Jika kita renungkan ayat yang mengandung perintah berpuasa Ramadhan, maka akan kita temukan pula bahwa salah satu tujuan berpuasa adalah agar kaum mukminin menjadi pribadi yang pandai bersyukur. Di manakah hal itu termaktub? Tidak jauh-jauh dari ayat paling populer di bulan Ramadhan (Qs. Al Baqarah : 183), ia berada di Qs. Al Baqarah ayat 185.
Sebenarnya ayat ini juga menjadi landasan pelaksanaan puasa di bulan Ramadhan, namun ia kalah tenar dengan ayat sebelumnya. Jika di ujung ayat 183 Allah menyuruh kaum mukminin berpuasa agar menjadi bertaqwa (la’allakum tattaqun), maka di ujung ayat 185 Allah menjadikan puasa Ramadhan dimana Al Qur’an diturunkan di dalamnya agar kaum mukminin menjadi bersyukur (la’allakum tasykurun). “(Beberapa hari yang ditentukan itu ialah) bulan Ramadhan, bulan yang di dalamnya diturunkan (permulaan) Al Quran sebagai petunjuk bagi manusia dan penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu dan pembeda (antara yang hak dan yang bathil). karena itu, Barangsiapa di antara kamu hadir (di negeri tempat tinggalnya) di bulan itu, Maka hendaklah ia berpuasa pada bulan itu, dan Barangsiapa sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), Maka (wajiblah baginya berpuasa), sebanyak hari yang ditinggalkannya itu, pada hari-hari yang lain. Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran bagimu. dan hendaklah kamu mencukupkan bilangannya dan hendaklah kamu mengagungkan Allah atas petunjuk-Nya yang diberikan kepadamu, supaya kamu bersyukur.”
Dalam al Qur’an terdapat tidak kurang dari 49 ayat yang berkenaan dengan kata syukur. Hal ini menunjukkan bahwa masalah syukur harus mendapat perhatian penting dari kaum mukminin.
Terdapat satu ayat sangat populer berkenaan dengan keharusan bersyukur yang tercantum dalam Qs. Ibrahim ayat 7, “dan (ingatlah juga), tatkala Tuhanmu memaklumkan; "Sesungguhnya jika kamu bersyukur, pasti Kami akan menambah (nikmat) kepadamu, dan jika kamu mengingkari (nikmat-Ku), maka sesungguhnya azab-Ku sangat pedih". Namun meski ayat ini secara sederhana, tegas dan lugas menyuruh kita bersyukur, toh menurut Allah sendiri, hanya sedikit saja dari hamba-hamba-Nya yang benar-benar dapat bersyukur. Misalnya dalam Qs. Al Mulk ayat 23 dinyatakan, “Katakanlah: "Dia-lah yang menciptakan kamu dan menjadikan bagi kamu pendengaran, penglihatan dan hati". (tetapi) amat sedikit kamu bersyukur.”
Manusia dalam Al Qur’an dipersepsikan sebagai umat yang beriman. Hal ini merupakan sebutan yang amat terpuji. Namun terkadang pujian itu hilang karena perbuatan nista. Keimanan seorang manusia dinilai mampu menciptakan keamanan dan kenyamanan, baik untuk pribadi, keluarga, dan masyarakat luas. Dan rasa aman dan nyaman salah satunya tercipta dengan berpuasa, karena berpuasa menghasilkan banyak kebaikan yang konkrit.
Orang yang beriman adalah orang orang yang mampu memberi rasa aman ditandai dengan suksesnya menjalankan ibadah puasa. Keimanan yang benar akan menghasilkan prilaku yang memberikan keamanan bagi diri, keluarga dan masyarakat. Kesadaran bahwa kita adalah komunitas beriman, langsung nampak dari perilaku keseharian kita dalam kehidupan. Iman terkait dengan tiga kata, yaitu Iman, Aman dan Nyaman. Iman menghadirkan rasa aman, Aman menghadirkan kenyamanan. Sehingga kita bisa menjalankan amanah terhadap umat dan janji kepada Allah dengan sebaik-baiknya.
Namun rasa syukur hanya sering menjadi ucapan verbal semata, yang hanya diucapkan pada momen-momen hari besar keagamaan saja. Padahal ungkapan rasa syukur merupakan suatu yang harus kita lakukan secara sadar untuk melaksanakan sukses yang ada guna menggantikan kondisi yang penuh dengan kekhawatiran, menjadi kondisi yang penuh dengan kebahagiaan.
