Satu pertanyaan menggelitik yang sering muncul di masyarakat adalah “Mengapa sebahagian orang-orang penting yang tersangkut perkara hukum tiba-tiba menyatakan diri atau dinyatakan oleh dokter, menderita sakit?” Padahal masyarakat melihat bahwa sepak terjang mereka sebelum tersangkut masalah hukum seperti sehat-sehat saja, begitu bergairah beraktivitas. Bahkan ada yang menambahkan bahwa sebenarnya dirinya memang selama ini menderita sakit kronis tetapi tidak ia rasakan. Namun begitu dirinya tersangkut perkara hukum, tiba-tiba ia merasakan bahwa dirinya ternyata memang benar-benar sakit.
Sebuh cerita “menggelikan” mencuat tatkala sebuah daerah dilanda gempa. Gempa itu dirasakan juga oleh para pasien yang tengah dirawat di sebuah rumah sakit. Mereka pun panik, berhamburan keluar gedung untuk menyelamatkan diri. Tak ketinggalan seorang pasien yang tengah dirawat intensif dan tidak bisa jalan. Karena harus menyelamatkan diri, tiba-tiba si pasien itu bisa berdiri kemudian lari sampai ke halaman rumah sakit. Sakitnya tiba-tiba menguap. Setelah gempa berhenti, orang-orang heran melihat pasien itu bisa berlari menyelamatkan diri, bukankah berdiri saja tadinya ia merasa tidak bisa? Si pasien pun heran sendiri, dan kemudian ia berpikir, “Bukankah saya sedang sakit?” Lalu ia pun ambruk kembali, karena ia merasa dirinya memang sakit.
Inti cerita di atas adalah bahwa mungkin sekali yang namanya penyakit itu sebenarnya muncul dari pengaruh pikiran atau persepsi kita tentang diri kita sendiri. Orang yang merasa bahwa dirinya sehat dan mempunyai kemauan untuk benar-benar menjadi sehat --- jika ia sedang sakit --- bisa jadi akan selalu sehat. Sedangkan orang yang merasa dirinya sakit, maka ia akan bisa benar-benar sakit. Semuanya berpangkal pada setting otak kita, pikiran kita dan persepsi kita. Kecuali yang benar-benar sakit karena pengaruh luar yang tak terelakkan.
Karenanya adagium “jiwa yang sehat terdapat pada tubuh yang sehat” dapat pula dibalik menjadi “tubuh yang sehat terdapat pada jiwa (akal) yang sehat”. Jiwa yang sehat antara lain adalah jiwa yang terbebas dari beban-beban yang mengakibatkan stress atau depresi. Dan dosa, kesalahan, apalagi yang disengaja, adalah salah satu beban yang akan mendatangkan stress atau depresi itu! Maka tatkala seorang arif besar bernama Abu Abdur Rahman Hatim bin Alwan (wafat pada tahun 237 H) pada suatu hari ditanya, “Tidakkah kamu menginginkan sesuatu?” Iapun menjawab, “Saya ingin selalu sehat dari pagi hingga malam hari”. Ditanyakan lagi, “Bukankah kamu sehat selama seharian?” Hatim menjawab, “Sehat menurutku adalah tidak menjalankan dosa dari pagi hingga malam.”
Hatim menginspirasi kita untuk mengubah mindset dan paradigma kita tentang sehat. Bahwa apa yang harus kita anggap sebagai sehat dari diri kita adalah “kalau kita bisa tidak melakukan dosa dari pagi sampai malam” dalam kehidupan keseharian kita. Inilah sehat yang essensial. Sebagaimana Nabi pernah menerangkan, “kebaikan akan mendatangkan ketentraman dalam hatimu, dan dosa adalah apa yang engkau tidak suka orang lain melihatnya.”
Dalam Al-Qur’an terdapat kata “wizrun” yang artinya dosa. Misalnya dalam Qs. Al An’am ayat 164, Al Isra ayat 15, “walaa taziru waaziratun wizra ukhra” -- “dan seorang yang berdosa tidak akan memikul dosa orang lain”. Dalam Bahasa Arab, kata wizr punya arti asli ‘gunung’ atau ‘bukit’ dan sesuatu yang besar yang menampakkan beban yang sangat berat. Mengapa dosa dalam Al Qur’an salah satunya memakai kata wizr? Karena pada hakekatnya, bagi seseorang, dosa adalah suatu beban yang amat berat. Seseorang yang berdosa, ia memikul beban mental yang amat berat, meski terkadang ia pura-pura nampak biasa-biasa saja. Makin besar dosa yang diperbuatnya, makin berat beban yang dipikulnya.
