urusan kita. Dalam Qs. Ali Imran : 134 disebutkan bahwa orang-orang yang beriman dan orang-orang yang baik adalah orang-orang yang menahan amarahnya dan mema’afkan (kesalahan) orang. Allah menyukai orang-orang yang berbuat kebajikan.
Karenanya jika kita ingin melaksanakan puasa Ramadhan ini dengan penuh keimanan dan semata mengharap ridha Allah, maka kita harus mampu menahan amarah dan memaafkan kesalahan orang lain. Apalagi jika kesalahan itu kecil-kecil dan ada kemungkinan terjadi lantaran tidak sengaja.
Imam Syafi’i diriwayatkan pernah menyatakan, “Barangsiapa tidak bisa memaafkan kesalahan orang, maka dia adalah syaitan.” Sungguh pernyataan yang amat menohok jiwa pemaaf kita. Semoga di puasa Ramadhan ini kita bisa menjadi orang yang pemaaf bukan justru menjadi syaitan. Allahu a’lam. (Zainul Arifin/Pontianak)
Ada tiga kesulitan yang seringkali dihadapi seseorang berkaitan dengan kesalahan yang pernah diperbuat : pertama, kita serigkali sulit meminta maaf, kedua seringkali kita sulit memaafkan kesalahan orang lain dan ketiga, seringkali kita sulit bergaul dengan orang yang pernah membuat kesalahan kepada kita.
Pertama, kita sering sulit meminta maaf kepada orang lain atas kesalahan yang mungkin sekali kita perbuat, entah sengaja atau tidak sengaja. Kita kadang merasa kesalahan itu bukan murni karena perbuatan kita, tapi hanya ikutan dari perbuatan orang lain, sehingga kita merasa tidak bersalah. Atau kita merasa bahwa kesalahan yang kita perbuat kecil saja jadi tidak perlu minta maaf. Padahal yang namanya kesalahan, entah kecil atau besar tetaplah sebuah kesalahan dan haruslah minta maaf kepada yang tertimpa kesalahan kita itu. Mungkin juga kita tidak mau minta maaf karena gengsi. Takut gengsi atau prestise kita turun di mata orang lain. Apalagi jika orang kaya harus meminta maaf kepada orang miskin, seringkali yang terjadi justru sebaliknya.
Kedua, kita seringkali sulit memaafkan kesalahan orang lain. Entah mengapa, di masyarakat kita ada saja orang-orang yang sangat sulit memaafkan kesalahan orang lain. Menjadi pendendam dan mengintai waktu untuk membalasnya. Seringkali permaafan yang diberikan tidak tulus, hanya berada di lapis tipis bibirnya. Sehingga tatkala ada saat yang tepat untuk melampiaskan kemarahan, ia akan memanfaatkan kesalahan yang telah lalu sebagai amunisinya. Bukan hanya individual, tapi juga komunal.
Di sebagian daerah negeri kita, beberapa waktu lalu sering sekali diwarnai bentrokan berdarah antar warga masyarakat disebabkan oleh hal-hal sepele. Namun karena hal-hal sepele itu merupakan akumulasi dari dendam yang lama terpendam dan tak kunjung disiram permaafan yang tulus, maka konflik pun mudah sekali tersulut.
Ketiga, ikutan dari sifat kurang bagus yang kedua tadi adalah kemudian kita sering menjadi sulit untuk mau bergaul kembali dengan orang-orang yang pernah berbuat salah kepada kita. Kita lebih suka memilih teman lain daripada kepada orang tersebut. Ini sebuah pikiran yang tentu saja salah, karena setiap orang dapat berubah. Mungkin saja seseorang pernah berbuat salah kepada kita, membuat kejengkelan pada hati kita, tapi mungkin sekali ia sudah berubah. Menjadi baik. Apalagi jika diantara kita dan dia telah saling memaafkan.
Puasa Ramadhan yang diawali dengan saling maaf memaafkan dimaksudkan agar ketika masuk waktu puasa, jiwa kita bersih. Kalaupun kita punya salah, maka kita telah berusaha untuk meminta maaf. Apakah permintaan maaf kita diterima dengan tulus atau tidak oleh orang lain, itu sudah bukan urusan kita. Dalam Qs. Ali Imran : 134 disebutkan bahwa orang-orang yang beriman dan orang-orang yang baik adalah orang-orang yang menahan amarahnya dan mema’afkan (kesalahan) orang. Allah menyukai orang-orang yang berbuat kebajikan.
Karenanya jika kita ingin melaksanakan puasa Ramadhan ini dengan penuh keimanan dan semata mengharap ridha Allah, maka kita harus mampu menahan amarah dan memaafkan kesalahan orang lain. Apalagi jika kesalahan itu kecil-kecil dan ada kemungkinan terjadi lantaran tidak sengaja.
Imam Syafi’i diriwayatkan pernah menyatakan, “Barangsiapa tidak bisa memaafkan kesalahan orang, maka dia adalah syaitan.” Sungguh pernyataan yang amat menohok jiwa pemaaf kita. Semoga di puasa Ramadhan ini kita bisa menjadi orang yang pemaaf bukan justru menjadi syaitan. Allahu a’lam. (Zainul Arifin/Pontianak)
1 komentar:
nunut moco2 mas,timbang raiso turu.....
Posting Komentar