Puasa Ramadhan memberi ruang kepada kaum muslimin untuk kembali meningkatkan harkat kemanusiaannya yang mungkin terbengkelai pada sebelas bulan lainnya. Pada sebelas bulan yang hiruk pikuk itu, kita mungkin terlalu sibuk dengan urusan duniawi yang menyita potensi pendengaran, penglihatan dan hati kita untuk hal-hal yang lebih spiritual. Pada bulan Ramadhan, seiring dengan pelaksanaan puasa, kita dikembalikan kepada nuansa penciptaan kita yang paling baik (ahsani taqwim). Penciptaan yang paling baik itu antara lain ditandai dengan tidak adanya penyakit jasmaniah (diekspresikan dengan kemampuan menahan makan, minum dan hubungan seksual suami-istri di siang hari) dan ruhaniah (diekspresikan dengan kemampuan mengerjakan ibadah-ibadah sunnah didalamnya, seperti tarawih, memperbanyak tadarus al Qur’an).
Kondisi inilah yang harus kita syukuri, karena Allah Swt memberi kesempatan kepada kita untuk segera ingat, segera sadar, bahwa ternyata dalam sebelas bulan di luar Ramadhan ada kemungkinan kita terjerumus pada hal-hal yang kurang baik. Dengan perenungan di bulan Ramadhan kita diangkat dari lepotan lumpur keduniaan ke arasy spiritual yang lebih jernih dan murni. Maka bentuk kesyukuran kita adalah melaksanakan ibadah puasa tidak hanya secara fisik, tapi juga kejiwaan.
Rasulullah bersabda, “Telah datang bulan berkah, yaitu bulan Ramadhan”. Saat itu, puasa baru diwajibkan oleh Rasulullah Saw. dimana umat Islam baru berhijrah dari Makkah ke Madinah. Berpindah dari kondisi yang satu ke kondisi yang lain. Dari kondisi tertindas menjadi terhormat, dari kondisi tak dikenal menjadi dikenal, dari kondisi yang bermasalah, menjadi solusi dari masalah. Kesadaran untuk bersyukur merupakan kesempatan emas untuk menempa diri. Rasa syukur dapat diwujudkan melalui prilaku keseharian yang dilakukan secara sadar. Dari rasa syukur bisa melipatgandakan pahala, namun rasa syukur sering muncul secara tidak sadar. Rasa syukur hanya sering muncul secara spontan dalam ungkapan verbal. Padahal rasa syukur amat diperlukan sehingga kita mampu mengelola segala karunia Allah dengan lebih baik lagi agar bisa menghadirkan manfaat sebanyak-banyaknya bagi manusia.
Allah memberikan keistimewaan kepada umat yang berpuasa dengan menyediakan satu pintu khusus di surga yang dinamai Al Rayyan. Pintu surga Al Rayyan ini hanya disediakan bagi umat yang berpuasa. Sabda Nabi dalam satu haditsnya riwayat Al Bukhari, “Di syurga terdapat delapan pintu, di dalamnya ada pintu yang disebut Ar Rayyaan. Tidak masuk ke dalamnya kecuali orang-orang yang berpuasa.” Atau di hadis yang lain, “Pintu Rayyan hanya diperuntukkan bagi orang-orang berpuasa, bukan untuk lainnya. Bila pintu tersebut sudah dimasuki oleh seluruh rombongan ahli puasa Ramadhan, maka tak ada lagi yang boleh masuk ke dalamnya.” (HR. Muslim)
Menilik keistimewaan yang dikandung oleh puasa Ramadhan di atas, maka sungguh pantas jika puasa Ramadhan ini hendaknya menjadikan kita pribadi yang bersyukur. Allahu a’lam.(Zainul Arifin/Pontianak)
Dalam al Qur’an terdapat tidak kurang dari 49 ayat yang berkenaan dengan kata syukur. Hal ini menunjukkan bahwa masalah syukur harus mendapat perhatian penting dari kaum mukminin.
Terdapat satu ayat sangat populer berkenaan dengan keharusan bersyukur yang tercantum dalam Qs. Ibrahim ayat 7, “dan (ingatlah juga), tatkala Tuhanmu memaklumkan; "Sesungguhnya jika kamu bersyukur, pasti Kami akan menambah (nikmat) kepadamu, dan jika kamu mengingkari (nikmat-Ku), maka sesungguhnya azab-Ku sangat pedih". Namun meski ayat ini secara sederhana, tegas dan lugas menyuruh kita bersyukur, toh menurut Allah sendiri, hanya sedikit saja dari hamba-hamba-Nya yang benar-benar dapat bersyukur. Misalnya dalam Qs. Al Mulk ayat 23 dinyatakan, “Katakanlah: "Dia-lah yang menciptakan kamu dan menjadikan bagi kamu pendengaran, penglihatan dan hati". (tetapi) amat sedikit kamu bersyukur.”
Manusia dalam Al Qur’an dipersepsikan sebagai umat yang beriman. Hal ini merupakan sebutan yang amat terpuji. Namun terkadang pujian itu hilang karena perbuatan nista. Keimanan seorang manusia dinilai mampu menciptakan keamanan dan kenyamanan, baik untuk pribadi, keluarga, dan masyarakat luas. Dan rasa aman dan nyaman salah satunya tercipta dengan berpuasa, karena berpuasa menghasilkan banyak kebaikan yang konkrit.