Beban “dosa” itulah antara lain yang bisa membuat seseorang yang semula nampak sehat sekonyong-konyong menjadi sakit, karena ia memikul “gunung”, memikul beban yang sangat berat. Maka menjadi mudah dipahami jika seseorang yang tersangkut hukum kemudian didapati menderita sakit. Tentu saja penyakitnya itu tidak lantas menjadi alasan untuk mempeti-eskan perkaranya begitu saja. Karenanya jika kita ingin selalu menjadi sehat, berusahalah menghindari berbuat dosa. Allahu a’lam.(Zainul Arifin/Pontianak)
Inti cerita di atas adalah bahwa mungkin sekali yang namanya penyakit itu sebenarnya muncul dari pengaruh pikiran atau persepsi kita tentang diri kita sendiri. Orang yang merasa bahwa dirinya sehat dan mempunyai kemauan untuk benar-benar menjadi sehat --- jika ia sedang sakit --- bisa jadi akan selalu sehat. Sedangkan orang yang merasa dirinya sakit, maka ia akan bisa benar-benar sakit. Semuanya berpangkal pada setting otak kita, pikiran kita dan persepsi kita. Kecuali yang benar-benar sakit karena pengaruh luar yang tak terelakkan.
Karenanya adagium “jiwa yang sehat terdapat pada tubuh yang sehat” dapat pula dibalik menjadi “tubuh yang sehat terdapat pada jiwa (akal) yang sehat”. Jiwa yang sehat antara lain adalah jiwa yang terbebas dari beban-beban yang mengakibatkan stress atau depresi. Dan dosa, kesalahan, apalagi yang disengaja, adalah salah satu beban yang akan mendatangkan stress atau depresi itu! Maka tatkala seorang arif besar bernama Abu Abdur Rahman Hatim bin Alwan (wafat pada tahun 237 H) pada suatu hari ditanya, “Tidakkah kamu menginginkan sesuatu?” Iapun menjawab, “Saya ingin selalu sehat dari pagi hingga malam hari”. Ditanyakan lagi, “Bukankah kamu sehat selama seharian?” Hatim menjawab, “Sehat menurutku adalah tidak menjalankan dosa dari pagi hingga malam.”
Hatim menginspirasi kita untuk mengubah mindset dan paradigma kita tentang sehat. Bahwa apa yang harus kita anggap sebagai sehat dari diri kita adalah “kalau kita bisa tidak melakukan dosa dari pagi sampai malam” dalam kehidupan keseharian kita. Inilah sehat yang essensial. Sebagaimana Nabi pernah menerangkan, “kebaikan akan mendatangkan ketentraman dalam hatimu, dan dosa adalah apa yang engkau tidak suka orang lain melihatnya.”
Dalam Al-Qur’an terdapat kata “wizrun” yang artinya dosa. Misalnya dalam Qs. Al An’am ayat 164, Al Isra ayat 15, “walaa taziru waaziratun wizra ukhra” -- “dan seorang yang berdosa tidak akan memikul dosa orang lain”. Dalam Bahasa Arab, kata wizr punya arti asli ‘gunung’ atau ‘bukit’ dan sesuatu yang besar yang menampakkan beban yang sangat berat. Mengapa dosa dalam Al Qur’an salah satunya memakai kata wizr? Karena pada hakekatnya, bagi seseorang, dosa adalah suatu beban yang amat berat. Seseorang yang berdosa, ia memikul beban mental yang amat berat, meski terkadang ia pura-pura nampak biasa-biasa saja. Makin besar dosa yang diperbuatnya, makin berat beban yang dipikulnya.
Beban “dosa” itulah antara lain yang bisa membuat seseorang yang semula nampak sehat sekonyong-konyong menjadi sakit, karena ia memikul “gunung”, memikul beban yang sangat berat. Maka menjadi mudah dipahami jika seseorang yang tersangkut hukum kemudian didapati menderita sakit. Tentu saja penyakitnya itu tidak lantas menjadi alasan untuk mempeti-eskan perkaranya begitu saja. Karenanya jika kita ingin selalu menjadi sehat, berusahalah menghindari berbuat dosa. Allahu a’lam.(Zainul Arifin/Pontianak)
0 komentar:
Posting Komentar