Sewaktu kecil dongeng ini paling sering diceritakan bapak kepada saya menjelang tidur. Dan saya pun tidak bosan-bosannya mendengarkan dongeng yang entah sudah berapa puluh kali masuk ke gendang telinga saya itu. Ialah dongeng tentang Jaluddin sang penggembala kambing yang termakan dustanya sendiri. Mungkin namanya tidak harus Jaluddin, tapi untuk menghindari kesamaan nama dan atau nama yang bermakna maka diambil begitu saja nama Jaluddin. Dalam kamus Bahasa Arab, kata jaluddin tidak bisa ditemukan artinya.
Pendek ceritanya, konon di sebuah desa hiduplah penggembala kambing yang saban hari membawa gembalaannya itu ke sebuah padang rumput di bawah lereng bukit yang berdekatan dengan hutan. Kambing-kambing dilepas sepanjang hari untuk makan rumput sampai kenyang dan petang harinya semuanya akan digiring untuk kembali ke kandang.
Entah karena jenuh tak ada hiburan selain menggembala kambing, sang penggembala pun mempunyai pikiran untuk iseng mengerjai warga desanya. Maka suatu hari, saat menggembala kambing, ia berteriak-teriak minta tolong, “Ada harimau, ada harimau ...” Mendengar teriakan itu, warga desa berlarian menuju kepadanya dengan membawa segala senjata yang diperlukan. “Mana harimaunya? Mana harimaunya?” tanya warga desa. Demi melihat hal itu sang penggembala tertawa tergelak-gelak. Pasalnya ia hanya berbohong bahwa ada harimau yang akan menerkam kambing gembalaannya. Warga desa pun bersungut-sungut dan balik meninggalkannya.
Hari berikutnya hal yang sama diulanginya. Dan warga desa pun masih percaya bahwa benar akan ada harimau yang bakal menerkam sang penggembala atau kambing-kambingnya. Namun seperti kejadian yang lalu, ternyata teriakan itu hanyalah iseng kebohongan yang penggembala yang tetap tertawa tergelak-gelak. Kejadian itu, menurut dongeng tersebut, berulang sampai tiga – empat kali. Sampai akhirnya pada kali kelima, sang penggembala itu berteriak-teriak kembali, “Harimau ... harimau,” dan tak ada warga desa yang datang. Warga desa berpikir, “Ah paling hanya bohong saja.” Maka sang penggembala itu akhirnya benar-benar diterkam harimau tanpa ada yang peduli untuk menolongnya.
Moral dongeng di atas adalah, kebiasaan berbohong pada akhirnya akan memakan korban sang pembohong sendiri. Orang tidak akan percaya lagi meski apa yang dikatakannya suatu saat mungkin adalah sesuatu yang benar, faktual, bukan sekadar “katanya, katanya ...” Peribahasa Indonesia menyatakan, “sekali lancung ke ujian, seumur hidup orang tak percaya.”
Nabi Muhammad Saw dalam hadisnya bersabda, “Hendaklah kamu selalu (berbuat, berkata) benar. Sesungguhnya kebenaran itu membawa kepada kebajikan dan kebajikan membawa ke syurga. Selama seorang benar dan selalu memilih kebenaran dia tercatat di sisi Allah seorang yang benar (jujur). Hati-hatilah terhadap dusta. Sesungguhnya dusta membawa kepada kejahatan dan kejahatan membaea kepada neraka. Selama seorang dusta dan selalu memilih dusta dia tercatat di sisi Allah sebagai seorang pendusta (pembohong).” (Muttafaqun ‘alaihi)
Dewasa ini negara kita sedang dilanda berbagai kontroversi kejahatan yang menurut istilah media MST (massive, sistemik, terstruktur). Berita-berita dalam berbagai kasus kejahatan menjadi kontroversi lantaran ditengarai banyak aktornya yang berbohong, mulai dari yang kecil, kelas teri, kelas orang suruhan sampai yang kelas hiu, otak pengatur skandalnya. Lantaran sedemikian seringnya penanganan kasus-kasus yang merugikan publik hanya seperti sandiwara, maka rakyatpun mulai tidak percaya lagi kepada para pemangku jabatan, pemikul amanat yang seharusnya melaksanakan tugas dan fungsi secara benar dan jujur. Apa yang dikatakan justru tidak dipercaya karena publik percaya ada yang tidak dikatakannya.