Orang yang beriman adalah orang orang yang mampu memberi rasa aman ditandai dengan suksesnya menjalankan ibadah puasa. Keimanan yang benar akan menghasilkan prilaku yang memberikan keamanan bagi diri, keluarga dan masyarakat. Kesadaran bahwa kita adalah komunitas beriman, langsung nampak dari perilaku keseharian kita dalam kehidupan. Iman terkait dengan tiga kata, yaitu Iman, Aman dan Nyaman. Iman menghadirkan rasa aman, Aman menghadirkan kenyamanan. Sehingga kita bisa menjalankan amanah terhadap umat dan janji kepada Allah dengan sebaik-baiknya.
Namun rasa syukur hanya sering menjadi ucapan verbal semata, yang hanya diucapkan pada momen-momen hari besar keagamaan saja. Padahal ungkapan rasa syukur merupakan suatu yang harus kita lakukan secara sadar untuk melaksanakan sukses yang ada guna menggantikan kondisi yang penuh dengan kekhawatiran, menjadi kondisi yang penuh dengan kebahagiaan.
Puasa Ramadhan memberi ruang kepada kaum muslimin untuk kembali meningkatkan harkat kemanusiaannya yang mungkin terbengkelai pada sebelas bulan lainnya. Pada sebelas bulan yang hiruk pikuk itu, kita mungkin terlalu sibuk dengan urusan duniawi yang menyita potensi pendengaran, penglihatan dan hati kita untuk hal-hal yang lebih spiritual. Pada bulan Ramadhan, seiring dengan pelaksanaan puasa, kita dikembalikan kepada nuansa penciptaan kita yang paling baik (ahsani taqwim). Penciptaan yang paling baik itu antara lain ditandai dengan tidak adanya penyakit jasmaniah (diekspresikan dengan kemampuan menahan makan, minum dan hubungan seksual suami-istri di siang hari) dan ruhaniah (diekspresikan dengan kemampuan mengerjakan ibadah-ibadah sunnah didalamnya, seperti tarawih, memperbanyak tadarus al Qur’an).
Kondisi inilah yang harus kita syukuri, karena Allah Swt memberi kesempatan kepada kita untuk segera ingat, segera sadar, bahwa ternyata dalam sebelas bulan di luar Ramadhan ada kemungkinan kita terjerumus pada hal-hal yang kurang baik. Dengan perenungan di bulan Ramadhan kita diangkat dari lepotan lumpur keduniaan ke arasy spiritual yang lebih jernih dan murni. Maka bentuk kesyukuran kita adalah melaksanakan ibadah puasa tidak hanya secara fisik, tapi juga kejiwaan.
Rasulullah bersabda, “Telah datang bulan berkah, yaitu bulan Ramadhan”. Saat itu, puasa baru diwajibkan oleh Rasulullah Saw. dimana umat Islam baru berhijrah dari Makkah ke Madinah. Berpindah dari kondisi yang satu ke kondisi yang lain. Dari kondisi tertindas menjadi terhormat, dari kondisi tak dikenal menjadi dikenal, dari kondisi yang bermasalah, menjadi solusi dari masalah. Kesadaran untuk bersyukur merupakan kesempatan emas untuk menempa diri. Rasa syukur dapat diwujudkan melalui prilaku keseharian yang dilakukan secara sadar. Dari rasa syukur bisa melipatgandakan pahala, namun rasa syukur sering muncul secara tidak sadar. Rasa syukur hanya sering muncul secara spontan dalam ungkapan verbal. Padahal rasa syukur amat diperlukan sehingga kita mampu mengelola segala karunia Allah dengan lebih baik lagi agar bisa menghadirkan manfaat sebanyak-banyaknya bagi manusia.
Allah memberikan keistimewaan kepada umat yang berpuasa dengan menyediakan satu pintu khusus di surga yang dinamai Al Rayyan. Pintu surga Al Rayyan ini hanya disediakan bagi umat yang berpuasa. Sabda Nabi dalam satu haditsnya riwayat Al Bukhari, “Di syurga terdapat delapan pintu, di dalamnya ada pintu yang disebut Ar Rayyaan. Tidak masuk ke dalamnya kecuali orang-orang yang berpuasa.” Atau di hadis yang lain, “Pintu Rayyan hanya diperuntukkan bagi orang-orang berpuasa, bukan untuk lainnya. Bila pintu tersebut sudah dimasuki oleh seluruh rombongan ahli puasa Ramadhan, maka tak ada lagi yang boleh masuk ke dalamnya.” (HR. Muslim)
Menilik keistimewaan yang dikandung oleh puasa Ramadhan di atas, maka sungguh pantas jika puasa Ramadhan ini hendaknya menjadikan kita pribadi yang bersyukur. Allahu a’lam.(Zainul Arifin/Pontianak)
0 komentar:
Posting Komentar