Sungguh celaka suatu masyarakat yang dipimpin oleh pembohong dan tercatat di sisi Allah sebagai pembohong. Padahal sudah jelas ada satu teladan utama (uswah hasanah) yakni Nabiyullah Muhammad Saw yang sejak kecil sudah kita terima riwayatnya bahwa salah satu sifat beliau adalah siddiq: benar, jujur. Jadi mengapa kita “berbohong” mengikuti beliau padahal kita sering melakukan hal yang justru berkebalikan dengan sifat beliau itu? Allahu a’lam.(Zainul Arifin/Pontianak)
Hari berikutnya hal yang sama diulanginya. Dan warga desa pun masih percaya bahwa benar akan ada harimau yang bakal menerkam sang penggembala atau kambing-kambingnya. Namun seperti kejadian yang lalu, ternyata teriakan itu hanyalah iseng kebohongan yang penggembala yang tetap tertawa tergelak-gelak. Kejadian itu, menurut dongeng tersebut, berulang sampai tiga – empat kali. Sampai akhirnya pada kali kelima, sang penggembala itu berteriak-teriak kembali, “Harimau ... harimau,” dan tak ada warga desa yang datang. Warga desa berpikir, “Ah paling hanya bohong saja.” Maka sang penggembala itu akhirnya benar-benar diterkam harimau tanpa ada yang peduli untuk menolongnya.
Moral dongeng di atas adalah, kebiasaan berbohong pada akhirnya akan memakan korban sang pembohong sendiri. Orang tidak akan percaya lagi meski apa yang dikatakannya suatu saat mungkin adalah sesuatu yang benar, faktual, bukan sekadar “katanya, katanya ...” Peribahasa Indonesia menyatakan, “sekali lancung ke ujian, seumur hidup orang tak percaya.”
Nabi Muhammad Saw dalam hadisnya bersabda, “Hendaklah kamu selalu (berbuat, berkata) benar. Sesungguhnya kebenaran itu membawa kepada kebajikan dan kebajikan membawa ke syurga. Selama seorang benar dan selalu memilih kebenaran dia tercatat di sisi Allah seorang yang benar (jujur). Hati-hatilah terhadap dusta. Sesungguhnya dusta membawa kepada kejahatan dan kejahatan membaea kepada neraka. Selama seorang dusta dan selalu memilih dusta dia tercatat di sisi Allah sebagai seorang pendusta (pembohong).” (Muttafaqun ‘alaihi)
Dewasa ini negara kita sedang dilanda berbagai kontroversi kejahatan yang menurut istilah media MST (massive, sistemik, terstruktur). Berita-berita dalam berbagai kasus kejahatan menjadi kontroversi lantaran ditengarai banyak aktornya yang berbohong, mulai dari yang kecil, kelas teri, kelas orang suruhan sampai yang kelas hiu, otak pengatur skandalnya. Lantaran sedemikian seringnya penanganan kasus-kasus yang merugikan publik hanya seperti sandiwara, maka rakyatpun mulai tidak percaya lagi kepada para pemangku jabatan, pemikul amanat yang seharusnya melaksanakan tugas dan fungsi secara benar dan jujur. Apa yang dikatakan justru tidak dipercaya karena publik percaya ada yang tidak dikatakannya.
Sungguh celaka suatu masyarakat yang dipimpin oleh pembohong dan tercatat di sisi Allah sebagai pembohong. Padahal sudah jelas ada satu teladan utama (uswah hasanah) yakni Nabiyullah Muhammad Saw yang sejak kecil sudah kita terima riwayatnya bahwa salah satu sifat beliau adalah siddiq: benar, jujur. Jadi mengapa kita “berbohong” mengikuti beliau padahal kita sering melakukan hal yang justru berkebalikan dengan sifat beliau itu? Allahu a’lam.(Zainul Arifin/Pontianak)
0 komentar:
Posting Komentar